- Penyelundupan satwa paruh bengkok dari Halmahera ke Filipina masih marak terjadi. Di Halmahera Utara, kami menemukan para pengepul tersebar dari pedalaman hingga di pesisir Loloda, Galela, Kao-Malifut, hingga Kota Tobelo.
- Pintu keluar juga ditemukan paling rawan lewat Kabupaten Pulau Morotai dan Halmahera Timur. Tim kolaborasi juga menemukan jalur tikus lewat pelabuhan Bitung dan Manado ke Filipina.
- Di Halmahera Utara, para pengepul telah melancarkan bisnis ilegal ini selama puluhan tahun. Setiap tiga bulan sekali, dari satu orang pengepul di Halmahera menyelundupkan sekitar 100-200 ekor. Kebanyakan burung yang diselundupkan jenis paruh bengkok seperti kakatua putih, kasturi ternate, hingga nuri bayan. Keuntungannya bisa tiga sampai lima kali lipat.
- Benny Aladin, Koordinator Program Halmahera Burung Indonesia mengatakan, sebagian besar satwa yang diselundupkan ke Filipina dinyatakan hasil penangkaran dan diberi surat berupa dokumen sebelum ekspor bebas ke luar negeri.
Suara burung bersahut-sahutan saat Felip, bukan nama sebenarnya, membuka pintu gudang. Bangunan berdinding papan itu berada di sisi kanan rumah. Tinggi sekitar satu meter setengah. Di dalamnya, ada lima 15 kasturi Ternate (Lorius garrulus) terperangkap di kandang besi berukuran 100 x 50 sentimeter.
“[Burung-burung] ini orang pe pesanan,” kata Felip, warga Halmahera Utara, Maluku Utara, September 2023 sore, sembari menunjuk kandang.
“Satu dua hari mo antar kasana [kepada pemesan], tapi masih tunggu tambahan baru antar satu kali.”
Satu kandang serupa berada tepat di belakang dapur. Kandang itu berhimpitan dengan dinding rumah dan sangkar ayam. Ada empat jenis betet kelapa paruh-besar (Tanygnathus megalorynchos) tersekap di sana. Tepat di sebelahnya, juga ada tiga kasturi Ternate terantai di tangkringan kayu berbeda.
Saat pertama bertemu Felip, Agustus 2023, masih ada satu kakatua putih (Cacatua alba) dan dua nuri bayan (Eclectus roratus) di kandang, tetapi tiga burung itu sudah terjual kepada pembeli lokal.
Felip tahu paruh bengkok di rumahnya jenis satwa dilindungi. Nama-nama satwa liar itu tercatat dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Antara lain, kakatua putih dan kasturi Ternate merupakan jenis endemik Maluku Utara, berstatus terancam punah dan masuk appendix II CITES. Felip bisa kena pidana penjara paling lama 5 tahun, denda Rp100 juta berdasarkan Undang-Undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya bila terciduk.
Namun, harga menggiurkan setiap jenis satwa paruh bengkok di pasar domestik dan internasional bikin Felip gelap mata.
Selama puluhan tahun dia bersama para pengepul di Halmahera, menyelundupkan satwa, yang berakhir di kota-kota besar di Filipina.
***
Tidak sulit mencari Felip. Di bagian pesisir daratan Halmahera Utara, namanya cukup mentereng sebagai pemburu sekaligus pengepul satwa paruh bengkok. Kalau bertanya kepada warga setempat siapa yang memperdagangkan burung endemik, namanya akan disejajarkan dengan para pemburu dan pengepul lain.
Hari itu, Felip menjamu kami di teras rumah. Kami duduk di kursi plastik berwarna hijau muda. Rumahnya terbilang mewah untuk ukuran pedesaan. Di bangun dari beton dan atap seng. Terasnya cukup luas dikelilingi keramik dan hiasan bunga.
Felip bilang, rumah itu dibangun dari hasil memperdagangkan satwa. Bisnis ilegal ini memberi hasil, keuntungan dia kumpulkan dan rumah itu adalah buktinya. Meski berkebun pala dan cengkih, katanya, tidak cukup menopang kebutuhan hidup dan biaya sekolah anaknya.
Pekerjaan ini, katanya, telah mendarah-daging. Lelaki berusia 50 tahun ini mengaku mengikuti jejak ayahnya bukan dari saat lahir, tetapi sejak dalam kandungan.
“Bapak dan ibu saya keliling hutan-hutan tangkap burung itu [saat] saya dalam kandungan. Maka saya ini dilatih dari dalam kandungan, bukan dari lahir,” ujar Felip, menegakkan badan.
Dia termasuk pemain besar berpengalaman. Relasinya dengan pemburu juga cukup luas, terdapat di berbagai daerah. Untuk memuluskan bisnisnya, dia dibantu dua anak buah. Mereka bertugas memungut satwa dari para pemburu di Halmahera hingga ke pelosok pulau-pulau Maluku Utara.
Burung-burung liar dipungut dari pemburu di waktu-waktu tertentu. Agar tidak terendus, biasa dia dan anak buah beroperasi pada siang atau malam hari, ketika orang-orang sedang beristirahat.
Mereka lebih suka menggunakan perahu katir atau pumpboat saat mengumpulkan satwa. Dia punya empat pumpboat di kampung. Transportasi laut ini, katanya lebih aman dan tak mudah terdeteksi petugas. Kadang-kadang juga mereka pakai kendaraan motor bila pemburu tak jauh dari tempat tinggal.
Paruh bengkok yang dikumpulkan dalam jumlah banyak tidak ditampung di gudang rumah, tetapi langsung dibawa ke kandang besar di kebun. Kandang itu berukuran 3×4 meter persegi, dikelilingi kawat besi dan beratap seng. Jarak sekitar tiga kilometer dari rumah Felip. Kandang itu bisa menampung lebih dari 200-300 burung.
Dia mengaku ratusan satwa endemik yang dikumpulkan di kandang tak lain untuk melayani kebutuhan permintaan bos-bos besar di dua kota besar di Filipina, yakni, General Santos dan Davao. Felip bilang, ada beberapa bos besar yang berlangganan sejak lama dengannya sampai sekarang.
Di Halmahera Utara, pengepul satwa bukan hanya Felip. Ada beberapa nama lain yang menyelundupkan satwa endemik paruh bengkok ke Filipina. Para pengepul tersebar dari pedalaman hingga pesisir di Loloda, Galela, Kao-Malifut, sampai Kota Tobelo.
Sebagian pengepul itu saling kenal satu sama lain dan sesekali bekerja sama mengirimkan ratusan burung kepada bos-bos besar yang sama di pasar satwa Filipina.
Satu di antaranya adalah Yosua, bukan nama sebenarnya. Lelaki itu berperawakan tinggi besar. Kulit kuning langsat. Dia tidak setenar Felip. Yosua kelihatan tidak senang dengan kedatangan kami. Raut wajah tampak was-was saat kami bertanya mengenai siapa yang menjual burung. Mula-mula, dia menjawab seadanya.
“Biasa yang sekali pesan berapa ekor?” tanya saya.
“Banyak. Sekitar 200 ekor lebih,” jawab Yosua, singkat.
Dia tidak pandai bertransaksi dengan para pemodal. Pekerjaan itu dia serahkan kepada adiknya, bernama Aksi. Aksi-lah yang tinggal di Tobelo, ibukota Halmahera Utara, yang punya banyak akses dengan bos-bos besar di Filipina.
Aksi merupakan operator pengiriman burung ke General Santos dan Davao. Menurut Yosua, dia dan adiknya sudah puluhan tahun bekerja dalam bisnis ini. Kalau ada permintaan burung dalam jumlah banyak dan setok burung belum cukup, mereka menghubungi Felip atau pengepul lain untuk memenuhi kuota pengiriman.
Kerja sama itu tak selalu berjalan mulus. Felip bilang, sesama pengepul juga seringkali saling sikut. Dia punya pengalaman buruk kena tipu Aksi.
Namun, Felip, Yosua, dan Aksi sama-sama sepakat, bisnis gelap satwa endemik di pasar burung di Filipina sangat menguntungkan. Dalam sekejap, mereka bisa memegang duit ratusan juta. Istilahnya “uang panas.” Keuntungan bisa tiga sampai lima kali lipat dari harga yang diambil dari pemburu.
Para pemodal tak sungkan-sungkan mendanai mereka ratusan juta agar pekerjaan terlarang ini berjalan lancar. “Bisa Rp500 juta lebih kalu burung banyak,” kata Yosua.
Dia bilang harga satu kasturi ternate, misal bisa Rp2,5 juta. Jika dihitung, 200 ekor kali Rp2,5 juta, total sudah Rp500 juta.
Dari Yosua dan Felip, kami tahu pintu masuk utama muara bisnis gelap satwa endemik ini lewat pelabuhan-pelabuhan tikus di General Santos dan Davao di Filipina.
General Santos atau biasa disingkat Gensan, terkenal sebagai kota bisnis ikan tuna–kota ini sempat diuntungkan karena praktik penangkapan ikan ilegal (illegal fishing) dari Indonesia.
Sedang Davao, salah satu kota terpadat aktivitas ekonomi di Filipina.
Dua kota di negara itu cukup dekat dengan Sulawesi dan ujung utara Kepulauan Halmahera. Dari citra satelit hanya berjarak lebih dari 500 kilometer dari Halmahera Utara dan Bitung di Sulawesi Utara.
Visual sembilan jenis burung paruh bengkok di Maluku Utara:
***
Randi dan Bubuy, dua bos besar yang menjadi pelanggan satwa endemik di General Santos dan Davao. Randi tinggal di Davao dan orang asal Indonesia yang lama hidup di Filipina. Sedangkan Bubuy disebut berada di General Santos.
Yosua dan Felip sudah memasok satwa kepada kedua pebisnis itu bergiliran selama puluhan tahun terakhir. Menurut mereka, di antara para pemain satwa di Filipina, hanya Randi dan Bubuy yang bisa dipercaya.
“Bos banyak di sana [Filipina], tapi tong bapilih [kami memilih] dia pe orang. Dia pe hati bae tu disitu [jual disitu].”
Mereka akui kedua pebisnis itu juga punya relasi luas dengan pebisnis-pebisnis lain di Filipina hingga mancanegara.
Meski telah lama bekerja sama, mereka tak peduli siapa Randi dan Bubuy. Yang penting bagi mereka, para pebisnis berani mendanai berapapun modal yang mereka minta.
“Tong butuh modal berapa itu langsung dong kirim,” terang Yosua merujuk kepada kedua pebisnis itu. “Itu yang penting,” katanya tertawa kecil.
Saat kami meminta nomor kontak Randi dan Bubuy, Yosua langsung menggeser pantat dari tempat duduk. “Tidak ada.”
Pandangan dia alihkan ke pintu dapur rumah. Dia bilang, tidak menyimpan nomor kedua pebisnis itu. Yang berkaitan dengan komunikasi hingga transaksi dikendalikan si Aksi. “Musi di kita pe ade itu.”
Kepada Felip, kami menemukan nomor kontak Randi, namun nomor itu tidak jelas. Gestur Felip persis seperti Yosua. Mereka bukan hanya ragu, tetapi lebih tepatnya menolak kontak-kontak pebisnis itu diberikan kepada orang baru.
Tim kolaborasi berupaya menelusuri nama Randi dan Bubuy lewat berbagai platform, dari media sosial, fitur tracking, hingga laporan lembaga dan media dengan beberapa kata kunci.
Randi, misal, kami lacak dengan beberapa variasi kata: “Randi” hingga “Randy” menyertakan kota tempat tinggalnya dan pemain dalam bisnis satwa.
Ada nama Randy Mandumi di sebuah berita mindanews.com–cabang layanan berita dari Institut Jurnalisme Mindanao, Filipina dan laporan Profauna Indonesia pada 2008.
Randy tercatat pernah ditangkap bersama Mike Artocilla, pedagang burung di Filipina, pada 2007. Dia menjadi penerjemah Mike saat mengangkut ratusan burung yang teridentifikasi bersumber dari Halmahera. Keduanya kemudian dibebaskan. Mike dilepas begitu saja dan Randy diekstradisi ke Indonesia.
Informasi lain yang kami temukan menyebutkan burung-burung yang dikirim kepada Randy di General Santos akan dibawa ke Manila, pusat perdagangan hewan di Filipina. Salah satu pusat perdagangan hewan bernama Cartimar Market di Manila, Filipina. Menariknya, Mike Artocilla diketahui memiliki toko tempat penampungan satwa.
Dari penelusuran itu, tim kami menduga Randi yang dimaksud Felip dan Yosua adalah Randy Mandumi. Tak menutup kemungkinan, setelah belasan tahun menetap di Filipina, dia jadi pengusaha atau kaki tangan bos-bos setempat.
Sedang Mike Artocilla, tim kolaborasi temukan bersama Joseph Melvin Bulatag dan Manuel Toletino ditahan di Polres Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, pada 7 September 2023.
Dari laporan petugas, Mike tercatat beralamat di Buhangin, Davao City, Filipina. Sedangkan, kedua rekannya berdomisili di dua tempat, yakni, Kota Bitung, Sulawesi Utara dan General Santos City, Filipina.
Mereka diduga tengah menyelundupkan ratusan burung, termasuk jenis paruh bengkok ke Filipina lewat perairan Bitung dengan kapal kecil KM Nataleon GT.2 SWU 8 No.488. Namun, ketiganya dibebaskan tanpa kejelasan.
Mike termasuk pemain lama satwa liar yang terus melakoni bisnis haram ini di Halmahera dan Sulawesi Utara, karena pintu laut terbuka bebas.
Informasi terkait Bubuy, tak begitu familiar. Tim kami tidak menemukan jejak orang ini di internet. Dari cerita Felip dan Yosua, para pebisnis di Filipina memang bermain cukup rapi. Jarang sekali mereka diciduk aparat. Bisa jadi, nama Bubuy fiktif atau disamarkan agar tidak mudah dilacak.
Jalur gelap
“Saya kalu di Filipina saya tahu samua, dari pesisir sampe tanah basar. Di pusat kota sana, bukan di Jakarta. Belum sampe di Jakarta di Ibukota Indonesia, tapi so pigi di luar negeri,” kata Yosua, terkekeh.
Lelaki berambut uban itu berasal dari Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, pulau yang terletak di sebelah utara Sulawesi, dekat Pulau Mindanao, Filipina.
Sejak kecil Yosua sudah terbiasa keluar masuk Filipina. Dia pernah hidup lama di Digos, kota di pesisir Davao del Sur, Filipina. Masa kecilnya dia habiskan di daerah itu sebelum migrasi ke semenanjung Halmahera pada 1970-an.
Mereka punya hubungan kekerabatan dengan orang Filipina. Begitu pula dengan Felip, dari Kepulauan Sangihe. Secara historis, orang Sangihe-Talaud dipercaya berasal dari Filipina Selatan lewat migrasi ribuan tahun silam. Bahkan, sebagian keluarga mereka menetap di kota-kota besar seperti di General Santos dan Davao.
Pada tahun 1970-an, mereka ramai-ramai migrasi ke Halmahera. Pada tahun itu juga situasi politik di Filipina sedang dalam kekacauan di bawah Presiden Ferdinand Marcos yang dikenal bertangan besi dan korup. Dia digulingkan jutaan pengunjuk rasa dalam revolusi people power pada 1986.
Kedua pengepul satwa paruh bengkok ini juga fasih bahasa Tagalog–bahasa resmi Filipina. Mereka bahkan sering berkunjung ke kota-kota besar di Mindanao, pulau terbesar kedua di Filipina, menemui kerabat mereka.
“Pokoknya kalu [sampai] di Filipin itu tong pake [kami pakai] bahasa Filipin. Kalu kamari [kalau balik] di Indonesia, tong bahasa Indonesia,” kata Yosua.
Berkat punya keluarga dan mengerti bahasa Tagalog, mereka bisa leluasa keluar-masuk Filipina. Mengunjungi satu kota ke kota lain dengan bebas meski tanpa paspor di tangan.
Felip bilang, para petugas sulit menerka, dari roman muka dan warna kulit samar-samar seperti orang Filipina. Hebatnya lagi, mereka hanya pakai perahu ketinting atau pumpboat dari Halmahera melintasi Samudra Pasifik menuju negara berjuluk mutiara laut dari Orien itu.
Pola ini juga manjur menyelundupkan satwa endemik ke kota-kota besar di Filipina. Selain jarak dekat dari Halmahera, lalu lintas kapal, pintu keluar pun terbilang mudah. Banyak jalur-jalur tikus di pesisir Halmahera Utara yang minim pengawasan atau sama sekali tidak terkontrol. Bisa keluar di waktu dini hari dari pesisir Galela, dari Kota Tobelo, atau bisa dari Kao-Malifut.
Ditambah lagi, mereka menyelundupkan satwa menggunakan perahu sendiri yang tak mungkin dicurigai dipakai untuk operasi bisnis haram ini ke luar negeri. Di kampung Felip, misal, banyak perahu terparkir di pesisir, termasuk miliknya. Dari sini pula penyelundupan burung berlangsung selama puluhan tahun.
Felip mengatakan, mereka biasa menyelundupkan satwa tiga bulan sekali ke Filipina. Mengenai jumlah, paling sedikit 200 ekor dari berbagai jenis paruh bengkok, tetapi paling sering di selundup kakatua putih, kasturi Ternate, dan nuri bayan. Kalau ada jenis lain tetap dibawa, bisa jadi dibeli saat barang sampai tujuan.
Bagaimana muslihat satwa lolos ke Filipina? Kata Felip, ratusan satwa yang akan diselundupkan dipindahkan dulu dari tempat penampungan ke dalam kandang-kandang besi berukuran 100×50 sentimeter. Kandang itu didesain khusus berukuran selebar perahu pumpboat agar mudah disusun. Dia punya 10 kandang lebih ukuran serupa di gudang rumah.
Ke dalam setiap kandang biasa masuk 20-30, tergantung jenis burung. Untuk kasturi Ternate bisa masuk 30 burung dalam satu kandang. Kalau kakatua putih, 15-20 karena ukuran agak besar.
“Jadi kalu ada 100 ekor lebih yang dibawa, paling tujuh kandang,” kata Felip.
Kandang-kandang besi itu kemudian digotong pada malam hari dan langsung packing di perahu pumpboat yang disiapkan di pantai. Kandang berjejer rapi satu persatu dan tertutup terpal. Supaya lebih aman, kandang ditindih coolbox (kotak pendingin) dari atas.
“Jadi, kalu dong liat dari jauh tu kolbox, bilang ikan to,” kata Yosua.
Beberapa hari sebelum berangkat, mereka sudah menyiapkan bahan bakar, memeriksa kondisi pumpboat, sampai persediaan makanan cukup selama perjalanan. Juga, memastikan cuaca bagus saat berangkat. “Kalu so bakudapa [ketemu cuaca buruk] di lautan mo bagimana, [mau bagaimana], terobos saja.”
Jarak tempuh dari Halmahera ke Filipina memerlukan waktu tiga malam dua hari. Berangkat malam, sampai di tujuan malam. Mereka saling tukar pegang kemudi. Yosua mengistilahkan perjalanan laut bagai pantat belanga: gelap gulita, kiri kanan tidak ada pulau.
Dia bilang, mereka tidak lagi transit atau singgah sekadar istirahat di pulau-pulau terdekat seperti di Pulau Karakelang, Talaud, atau di Pulau Balut. Juga tidak lagi bertransaksi di tengah laut. Modus lama itu sudah terendus petugas.
“Jadi, dari sini [Halmahera], tembak langsung [ke Filipina]. So tara pake [sudah tidak] singgah.”
Burung yang diselundupkan langsung berlabuh di pelabuhan-pelabuhan tikus di General Santos dan Davao. Mereka dijemput dengan mobil oleh pemodal dan anak buahnya. Sebelum berlabuh, mesti memastikan lokasi bongkar barang aman. Kalau tidak, harus pindah cari tempat lain.
“Jadi tampa [tempat] bongkar [barang] tara [tidak] tetap satu. Dia [pemodal] yang tahu. Kalu [kalau] rasa kurang aman, pindah [tempat] lagi.”
Sebelum turun di pelabuhan tujuan dan diangkut ke mobil, para pengepul mesti memeriksa kondisi satwa dan membersihkan terlebih dahulu. Kalau keadaan sekarat atau mati di dalam kandang, itu risiko pengepul. Sebaliknya, bila sudah dihitung, di-packing, dan burung mati, jadi risiko pemodal.
“Kalu so rekeng, mati deng tarada itu dong pe risiko [Kalau sudah dihitung, mati atau tidak itu risiko mereka],” kata Felip. “[Setelah dihitung] barang muat di oto [mobil] langsung berangkat.”
Menurut Felip, burung-burung itu akan dibawa ke Manila, ibukota Filipina. Kota ini kerap disebut sebagai pusat perdagangan satwa di Filipina. Di sana ada penampungan satwa skala besar. Dia tidak begitu paham proses selanjutnya seperti apa, tetapi setahu dia satwa eksotis itu akan dijual lagi ke pasar Eropa.
“Ia [satwa] pe harga lebih mahal itu,” ujar Felip merujuk penjualan ke pasar internasional.
Ada pula paruh bengkok yang berakhir di Filipina, seperti diceritakan Erik, warga General Santos kepada tim kolaborasi. Erik, bukan nama sebenarnya bilang, banyak toko burung di General Santos. Burung-burung endemik dari Indonesia seperti kakatua juga lebih banyak terlihat di Zoo, misal, Generalin Park dan Zoo and Rescue Center, Baluarte Zoo di Vigan City, Cagayan de Oro dan ada yang di Davao City.
Tim kolaborasi juga menemukan pelabuhan Manado dan Bitung di Sulawesi Utara menjadi titik masuk satwa selundup dari Maluku Utara–termasuk Maluku dan Papua. Biasanya diangkut lewat kapal Pelni dan salah satu modusnya, para pelaku menitipkan barang. Dari kedua pelabuhan ini, barang dikemas lalu dikirim ke Sangihe dan diseberangkan ke Filipina.
Serupa di Halmahera, ada banyak titik keberangkatan jadi jalur tikus penyelundupan satwa liar dari Sangihe ke Filipina, satu dari Kota Tahuna, Pelabuhan Petta, termasuk di Pulau Tinakareng. Jalur-jalur itu diketahui tetap eksis, sebab, lemahnya patroli dan pengawasan.
Jalur rawan, lemah pengawasan
Burung Indonesia mencatat pintu laut penyelundupan satwa paruh bengkok dari Maluku Utara ke Filipina masih terbuka sampai saat ini. Menurut lembaga ini, setidaknya ada tiga wilayah yang rawan penyelundupan satwa paruh bengkok lintas negara, yaitu Halmahera Timur, Halmahera Utara, dan Pulau Morotai.
Tiga daerah ini berada di jalur perdagangan Asia-Pasifik, berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik dan lebih dekat jika ke Filipina. Dua daerah yang disebut terakhir merupakan pintu keluar-masuk utama dari Maluku Utara.
Di Halmahera Utara, teridentifikasi punya begitu banyak jalur tikus berupa pelabuhan-pelabuhan kecil hingga dermaga-dermaga desa yang bisa dipakai untuk menyelundupkan satwa paruh bengkok ke luar daerah dan lintas negara di Filipina. Begitu pula melalui jalur Halmahera Timur yang juga bisa menembus batas langsung ke Filipina dengan perahu sendiri atau melewati pintu keluar di Halmahera Utara.
Sedang via Morotai, jalur penyelundupan teridentifikasi lewat pelabuhan kecil di desa-desa, seperti di bagian Morotai Barat, Morotai Utara, yang berhadapan langsung dengan wilayah Filipina. Tim kolaborasi menemukan transaksi juga kadang berakhir dengan praktik barter ikan dengan burung disana.
Rosek Nusyahid, Ketua ProFauna Indonesia mengatakan, penyelundupan satwa paruh bengkok masih terjadi sampai sekarang karena dua hal. Pertama, penyelundupan melalui jalur laut dengan perahu pamboat sendiri. Kedua, tidak ada pengawasan sama sekali di wilayah-wilayah jalur penyelundupan.
“Modus-modus itu sudah berlangsung sejak lama, ternyata sampai sekarang masih terjadi. Artinya, ada kebocoran, berarti pengawasan sangat lemah,” katanya.
Rosek tidak tahu pasti berapa jumlah yang diselundupkan ke Filipina. Terakhir kali mereka investigasi di jalur Halmahera-Filipina pada 2007 dengan mengelaborasi kasus saat itu, mengasumsikan sekitar 4.000 paruh bengkok diselundupkan dalam setahun.
Di hilir tujuan penyelundupan, investigasi Traffic (2022) mencatat dalam 27 penyitaan otoritas satwa liar di Filipina disita 1.299 burung Indonesia terdiri dari 28 spesies antara tahun 2010 dan 2019. Paruh bengkok merupakan burung dengan jumlah tinggi dari semua burung yang disita.
“Kami meyakini jumlah yang tidak terungkap jauh lebih besar daripada yang terdeteksi karena banyak akses keluar masuk lewat laut yang sangat lemah pengawasannya,” kata Rosek.
Soal lemahnya pengawasan ini diakui seorang petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di Tobelo, Halmahera Utara. “Kami disini terbatas, hanya ada dua orang [petugas]. Ini salah satu kendala.”
Penyelundupan paruh bengkok itu tak hanya berakhir di Filipina. Data Traffic pada 2022 menyebutkan, Filipina mengekspor 8.871 burung dari Indonesia yang terdiri dari 51 spesies. Setidaknya 47 negara/wilayah mengimpor spesies burung Indonesia itu dari Filipina, beberapa di antaranya Jerman, Jepang, dan Taiwan.
Laporan lembaga berbasis di Inggris itu juga membandingkan data perdagangan dari pemerintah Filipina dan negara lain. Filipina melaporkan ekspor 1.034 burung dari 21 spesies antara tahun 1979 dan 2019, tetapi negara lain melaporkan menerima delapan kali lipat dari jumlah itu.
Benny Aladin, Koordinator Program Halmahera Burung Indonesia mengatakan, sebagian besar satwa yang diselundupkan ke Filipina dan dinyatakan hasil penangkaran serta diberi surat (dokumen) sebelum ekspor bebas ke luar negeri.
Modus operasi pencucian satwa liar ini disebut sudah lama diketahui terjadi di Filipina. Namun, para peternak hewan eksportir satwa liar, meski berskala besar yang terlibat dalam aktivitas ilegal ini tidak terkena sanksi karena tidak dilindungi Undang-undang Filipina.
“Satwa yang dilindungi adalah yang asli dari Filipina. Sedangkan dari Indonesia, mereka [otoritas negara Filipina] tidak diatur ketat. Jadi, kalau satwa liar sampai di Filipina, itu bisa diperjualbelikan secara bebas,” ujar Benny.
Tak pernah ada penindakan otoritas Filipina. Sebagai contoh, Oktober tahun lalu, 73 satwa dipulangkan dari Filipina ke Indonesia. Masalahnya, perlu biaya besar untuk memulangkan ke habitat asli di Indonesia.
Biaya itu, katanya, mulai dari ongkos mengembalikan burung dari Filipina menggunakan pesawat, merawat, rehabilitasi, pakan, termasuk upah kerja orang yang merawat. Belum termasuk biaya infrastruktur bangunan, operasional angkut burung.
Berdasarkan perhitungan UNDIP, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Institut Pertanian Bogor (IPB), estimasi kerugian keuangan negara dari peredaran satwa dilindungi sepanjang 2015-2021, mencapai Rp806,83 miliar.
Benny sarankan, ketimbang mengeluarkan uang besar sekadar biaya operasional dan ongkos rehabilitasi, lebih baik pemerintah memfokuskan anggaran untuk memutus rantai perburuan dan penyelundupan di tapak.
Rosek sampaikan, pendapat sama. Dia mengatakan, daripada operasi penyitaan di laut yang terlihat susah dan menguras biaya, mending operasi intensif mencegah burung ditangkap dan dibawa keluar dari Halmahera.
“Makin sulit, makin mahal biayanya. Kalau kita mau menangani dari Halmahera dan Maluku Utara, secara umum, saya kira bukan hal mustahil. Hal sangat realistis untuk pemerintah.”
Benny yakin, praktik ilegal perburuan dan penyelundupan satwa eksotis ini masih bisa setop, setidaknya dikurangi. Soalnya, sosio-kultur masyarakat di Maluku Utara menganggap burung sebagai simbol identitas.
Misal, burung goheba berkepala dua sebagai lambang resmi Kesultanan Ternate. Adapun masyarakat Loloda di Halmahera Utara meyakini kakatua putih atau dalam bahasa setempat disebut gatala bobudo adalah pembawa kabar gembira.
“Seharusnya diistimewakan, bukan justru ditangkap dan diburu,” kata Benny.
*Liputan investigasi kolaborasi antara Mongabay Indonesia, Jaring.id, Kalesang.id, Zonautara.com, dan Tempo ini didukung dan didanai Garda Animalia lewat program Fellowship Bela Satwa Project 2023.
******