- Hadirnya tambang Emas Tumpang Pitu beroperasi di Banyuwangi, Jawa Timur, bagi warga Desa Sumberagung membawa sengsara. Tambang yang dioperasikan oleh Merdeka Cooper Gold lewat dua anak perusahaannya ini tercatat sebagai Obyek Vital Nasional.
- Desa Sumberagung sebagian besar warganya berprofesi sebagai petani, nelayan dan jasa wisata di Pulau Merah. Kehadiran tambang menyebabkan frekuensi dan intensitas banjir dalam 1 dekade ini semakin meningkat.
- Warga mengeluhkan banjir lumpur menjadi sebab rusaknya area persawahan dan sedimentasi di perairan laut.
- Tambang juga menjadi pemicu adanya gesekan sosial diantara masyarakat, yang pro dan kontra dengan keberadaan tambang.
Sejak satu dekade ini, keberadaan tambang emas di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, yang lebih dikenal publik sebagai tambang emas Tumpang Pitu, telah berdampak buruk bagi masyarakat lokal.
Pertambangan emas ini mendapat lampu hijau izin konsesi sejak alih fungsi kawasan diizinkan pada tahun 2013, dengan terbitnya SK Menteri Kehutanan bernomor 826/Menhut –II/2013, terkait pengalihan fungsi hutan lindung ke hutan produksi.
Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP)-nya sendiri didasari pada Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/547/KEP/429.011/2012.
Lalu, tertanggal 16 Februari 2016 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui surat keputusan nomor 651 K/30/MEM/2016, menetapkan area sekitar Tumpang Pitu yang akan ditambang dalam status Objek Vital Nasional (OBVITNAS).
Konsesi tambang sendiri dilakukan oleh Merdeka Cooper Gold Tbk yang dilakukan oleh PT Bumi Suksesindo (PT BSI) dan PT Damai Suksesindo (PT DSI).
Perusahaan induk yaitu Merdeka Cooper Gold Tbk sahamnya dimiliki oleh konglomerat Saratoga Investama Sedaya (16.888%), Garibaldi Thohir (8.083%), PT Suwarna Artha Mandiri (5.588%), PT Mitra Daya Mustika (12.058%), Hongkong Brunp & Catl.Co. Limited (5%). PT Suwarna dan PT Mitra Daya merupakan entitas yang dikuasai oleh Provident Capital Indonesia (PCI).
WALHI Jawa Timur mencatat lokasi IUP PT BSI dan PT DSI terletak di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Provinsi Jawa Timur, dengan IUP OP BSI seluas 4.998 ha. Sedangkan DSI memiliki izin IUP eksplorasi DSI seluas 6.623 ha. PT BSI menyebut 992 ha dari 4.998 ha akan digunakan perusahaan untuk operasi tambang.
Sumberagung Diantara Konsesi
Desa Sumberagung memiliki luas 13.262 hektar dengan penduduk sekitar 13.264 orang. Terdiri dari 4 dusun yakni, Rejoagung, Silirbaru, Pancer dan Sungai Lembu. Data demografi desa (2018) menyebut mayoritas penduduk desa berprofesi sebagai petani 3.066 orang, buruh tani 5.606 orang, dan nelayan 775 orang.
Problem kemiskinan di wilayah Sumberagung akarnya adalah persoalan ketimpangan lahan yang sudah terjadi selama puluhan tahun.Tingginya jumlah buruh tani, dikarenakan 4.612,4 ha lahan desa berada di bawah kuasa Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan. Di Dusun Sungai Lembu, 2.600 hektar berada di dalam konsesi HGU PTPN XII Sungai Lembu.
Ditambah dengan beroperasinya tambang, dampak yang terjadi akan meliputi semakin tingginya resiko bencana dan beban ekologis yang berujung pada hancurnya wilayah kelola masyarakat Desa Sumberagung.
Dusun Pancer, sebuah desa nelayan, adalah dusun yang memiliki jarak lokasi tambang terdekat. Permukiman penduduk hanya sekitar 3 km, sedangkan jarak kolam penampungan limbah tambang ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pancer hanya berjarak 6,7 km.
Dalam 10 tahun terakhir ini, masyarakat melaporkan frekuensi banjir semakin sering terjadi dengan intensitas tinggi.
Budi Pego, salah satu informan yang penulis pernah wawancarai menyebut banjir terparah terjadi pada tahun 2016 akibat bobolnya tanggul yang menyebabkan banjir lumpur di Pulau Merah dan lahan-lahan pertanian warga. Kejadian ini menyebabkan sawah warga gagal panen.
“Banjir terjadi lagi di tahun 2019 dan 2020, menggenangi lahan pertanian buah naga dan padi warga. Asalnya berasal dari lokasi tambang di Gunung Tumpang Pitu yang telah digunduli dan ditambang,” ungkap Budi yang saat ini masih menjalani sisa tahanan penjara akibat tuduhan komunis pada tahun 2018 lalu.
Informan warga desa lain yang tidak mau disebut namanya, dan bekerja di bidang wisata menyebut, sejak tambang beroperasi, pariwisata di Pulau Merah terpuruk. Banyak wisatawan yang tidak lagi datang berkunjung, karena rusaknya ekosistem di sana.
Ahmad, seorang nelayan warga setempat menyebut, sejak tambang beroperasi, nelayan harus melaut sejauh lebih dari 5 mil pantai, dari sebelumnya hanya 1-3 mil pantai. Ikan pun banyak yang telah menghilang dari garis pantai karena rusaknya habitat mereka.
Kelompok nelayan mencatat, sebelum ada tambang, pada tahun 2010 total tangkapan ikan nelayan mencapai 10.280 ton, lalu menyusut sekitar 1/4-nya sejak banjir lumpur di tahun 2016, yang hanya menjadi 8.106 ton.
Hidayat, salah seorang warga lokal menyebut, hilangnya mata pencarian nelayan di Sumberagung menyebabkan sudah ada 5 keluarga yang pindah bermigrasi ke Sumbawa.
Penolakan Berujung Kriminalisasi
Selain dampak ekonomi, hadirnya tambang emas di wilayah Desa Sumberagung telah memicu konflik sosial. Perlawanan warga tolak tambang seringkali berujung represi terhadap warga dengan aparat keamanan negara dalam periode 5 tahun (2012-2017).
Sekitar 15 orang dalam 5 kasus berbeda selama 2015-2017 dipanggil aparat. Budi Pego dan tiga warganya juga kena tuduhan penyebaran paham komunisme pada tahun 2016.
Nur Aini, seorang warga penolak tambang, menyebut kehadiran tambang menyebabkan konflik antar warga mencuat. Pada tahun 2020 terjadi insiden bentrokan antar warga pro dan tolak tambang di Pertigaan Lowi, Desa Sumberagung. Sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Di tahun 2022, terjadi pula bentrok antar perguruan silat. Satu perguruan yang jasanya digunakan untuk pengamanan tambang, terlibat fisik dengan perguruan lain yang menolak tambang.
Peristiwa pelecehan terhadap perempuan yang menolak tambang juga terjadi.
“Saat itu di Pancer, kami menghadang tambang di Gunung Salakan, para pekerja tambang mengatai kami, para perempuan, dengan kata-kata kasar dan tidak senonoh. Kekerasan kepada kami juga pernah terjadi,” ungkapnya
Resiko Bencana Makin Meningkat
Pada tahun 2019 dan 2020 banjir terjadi di Pertigaan Lowi disebabkan banjir kiriman dari wilayah Gunung Salakan, lokasi kawasan hutan Perhutani yang gundul.
Warga khawatir resiko banjir akibat run off air akan semakin sering terjadi di area yang juga termasuk dalam wilayah konsesi tambang ini.
Hal serupa terjadi di wilayah Sungai Lembu yang masuk ke kawasan konsesi. Pada tahun 2021 banjir terjadi akibat meluapnya Sungai Lembu. Warga menyebut hal ini diperparah akibat tambang.
Warga juga menghitung keselamatan diri jika bencana tsunami kembali terjadi.
Wilayah pesisir pantai selatan Banyuwangi, termasuk Banyuwangi berpotensi bencana. Pada tahun 1994 tsunami terjadi, Kawasan Tumpang Pitu adalah tempat warga Desa Sumberagung mengungsi mencari tempat di daerah dataran tinggi.
Saat peristiwa terjadi, 239 warga Dusun Pancer meninggal dunia. Seorang warga yang tidak bersedia disebut namanya, mengungkap jika tidak ada Gunung Tumpang Pitu, dan dua perbukitan lainnya Gunung Salakan dan Bukit Goa Macan, jiwa mereka belum tentu selamat.
“Jika Gunung Tumpang Pitu sudah rata, Bagaimana kalau bencana tsunami datang lagi. Kami mau lari ke mana?” sebutnya.
Bagi warga, Gunung Tumpang Pitu, juga menyediakan sumber air bagi warga sekitar, dan rumah bagi flora fauna. Gunung Tumpang Pitu juga menjadi penanda alam, navigasi tradisional bagi para nelayan yang sedang melaut, agar tidak tersesat.
Kehadiran tambang emas di Sumberagung lebih banyak menjadi ancaman bagi keberadaan warga saat ini dan jangka panjang. Sektor pertanian, bernelayan, dan jasa pariwisata yang menjadi andalan warga menengah ke bawah, diprediksi akan hilang.
Pembukaan investasi melalui program pembangunan nasional, baik yang dicanangkan di dalam Renstra ESDM, serta Paket Kebijakan Ekonomi oleh pemerintah, alih-alih menyejahterakan, pada dasarnya telah membuka ladang penderitaan baru bagi rakyat.
* Wahyu Eka Styawan, adalah periset di WALHI Jawa Timur. Tulisan ini adalah opini penulis.
***
Foto utama: Tambang Tumpang Pitu, Banyuwangi. Dok: WALHI Jawa Timur