- Pemerintah dan DPR tengah menggodok rancangan undang-undang terkait energi baru dan terbarukan (EBT), namun banyak masalah terkait proses maupun konten dari draf RUU tersebut, serta adanya tumpang tindih kebijakan.
- Pembahasan terkait RUU EBT sendiri sudah berproses sejak 2018 itu diusulkan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan nama RUU Energi Terbarukan, lalu diambil alih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di tahun 2019 dengan nama RUU Energi Baru dan Terbarukan.
- Masyarakat sipil diharapkan mengawal pembahasan RUU ini meskipun tantangannya berat, termasuk dengan kehadiran UU Cipta Kerja, hambatan politik dan pengusaha batubara yang merasa terganggu dengan kehadiran UU ini.
- Indonesia memiliki potensi energi baru dan terbarukan, sehingga jika memang ingin memberi perhatian pada EBT ini maka seharusnya perhatian kepada UU untuk semua potensi yang ada saja, tidak mencakup hal lain yang telah memiliki UU tersendiri, seperti nuklir, minerba dan panas bumi.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kini tengah menggodok rancangan undang-undang terkait energi baru dan terbarukan sebagai respons atas isu global yang menempatkan transisi energi sebagai salah satu isu sentral terkait perubahan iklim. Banyak persoalan harus dituntaskan dalam RUU ini, baik dari konten, lemahnya koordinasi dan tumpang tindih kebijakan. Masyarakat sipil diharapkan mengawal prosesnya.
Menurut Arif Adiputro, dari Indonesian Parliamentary Center (IPC), salah satu persoalan mendasar terkait transisi energi di Indonesia adalah situasi di mana lembaga pemerintah yang mengurusi transisi energi berjalan secara sendiri-sendiri. PLN misalnya, memiliki dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), begitupun dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memiliki Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), meski kedua instansi ini memiliki satu kerangka yang sama.
“Pemerintah punya RUEN, PLN punya RUPTL. Jadi, untuk menyinkronkan itu enggak masuk ketika pemerintah ingin membangun energi terbarukan di wilayah-wilayah di daerah yang sudah ada RUED, atau rencana umum energi daerahnya. Sedangkan PLN ini punya concern sendiri. Akhirnya nggak masuk,” ungkap Arif dalam sebuah diskusi yang dilaksanakan IPC kerja sama Lembaga Studi kebijakan Publik (LSKP) dan Multistakeholder Forum Energi Baru dan Terbarukan Sulawesi Selatan, di Makassar, pada akhir Mei lalu.
Sehingga, lanjutnya, dibutuhkan suatu terobosan legislasi yang bisa menghubungkan semua itu agar terdapat kendali lebih terkait dengan energi terbarukan. Kondisi sekarang, kendali ini ada di Kementerian ESDM melalui Dirjen Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), namun kewenangannya dinilai tidak powerful karena mindset pemerintah masih berfokus pada energi fosil.
Baca : Keganjilan di RUU Energi Baru dan Terbarukan
Menurutnya, Indonesia memang memiliki cadangan energi fosil yang melimpah, namun harus dipikirkan bagaimana sumber energi itu tidak habis dan punya nilai ekonomi besar. Dan tak kalah penting harus dipikirkan dampaknya pada lingkungan.
“Sering kali kita tidak menghitung nilai kerugian penggunaan energi fosil secara menyeluruh terkait lingkungan hidup, apakah energi fosil akan semakin merusak. Di negara tropis, seperti Indonesia, ini akan banyak tantangannya tersendiri, mulai bencana dan lain-lain, kerugiannya itu lebih besar daripada kita mementingkan nilai ekonomi, yang belum tentu dinikmati masyarakat luas.”
Merujuk pada data dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), sektor energi menyumbang 35% dalam emisi di Indonesia. Selain itu emisi sektor energi juga meningkat 4 kali lipat di tahun 2030.
“Padahal kita menggenjot energi terbarukan sampai 30%, namun melihat situasinya upaya untuk mewujudkan itu masih kurang,” katanya.
Arif menambahkan pentingnya memasukkan trilema energi dalam RUU agar transisi energi ini bisa berkelanjutan. Trilema energi sendiri memuat tiga hal, yaitu energi security (keamanan), energy equity (kesetaraan), dan energi environmental sustainability (keberlanjutan lingkungan).
“Trilema energi ini yang harus dimasukkan dalam RUU energi baru dan energi terbarukan. Dari draf RUU yang ada belum memuat hal ini. Malah yang ada mementingkan di sektor lain seperti amonia, hidrogen dan nuklir.”
Baca juga : Masukan Para Pihak atas RUU Energi Terbarukan
Pembahasan terkait RUU EBT sendiri sudah berproses sejak 2018 itu diusulkan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dengan nama RUU Energi Terbarukan, lalu diambil alih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di tahun 2019 dengan nama RUU Energi Baru dan Terbarukan.
“Fokus muatan dari rancangan undang-undang ini untuk mengembangkan energi terbarukan semakin terpecah, yang tadinya ingin mengembangkan energi terbarukan tetapi disisipi beberapa energi fosil yang diekstrak menjadi seolah-olah ini menjadi rendah emisi. Salah satunya waktu itu ada gasifikasi batubara, yaitu batubara yang tercairkan dan lain-lain, serta nuklir.”
Menurutnya, kalau tetap ingin mengakomodir UU energi baru dan terbarukan ini maka akan terjadi tumpang tindih kebijakan. Misalnya, dalam draf RUU ini masih memuat soal nuklir, padahal nuklir sudah memiliki undang-undang tersendiri, begitu juga panas bumi, minerba dan lain-lain.
“Harapannya undang-undang ini ya bisa jadi lex specialis untuk menggenjot akselerasi transisi energi,” katanya.
Hal lain, ruang lingkup yang ada di RUU ini, soal penguasaan, peta jalan, sumber energi baru dan energi terbarukan dan perizinan, ada juga soal penyediaan dan pemanfaatan EBT, safe guard, pengelolaan lingkungan serta keselamatan tenaga kerja, penelitian dan pengembangan, harga insentif, pendanaan, pembinaan dan pengawasan dan partisipasi masyarakat.
Khusus terkait partisipasi masyarakat, dalam draf RUU, tidak memuat kausal terkait partisipasi masyarakat secara meaningful participation atau partisipasi yang bermakna. Di mana pemerintah dalam pengambilan keputusan tidak hanya sekedar mendengar akan tetapi bisa menyampaikan ketika nantinya aspirasi masyarakat tidak diterima, beserta alasan dan penjelasannya. Tidak sekedar sosialisasi sepihak.
“Nah, hal-hal seperti itu perlu dimasukkan dalam undang-undang ini, termasuk juga kewenangan masyarakat dalam hal mengembangkan energi terbarukannya sendiri atau apa yang kami sebut demokratisasi energi.”
Baca juga : Pembangunan Pembangkit Nuklir Tenaga Thorium di Pulau Gelasa, Sarat Kepentingan?
Hal lain terkait kelembagaan, misalnya terkait energi nuklir, siapa yang akan mengelola? Karena di dalam RUU ini menyiratkan adanya Majelis Pertimbangan Nuklir, padahal telah ada Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN).
Terkait penyimpanan limbah belum ada kejelasan limbah nuklir dengan kandungan zat radioaktif akan dibuang ke mana.
“Nah tata kelola limbah ini kalau memang benar-benar energi baru ini masih memuat nuklir, akan seperti apa? Apakah dibuang ke laut seperti di Jepang? Jepang sendiri mendapat kecaman dari negara tetangga dan menolak membeli ikan dari Jepang.”
Menurutnya, Indonesia memiliki potensi energi baru dan terbarukan, sehingga jika memang ingin concern pada EBT ini maka seharusnya concern UU ke semua potensi yang ada saja, tidak mencakup hal lain yang telah memiliki UU tersendiri, seperti nuklir, minerba dan panas bumi.
“Bukan menutup mata soal nuklir dan batubara, tetapi kalau memang itu digabungkan dalam UU EBT maka tidak berjalan secara terarah, malah akan tumpang tindih. Misalnya panas bumi yang sudah punya UU tersendiri. Kalau memang panas bumi mau diatur di sini maka harapannya UU EBT ini jadi lex specialis aja, atau panas bumi ini di-drop out aja dari RUU EBT ini.”
Arif berharap masyarakat sipil turut mengawal pembahasan RUU ini, meskipun tantangannya berat, termasuk tantangan dari UU cipta kerja, hambatan politik dan pengusaha batubara yang merasa terganggu dengan kehadiran UU ini. (***)
Kajian Ini Perlihatkan Potensi Energi Terbarukan Indonesia Jauh Lebih Besar