- Desa Padang Tegal, Ubud mampu menunjukkan sebagai desa sirkular ekonomi berbasis lingkungan dari kehadiran hutan monyet Monkey Forest dan Rumah Kompos.
- Tak hanya menjelma obyek wisata favorit di pusat Ubud, kawasan ini juga paru-paru kota wisata ini yang makin padat.
- Populasi monyet bertambah, walau kontrol populasi dijalankan. Pengelola pun menambah luasan hutan.
- Perluasan kawasan hutan didukung kehadiran Rumah Kompos yang mengelola sampah organik desa yang menghasilkan kompos untuk pemupukan pohon-pohon di hutan.
Mandala Suci Wenara Wana (sacred monkey forst sanctuary) Desa Adat Padang Tegal, Kecamatan Ubud, Gianyar, Bali menunjukkan hubungan imbal balik dengan Rumah Kompos yang juga dikelola desa ini. Ketika populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) bertambah, hutan pun diperluas, dan pepohonannya tumbuh dari input organik hasil komposting Rumah Kompos.
Jumlah monyet yang awalnya kurang dari 500 ekor kini menjadi sekitar 1.300 ekor, itu pun setelah ada pengendalian populasi dari sejumlah dokter hewan dari beberapa instansi. Karena itulah pengelola menambah luasan hutan sebagai habitat monyet ini. Dari awalnya 8,5 ha menjadi 12,5 ha dari total luas kawasan yang dikelola desa adat Padang Tegal seluas 25 ha termasuk parkir.
Selain monyet, tidak ada hewan dominan lain di hutan yang memberikan penghasilan miliaran ke desa adat ini. Paru-paru kota Ubud dipasok oksigen dari sekitar 190 spesies tanaman dan ribuan jenis yang tumbuh rimbun.
Pada akhir April 2024 lalu, hutan monyet atau wenara wana ini padat pengunjung. Menurut data pengelola, rata-rata pengunjung per hari sekitar 4500 orang. Jika harga tiket rata-rata Rp100 ribu per orang, sesuai tarif akhir pekan untuk warga negara asing, maka dari tiket masuk saja sudah sekitar Rp450 juta/hari. Belum termasuk parkir dan pendapatan lain.
Para petugas sudah mengarahkan pengunjung dengan tangkas dengan petunjuk peta dan informasi panduan keamanan. Sedikitnya ada 10 arahan keamanan seperti larangan memberi makan ke monyet, tidak panik jika didekati, tidak memandang mata monyet, dan lainnya.
Ari Astari, salah satu tim manajemen menjelaskan, pemberian makanan tambahan dari pengunjung dilarang agar makanannya sehat alami seperti umbi-umbian. “Biar tidak kehilangan kemampuan memanjat kalau obesitas, termasuk larangan memberi kacang biar tidak kolesterol. Makanan kemasan membuat monyet agresif,” jelasnya. Para monyet baru mendapat makanan istimewa telur saat ritual penghormatan pada hewan saat Tumpek Kandang, enam bulan sekali.
“Jika dikejar jangan lari, usahakan tenang, jangan lihat mata monyet karena diartikan ancaman, bisa menyerang. Jangan menyembunyikan makanan karena mereka memiliki indera penciuman tajam,” paparnya. Selain itu jangan bawa tas kresek, paper bag, ada loker di pos tiket. Tas yang sebaiknya dalam kondisi tertutup rapat tanpa ada perintilan yang terlihat seperti gantungan kunci dan barang-barang lainnya.
Baca : Bangkitnya Ritus Sanghyang Dedari, Simbol Keseimbangan Alam di Bali
Jika dijelajahi panjang jalan setapak kurang dari 2 km, bisa ditempuh sekitar 1,5 jam. Namun ini tidak berhenti di sejumlah titik seperti areal pura, kolam, dan bagian lain menonton tingkah polah para monyet berkegiatan sehari-hari karena mereka aktif di siang hari, sama seperti manusia. Bisa seharian di dalam wenara wana karena keasyikan.
Di akhir pekan, pada siang jam 11 dan sore hari ada pertunjukan sendratari di panggung terbuka. Lakonnya adalah Lubdaka, kisah klasik di Bali yang berkaitan dengan filosofi peringatan Hari Raya Siwaratri. Kisah Lubdaka ini relevan dengan kondisi hutan monyet yang secara pasti tidak diketahui kehadirannya. Astari menyebut sejumlah prasasti yang mengingatkan kawasan ini seperti Sri Aji Jayayangus pada 1181 hutan ini diyakini sebagai lokasi perburuan kerajaan.
Kemudian di abad ke-14, pemukiman mulai muncul, diikuti pusat akomodasi ketika turis mulai masuk Bali pada 1970.
“Ini adalah contoh keharmonisan tumbuhan, manusia, alam, Tri Hita Karana, tiga cara mencapai kesejahteraan lahir batin. Bisa jadi daya tarik yang memberi kedamaian,” lanjut Astari
Untuk memastikan kelestariannya, desa adat membuat peratura tertulis atau Awig -awig desa adat. Pada bab VI pasal 95 disebutkan kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan suci, karena ada 3 pura yakni Pura Dalem Agung padangtegal, Pura Beji, dan Pura Prajapati. Seluruh masyarakat diwajibkan ikut menjaga kelestarian monkey forest, kalau melanggar ada sanksi. Dilihat dari struktur manajemen, manajemen bertanggung jawab ke pengawas atau Kertha Desa, Sabha Desa, BPK, dan Bendesa (kepala desa adat).
Peruntukannya untuk daya tarik wisata, paru-paru Ubud, pelestarian tanaman yadnya, dan lab alam bagi institusi pendidikan. Kegiatan utamanya adalah aktivitas ritual di ketiga pura, konservasi monyet, hutan, perluasan hutan, edukasi pemilahan sampah, dan rumah kompos.
Dua peringatan atau ritual besar terkait flora dan fauna yang dilakukan adalah Tumpek Kandang untuk hewan dan Tumpek wariga untuk tanaman setiap 6 bulan sekali. Para monyet ini berkelompok menjadi 10 kluster, dengan kelompoknya berjumlah100-200 ekor. Nama-nama kawasan atau kelompok monyet untuk memudahkan identifikasi di antaranya new forest, ashram, central, east, michelin, utara, cemetery, dan atap.
Baca juga : Tantangan Perdagangan Monyet Ekor Panjang di Bali
Mereka berkembang biak paling banyak sekitar Mei-Agustus, tiap indukan biasanya melahirkan dan membesarkan satu anak monyet yang diasuh induknya sekitar 10 bulan. Nah, bayi-bayi monyet inilah yang paling banyak menarik perhatian pengunjung karena selalu di dekat induknya bermain. Petugas melarang pengunjung menyentuh bayi monyet agar induknya tidak marah. Seekor monyet betina hamil 6 bulan, dan memiliki masa hidup lebih panjang.
Pakan monyet ini kebanyakan umbi-umbian seperti ubi rambat mentah. Diberikan tiap hari 9 kali tak heran mereka kerap tak lepas dengan makanan, dengan tambahan kadang kala buah kelapa, pepaya. Karena dilarang menyentuh, ada layanan foto selfie with monkey yang dijajakan di dalam hutan. Pengunjung harus membeli tiket senilai Rp50 ribu di gerobak foto selfie dan antre duduk berpose dengan bantuan petugas yang mengarahkan atau merayu si monyet seolah selfie dengan pengunjung. Foto-foto inilah yang bertebaran di media sosial karena si monyet seolah menghadap kamera padahal difoto oleh pawangnya dengan pemberian pakan, biasanya biji jagung.
Untuk kontrol populasi, ada program tiap tahun bekerja sama dengan benerapa kampus seperti tim dokter hewan Universitas Udayana yang biasanya dilakukan tiap Sabtu. Di kawasan ini juga ada titik klinik hewan merawat yang sakit, termasuk area khusus bagi yang disabilitas karena berbagai hal. Astari mencontohkan ada monyet tersetrum listrik atau dipatok ular. Monyet yang mati dikubur di dekat mereka tinggal. Tidak ada kuburan khusus.
Penghasilan sepenuhnya dikelola desa adat. Saat ini penghasilan dari tiket, parkir, monkey selfie, menyewakan lapangan, parkir inap, donasi, photo shoot, dan lokasi syuting. Harga tiket bervariasi Rp60-100 ribu, dibedakan dari anak, dewasa, domestik, WNA, dan akhir pekan atau tidak.
Kontribusi Rumah Kompos
Desa adat terus menjaga dan menambah tutupan hutan karena popularitas monyet dan kawasan ini terus meningkat menarik wisatawan. Kehadiran Rumah Kompos mendukung hutan monyet selain memecahkan masalah volume sampah di desa, terutama pengolahan organik.
Setiap hari, petugas rumah kompos terlihat membawa truk berisi kompos ke dalam hutan.Sedikitnya dua truk kompos saat itu dibawa dua petugas untuk ditaburkan di kawasan hutan. Kompos yang ditabur adalah yang lebih kasar, sementara yang halus atau sudah diayak, komposnya dijual.
Pengelola Rumah Kompos Kadek Jois Yana dan rekannya baru saja mendampingi puluhan siswa sekolah dasar melakukan pembelajaran pengelolaan sampah. Didirakan sejak 2012, Rumah Kompos sudah mengelola 5.000 kubik sampah setara kecamatan.
Jumlah pekerja 44 orang saat ini, terdiri dari manajemen 5, tim pengangkut 17, supir 6, sisanya pengolah sampah 17. Kegiatan setiap hari adalah pengambilan sampah ke rumah, hotel, dan fasilitas usaha lain. Syaratnya sampah harus terpilah, organik dan anorganik dan seluruh kewajiban pengeloaan sampah ini juga diatur dengan aturan adat atau perarem.
Baca juga : Ada Monyet Kegemukan Di Bali
Usaha milik desa adat iniseluas 30 are berada di area parkir Monkey Forest. Kapasitasnya 40-50 meter kubik. Masalah sampah makin momok karena Desa Padang Tegal yang termasuk pusat Ubud makin padat turis dan industri pariwisata.
Jika dulu warga masih memiliki halaman belakang untuk membuang sampah organik kini dijadikan akomodasi atau disewakan. Jenis sampah pun makin banyak anorganik.
“Aktivitas wisata tidak diimbangi pengelolaan sampah, akhirnya dibuang di saluran air got, sungai. Dulu langganan truk diangkut seminggu dua kali tidak teratur sehingga sampah menumpuk. Pada 2012 dibentuk Rumah Kompos,” cerita Jois.
Hutan makin luas, populasi monyet bertambah, perlu pohon dan pupuk. Klop sudah fungsi Rumah Kompos ini. Sampah organik bisa diolah, Rumah Kompos pun disulap jadi obyek edukasi. Dengan bantuan dana program TPS3R dari pemerintah, fasilitas ditambah dengan ruang teater dan memperluas bak komposter.
Rumah Kompos mulai mandiri karena mendapat pemasukan dari jasa pengangkutan, fasilitas edukasi, pelatihan, penjualan kompos, dan kunjungan. Tak mudah menjalankan pusat pengolahan sampah yang berkelanjutan di desa. Prosesnya bertahap, paling sulit adalah edukasi pemilahan sampah dan komunikasi.
Terlebih monkey forest adalah kawasan suci dan dilindungi, awal kehadiran Rumah Kompos juga ada yang protes karena membawa sampah ke kawasan suci. Namun semua bisa dilalui, Rumah Kompos ini aktivitasnya terus bertambah, dari 5 kotak komposter kini menjadi 57 kotak kompos.
Komposting dilakukan manual, dengan sistem anaerob, sampah organik yang sudah dicacah dengan bantuan mesin ditumpuk dan diberikan zat perangsang perkembangan anorgisme agar mempercepat dekomposisinya. Setelah terdekonposisi, disaring untuk mendapat kompos halus. Residunya menjadi kompos kasar.
Gedung Rumah Kompos ini didesain bertingkat, sehingga memudahkan pengunjung melakukan observasi dari lantai 2. Sementara aktivitas pemilahan, komposting, dan lainnya di lantai 1. Di luar gedung ada kebun permakultur berisi sayur dan bunga.
Kebun permakultur ini didesain dengan memanfaatkan limbah dari sampah sepatu boot plastik, botol, papan, dan lainnya. Jois mengakui kualitas komposnya tidak berkualitas tinggi, namun mampu menyuburkan tanaman karena fokusnya adalah mengolah sampah organik agar tak terbuang ke TPA.
Saat ini operasional Rumah Kompos bisa diatasi dari penghasilan kompos dan kegiatan pendukungnya dari pengguna jasa sampah iurannya 673 KK x Rp80 ribu. Untuk iuran dari pemilik akomodasi dan usaha disesuaikan dengan volume sampahnya.
Saat ini penghasilan kotor Rumah Kompos sekitar Rp150 juta, hampir sama dengan biaya operasional. Tak hanya biaya gaji, juga tes rutin hasil kompos yang dihasilkan. Bisnis pengangkutan sampah dan penjualan kompos dinilai belum bisa menghasilkan laba karena listrik masih disubsidi Monkey Forest. Inilah hutan dengan para monyet yang mesejahterakan warga dan desa. (***)
Monyet Misterius Ini Hasil Hybrid Bekantan dengan Lutung Perak?