Teknologi.id – Elon Musk, dengan inovasi terbarunya melalui Starlink, bersiap untuk meluncurkan layanan internet “Direct to Cell” di Indonesia. Layanan ini memungkinkan koneksi internet satelit Starlink langsung ke smartphone atau handphone pengguna, tanpa harus terhubung dengan menara BTS operator seluler.
Meskipun teknologi ini menawarkan banyak manfaat, termasuk konektivitas di daerah terpencil, hal ini juga menimbulkan berbagai reaksi dan kekhawatiran di kalangan operator seluler dan pakar keamanan di Indonesia.
Respon Operator Seluler Indonesia
Operator seluler di Indonesia telah menyatakan keprihatinannya terhadap layanan “Direct to Cell” Starlink. Henry Wijayanto, Head of External Communication XL Axiata, mengungkapkan bahwa pemerintah harus memastikan adanya “equal playing field” atau persaingan yang adil dalam industri telekomunikasi tanah air.
Menurut Henry, jika Starlink menjual langsung kepada konsumen tanpa bekerja sama dengan operator lokal, hal ini bisa berdampak signifikan pada industri telekomunikasi.
“Jadi kami mendorong atau meminta pemerintah supaya Starlink di Indonesia melakukan kerja sama dengan penyelenggara seluler, operator dalam hal ini. Jadi tidak direct langsung ke end user,” kata Henry saat ditemui KompasTekno, Rabu (5/6/24).
Reza Zahid Mirza, Group Head Corporate Communications XL Axiata, juga menekankan pentingnya regulasi yang sama untuk semua penyedia layanan telekomunikasi, termasuk Starlink.
“Kami berharap pemerintah menyamakan regulasi telekomunikasi kepada mereka. Jangan main masuk saja. Secara legal belum B2C,” ujarnya. XL Axiata terus berkomunikasi dengan pemerintah dan Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) terkait kehadiran Starlink.
Baca juga: Menko Luhut Sebut Tak Perlu Lagi BTS, Sudah Ada Starlink
Starlink: Inovasi dan Implementasi “Direct to Cell”
Starlink, melalui PT Starlink Service Indonesia, resmi beroperasi sebagai pemain baru di industri penyedia layanan internet di Indonesia. Pada 2 Januari 2024, Starlink meluncurkan enam satelit pertama dengan kemampuan “Direct to Cell”.
Kemudian, pada 4 Juni 2024, SpaceX meluncurkan 20 satelit internet Starlink lagi, termasuk 12 satelit yang dapat memancarkan layanan “Direct to Cell”. Layanan ini memungkinkan smartphone untuk menerima pesan teks via satelit di mana pun berada, baik di darat maupun di pesisir pantai, tanpa perlu mengubah komponen atau firmware pendukung.
Di situs resminya, Starlink menyatakan bahwa kampanye peluncuran “Direct to Cell” akan segera digelar, dan layanan ini sudah dipajang untuk pelanggan bisnis di Indonesia.
Tantangan Teknologi “Direct to Cell”
Meskipun menawarkan berbagai keuntungan, layanan “Direct to Cell” juga menghadapi beberapa tantangan teknis. Menurut Starlink, menghubungkan telepon seluler langsung ke satelit memerlukan peralihan yang mulus antara satelit dan mengatasi faktor-faktor seperti pergeseran Doppler dan penundaan waktu yang menghambat komunikasi telepon ke luar angkasa.
Satelit Starlink dilengkapi dengan silikon khusus baru, antena array bertahap, dan algoritma perangkat lunak canggih untuk mengatasi tantangan ini.
Namun, kecepatan layanan “Direct to Cell” tidak bisa menyaingi jaringan seluler terestrial yang ada. Elon Musk menyatakan bahwa satelit ini hanya mendukung sekitar 7MB per zona, sehingga kecepatannya tidak cukup bersaing dengan jaringan seluler terestrial yang ada. Meskipun demikian, solusi ini tetap penting untuk lokasi tanpa sinyal.
Kekhawatiran Keamanan dan Regulasi
Kehadiran Starlink di Indonesia juga menimbulkan kekhawatiran terkait pertahanan dan keamanan. Pratama Persadha, pakar keamanan siber dan Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber (CISSReC), mengungkapkan bahwa layanan Starlink bisa menjadi ancaman bagi keamanan nasional.
Salah satu ancaman adalah Indonesia tidak memiliki akses dan kontrol terhadap pertukaran data yang terjadi lewat internet satelit Starlink, karena layanan ini dijual langsung kepada konsumen tanpa melalui infrastruktur dalam negeri.
Pratama menjelaskan bahwa kegiatan pengawasan, pemantauan, dan pembatasan ini penting untuk memantau kegiatan yang mengancam keamanan Indonesia. Selain itu, satelit Starlink yang berada di orbit rendah bumi (LEO) bisa diretas oleh penjahat dan dijadikan senjata untuk menyerang wilayah suatu negara, termasuk Indonesia.
Ancaman lain juga bisa datang jika Starlink digunakan oleh aparat hukum, militer, dan intelijen di Indonesia, mengingat Starlink adalah perusahaan asal Amerika Serikat yang tunduk pada Foreign Intelligence Surveillance Act.
Oleh karena itu, Pratama menegaskan bahwa pemerintah harus memaksa Starlink untuk menjadi Network Access Provider (NAP) di Indonesia, sehingga layanan ini setidaknya bersinggungan dengan infrastruktur telekomunikasi dalam negeri.
Baca Berita dan Artikel lain di Google News.
(bmm)