“Tadi pagi saya mendapatkan laporan dari Dirut Pertamina bahwa produksi di Blok Rokan sudah mencapai 162.000 barel per hari dan merupakan 25 persen dari seluruh produksi nasional Indonesia.”
Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan hal tersebut di wilayah pengelolaan minyak dan gas bumi Rokan, Riau, pada Sabtu, 1 Juni 2024.
Jokowi mengapresiasi kinerja PT Pertamina yang berhasil meningkatkan produksi minyak bumi Blok Rokan. Pertamina mengambil alih pengelolaan Blok Rokan pada 2018 setelah puluhan tahun wilayah kerja ini dikelola oleh perusahaan asal Amerika Serikat, Chevron.
Apakah klaim Jokowi benar?
Kami bekerja sama dengan peneliti bidang teknik sumber daya mineral dan energi UNSW Sydney, Putra Hanif Aqson Gani, untuk memeriksa kebenaran pernyataan Jokowi tersebut.
Klaim Jokowi benar, tapi…
Hanif mengemukakan klaim Presiden seputar produksi migas blok Rokan benar. Sejak 2023, jumlah produksi blok Rokan menyalip blok Cepu di Jawa Timur. Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), blok Cepu pada 2023 memproduksi 155.144 barel minyak per hari. Sementara itu, blok Rokan menghasilkan 161.623 barel per hari.
“Blok Cepu biasanya menjadi produsen minyak terbesar di Indonesia. Namun, belakangan ini, blok Cepu mengalami penurunan produksi secara alamiah,” ujar Hanif.
Dengan jumlah segitu, Hanif mengatakan produksi blok Rokan setara dengan 24% dari total produksi migas Indonesia. Bahkan tahun lalu, produksi minyak blok Rokan sempat menyentuh angka 172.710 barel per hari.
Lantas, bagaimana dengan tahun ini? Hanif mengatakan belum ada laporan SKK Migas yang membenarkan klaim ini. Namun, berdasarkan data historis dan tren produksi, klaim produksi blok Rokan mencapai 152 ribu barel per hari—setara 25% dari produksi migas nasional—bisa jadi benar.
“Catatan historis menunjukkan bahwa angka tersebut sesuai dengan tren produksi Blok Rokan,” kata Hanif.
Produksi migas Indonesia menurun
Sebagai tambahan, Hanif mengemukakan bahwa produksi migas Indonesia memasuki fase penurunan. Tren ini terjadi karena berbagai sebab: kurangnya investasi dalam eksplorasi dan eksploitasi migas, ketidakpastian regulasi, dan birokrasi yang kompleks.
Inisiatif transisi energi di tingkat global maupun nasional juga semakin menekankan pentingnya energi terbarukan. Akibatnya, kata dia, eksploitasi minyak dan kondensat menjadi kurang populer.
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).