Kepulauan Spermonde: Dari Ancaman Abrasi, Overfishing, hingga Kerentanan Ekonomi Nelayan

kepulauan-spermonde:-dari-ancaman-abrasi,-overfishing,-hingga-kerentanan-ekonomi-nelayan
Kepulauan Spermonde: Dari Ancaman Abrasi, Overfishing, hingga Kerentanan Ekonomi Nelayan
service
Share

Share This Post

or copy the link
  • Di tengah pesona dan kekayaan keanekaragaman hayati yang dimilikinya, Kepulauan Spermonde dihadapkan oleh banyak permasalahan, baik dari ancaman abrasi, illegal fishing, overfishing dan kerentanan ekonomi bagi nelayan yang berada di kawasan ini.
  • Suhu permukaan laut di kawasan Spermonde itu juga telah meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir sehingga terjadi pemutihan terumbu karang dan terjadi perubahan distribusi ikan.
  • Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kerentanan ekonomi nelayan itu sangat bergantung pada ada tidaknya mata pencaharian alternatif.
  • Nelayan yang tidak memiliki mata pencaharian alternatif memiliki tingkat kerentanan lima, yang berarti gagal pulih dan akan semakin terpuruk jika perubahan iklim terus terjadi.

Kepulauan Spermonde yang membentang sepanjang barat daya Sulawesi Selatan, dengan 120 pulau kecil, dikenal karena keanekaragaman hayati yang tinggi, terumbu karang, hutan mangrove dan lamun yang bagus, sehingga sering dikatakan sebagai kawasan perairan primadona di Sulawesi Selatan.

Kepulauan Spermonde juga merupakan sumber mata pencaharian sebagian besar penduduk di pulau-pulau kecil di kawasan ini, berkontribusi pada ekonomi lokal, regional dan bahkan nasional.

Namun di balik pesona dan kekayaannya, kepulauan ini dihadapkan oleh berbagai tantangan, seperti degradasi lingkungan akibat aktivitas manusia yang sangat tinggi termasuk overfishing, atau penangkapan ikan berlebih, serta masifnya aktivitas bom dan bius. Overfishing dampaknya sangat besar dan masih terjadi karena kurangnya pengawasan dan penegakan hukum.

“Tantangan lain dari sesi tekanan sosial ekonomi, dengan meningkatnya populasi dan kebutuhan ekonomi ini memaksa nelayan itu mencari cara baru dalam mendukung kehidupan mereka, termasuk, migrasi ke kota besar, diversifikasi pekerjaan, dan sebagainya,” ungkap Prof. Nita Rukminasari, guru besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Universitas Hasanuddin, dalam workshop perubahan iklim yang diselenggarakan Puslit Perubahan Iklim LPPM Unhas bersama Direktorat Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PPI KLHK), disokong oleh Hanns Seidel Stiftung, di Makassar, akhir Mei lalu.

Menurut Nita, suhu permukaan laut di kawasan Spermonde itu juga telah meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir sehingga terjadi bleaching atau pemutihan terumbu karang, serta terjadinya perubahan distribusi ikan.

“Nelayan yang awalnya menangkap dekat-dekat saja, karena ada peningkatan suhu laut, dia jadi lebih jauh lagi menangkap ikan. Jadi distribusi ikan itu jadi semakin tidak menentu.”

Baca : Kerentanan Nelayan di Kepulauan Spermonde terhadap Perubahan Iklim

Prof. Nita Rukminasari, guru besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Universitas Hasanuddin, menyampaikan hasil penelitiannya dalam workshop perubahan iklim yang diselenggarakan Puslit Perubahan Iklim LPPM Unhas kerja sama dengan Direktorat PPI KLHK, disokong oleh Hanns Seidel Stiftung, di Makassar, akhir Mei 2024. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Fakta lain, terjadi perubahan pola musim dan cuaca yang ekstrem perubahan pola air, curah hujan, dan frekuensi badai. Berdampak pada gangguan musim penangkapan, kerusakan infrastruktur dan abrasi.

“Sekarang nelayan sulit bedakan mana musim hujan, musim kemarau, musim transisi. Jadi nelayan bingung musim, yang seharusnya bulan-bulan ini sudah tidak ada hujan, jadi bisa menangkap ikan setiap hari, tapi masih ada hujan. Gelombang masih besar.”

Kerusakan terumbu karang telah menyebabkan terganggunya ekosistem sekitar serta terjadinya erosi dan abrasi pantai. Tantangan lain adalah terjadinya pencemaran laut akibat limbah domestik, industri, dan sampah plastik.

Pencemaran ini menyebabkan terjadi penurunan kualitas air, kematian biota laut, dan banyak penyu yang terperangkap sisa-sisa alat tangkap, jaring yang dibuang begitu saja.

Fakta lain yang ditemukan Nita dalam penelitiannya adalah penurunan hasil tangkapan yang menyebabkan krisis ekonomi bagi nelayan, terjadi migrasi lokasi dan pekerjaan, karena tidak dapat lagi mengandalkan penghidupan dari hasil melaut.

Nelayan di Spermonde juga dihadapkan pada keterbatasan akses pasar, di mana mereka lebih banyak menjual hasil tangkapan ke ponggawa (pengepul ikan), sehingga tak memiliki kekuatan dalam menentukan harga jual ikan, apalagi jika mereka berutang ke ponggawa.

“Jadi, korelasi antara ponggawa – nelayan itu sangat kuat, dan itu sangat merugikan nelayan. Karena ada keterbatasan akses pasar ini, pendapatan nelayan tetap rendah, karena mereka harus menjual ikan dengan harga murah di pasar lokal atau tengkulak.”

Baca juga : Riset Koalisi Save Spermonde: Proyek MNP Rusak Ekosistem Laut dan Sengsarakan Nelayan

Kondisi ketertutupan terumbu karang di Kepulauan Spermonde, termasuk di sekitar Pulau Samalona yang berada di Kota Makassar menurun drastic dalam beberapa tahun terakhir. Kini jumlahnya diperkirakan tak lebih dari 19 persen. Salah satu penyebabnya karena perikanan yang merusak (destructive fishing) Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

Kerentanan Nelayan

Menurut Nita, nelayan di Kepulauan Spermonde memiliki tingkat kerentanan yang cukup tinggi terhadap perubahan iklim, berdasarkan kajian yang ia lakukan di empat pulau di kepulauan ini, melibatkan 364 responden.

“Dalam 10 tahun terakhir ini, sangat sering terjadi cuaca buruk seperti badai dan angin besar. Jadi, nelayan merasa sering mengalami cuaca buruk dan angin besar. Kemudian, sangat sering terjadi gelombang tinggi dengan cuaca yang semakin panas. Musim pun semakin tidak bisa diprediksi.”

Perubahan iklim ini juga berpengaruh pada jumlah hasil tangkapan ikan, ketersediaan sumberdaya perikanan dan pola migrasi ikan.

“Jadi, nelayan mengatakan bahwa 10 tahun yang lalu jumlah ikan di sekitar pulaunya itu sangat melimpah, tapi sekarang sudah jauh berkurang. Kemudian, nelayan merasa khawatir menangkap ikan akibat perubahan iklim. Jadi, ada kekhawatiran misalnya iklim seperti ini terus, kemungkinan saya pensiun jadi nelayan.”

Waktu tempuh menuju lokasi ikan itu juga dirasakan lebih lama sehingga biaya operasional juga meningkat.

Terkait tingkat kerentanan ekonomi nelayan, penelitian ini menetapkan lima indikator. Pertama, nelayan bisa pulih lebih dari 100 persen. Kedua, antara 50–100 persen nelayan bisa pulih. Ketiga, 25–50 persen, level empat 0–25 persen, dan level lima itu gagal pulih.

“Jadi, ini terkonfirmasi bahwa kalau dia tidak memiliki pekerjaan alternatif, dia gagal pulih berada di level lima. Tapi misalnya ada aparatur pejabat negara, misalnya nelayan yang juga sekretaris desa berada dia level empat. Nelayan yang memiliki pekerjaan sampingan, seperti budidaya lobster memiliki level kerentanan lebih kecil.”

Baca juga : Penambangan Pasir Laut di Spermonde Datang, Ikan Tenggiri Menghilang

Salah satu dampak perubahan iklim bagi nelayan adalah kondisi laut yang tak menentu, yang membuat nelayan di Kepulauan Spermonde terpaksa harus melaut ke tempat yang jauh sehingga menambah biaya produksi. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Berdasarkan pekerjaan alternatif, hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kerentanan ekonomi nelayan itu sangat bergantung pada ada tidaknya mata pencaharian alternatif. Nelayan yang tidak memiliki mata pencaharian alternatif memiliki tingkat kerentanan lima, yang berarti gagal pulih dan akan semakin terpuruk jika perubahan iklim terus terjadi.

“Selain itu, ada 38% nelayan yang memiliki pekerjaan alternatif budidaya dan perikanan memiliki tingkat kerentanan dua, yang mampu pulih antara 50 sampai 100 persen. Dan ada juga pada tingkat kerentanan empat, pemulihannya kurang dari 25 persen.”

Hasil lain, 35 persen nelayan yang memiliki pekerjaan alternatif sebagai berdagang atau wiraswasta memiliki tingkat kerentanan tiga dengan peluang pulih 25 sampai 50 persen.

Penelitian ini selanjutnya merekomendasikan perlunya pemerintah menyediakan sistem peringatan dini yang efektif untuk memberikan informasi iklim kepada nelayan, sebagai tindakan mitigasi perubahan iklim.

“Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan pembangunan infrastruktur adaptasi serta pendidikan dan pelatihan bagi nelayan dan keluarganya. Terutama untuk meningkatkan keterampilan nelayan dalam mendapatkan pekerjaan alternatif atau menciptakan pekerjaan alternatif. Dan rekomendasi yang keempat tentunya harus ada kolaborasi,” pungkasnya. (***)

Ingin Berdaulat di Laut, Indonesia Perlu Menjaga Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dari Pertambangan

0
mutlu
Happy
0
_zg_n
Sad
0
sinirli
Annoyed
0
_a_rm_
Surprised
0
vir_sl_
Infected
Kepulauan Spermonde: Dari Ancaman Abrasi, Overfishing, hingga Kerentanan Ekonomi Nelayan

Tamamen Ücretsiz Olarak Bültenimize Abone Olabilirsin

Yeni haberlerden haberdar olmak için fırsatı kaçırma ve ücretsiz e-posta aboneliğini hemen başlat.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Login

To enjoy Foxiz.my.id privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Bizi Takip Edin