- Pemerintah mau berikan izin tambang untuk organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) menyatakan kesiapan bahkan ormas yang pertama ajukan izin untuk kelola tambang tetapi banyak tokoh muda di dalam organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, itu protes dan menolak.
- Roy Murtadho, Tokoh Muda Nahdatul Ulama (NU), mengatakan, kebijakan ini berpotensi memecah belah umat. Warga yang menolak tambang akan dicap sebagai kelompok anti agama. Mereka lantas juga akan berhadapan dengan ormas keagamaan.
- Pendeta Jacky Manuputty, Sekertaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengatakan, PGI terpanggil melakukan pelayanan sosial-ekologis. Mengambil bagian sebagai pelaku usaha pertambangan akan membuat PGI terjebak untuk melawan mandat dan panggilan ber-gereja-nya.
- Rencana bagi-bagi izin tambang ke ormas keagamaan juga mendapat kritik dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Organisasi ini bahkan menegaskan untuk tidak terlibat dalam kegiatan pertambangan.
Pemerintah mau berikan izin tambang untuk organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan menuai protes dari berbagai kalangan termasuk para tokoh agama dan pengurus organisasi keagamaan.
Walau Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) menyatakan kesiapan bahkan ormas yang pertama ajukan izin untuk kelola tambang tetapi banyak tokoh muda di dalam organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, itu protes dan menolak.
PBNU mengajukan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) di Kalimantan Timur (Kaltim).
Peluang ormas keagamaan dapat izin tambang ini tertuang dalam perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 96/2021 tentang pelaksanaan usaha pertambangan mineral dan batubara (minerba) yang diperbarui jadi PP Nomor 25/2024.
Dalam beleid itu, antara lain mengatur soal ormas keagamaan dapat prioritas izin tambang.
Roy Murtadho, Tokoh Muda Nahdatul Ulama (NU), mengatakan, keputusan PBNU sama saja menciderai Nahdiyin. Selama ini, NU berkomitmen dalam pelestarian lingkungan dan mengharamkan eksplorasi sumberdaya alam. Komitmen itu juga teradopsi dalam banyak putusan muktamar NU.
“Dalam banyak putusan muktamar NU yang menyatakan alih fungsi lahan produktif pangan untuk kepentingan bisnis besar hukumnya haram, atau perusakan lingkungan yang berdampak kerusakan sosial ekologis hukumnya haram,” katanya kepada Mongabay, 6 Juni lalu.
Roy yang juga pendiri sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Ekologi Misykatul Anwar Bogor ini bilang, bila NU mengerjakan tambang sama saja dengan membatalkan komitmen mereka dalam pelestarian lingkungan.
Keputusan NU mengharamkan eksplorasi sumberdaya alam itu merupakan kesepakatan dari sidang bahtsul masail PBNU 10 Mei 2015.
Keputusan ini dibacakan KH A Ishomuddin, yang saat itu masih menjabat sebagai, Rais Syuriyah PBNU. Menurut dia, meskipun negara atau swasta legal secara hukum, namun pada praktiknya banyak pengabaian.
Dalam keputusan itu disebutkan, eksploitasi sumber daya alam cenderung membawa dampak kerusakan lingkungan. Isu yang diangkat PBNU ini berangkat dari keprihatinan para kiai melihat kerusakan luar biasa alam dan pencemaran lingkungan seperti lubang-lubang raksasa di Kalimantan, Aceh, Papua, Sidoarjo dan lain-lain karena eksploitasi alam berlebihan.
Roy menyatakan, pengelolaan tambang selama ini menimbulkan banyak dampak negatif terhadap lingkungan dan mengabaikan hak asasi manusia (HAM). Misal, konflik dengan masyarakat adat karena melakukan deforestasi dan menggusur ruang hidup. Jadi, NU sama saja akan menjadi aktor perusak lingkungan apabila mengelola tambang.
Padahal, katanya, seharusnya NU bertugas menjaga lingkungan. “Itu mandat. Apalagi NU di zaman Gus Yahya (Yahya Cholil Staquf, Ketum PBNU) punya tagline merawat jagat, itu turunan dari rahmatanilalamin. Islam kan misinya besar menjadi penyelamat alam, lah kok ikut merusak alam. Itu kan kontradiksi internal.”
Terkait revisi peraturan soal pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan minerba, kata Roy, itu merupakan taktik pemerintah menjadikan ormas keagamaan agama sebagai tameng rezim. Rezim oligarki, sudah didukung para pengusaha sektor ekstraktif untuk mengamankan proyek kotornya.
Dia pun meyakini, tambang juga tidak akan dikelola langsung ormas keagamaan, melainkan perusahan ekstraktif.
“Karena itu perlu entitas soal yang memiliki massa besar dan punya justifikasi agama, yang bisa mengamankan proyek-proyek ekstraktif,” katanya.
Rawan pecah belah
Roy bilang, kebijakan ini berpotensi memecah belah umat. Warga yang menolak tambang akan dicap sebagai kelompok anti agama. Mereka lantas juga akan berhadapan dengan ormas keagamaan.
“Kan bahaya sekali. Terus bisa dibayangkan tokoh ulama yang hidupnya memang memperjuangkan Islam, mengajari orang-orang bisa ngaji tentang Al Sunah Jamaah, sama dengan NU, tapi karena nolak tambang, bisa berharap hadapan itu, itu yang bahaya,” katanya.
Sementara, aktor di belakangnya menganggap itu bukan konflik vertikal melainkan horizontal. Dimana, yang berkonflik dianggap sesama masyarakat dan tak ada kaitan dengan pemerintah.
“Padahal, situasi semacam tadi sudah didesain sejak awal untuk menghindari keterlibatan pemerintah sebagai pihak pencipta konflik.”
Menurut dia, kendati PBNU menerima kebijakan bagi-bagi tambang untuk ormas keagamaan itu, namun itu mendapat penolakan dari kaum Nahdiyin. Mereka merupakan kalangan kiai di luar pengurus NU.
“Mereka ini (kaum Nahdiyin yang menolak), para ulama yang selama ini fokus dahwah, mengurusi umat, mendampingi warga yang tergusur, mendampingi warga yang berkonflik yang pasti akan keberatan,” katanya.
Senada dengan Asman Aziz, Wakil Sekretaris PWNU Kalimantan Timur (Kaltim). Dia menyayangkan, sikap PBNU yang begitu saja menerima pemberian konsesi tambang dari pemerintah. Sikap itu, di luar tradisi NU yang senantiasa membahas sebelum mengambil keputusan.
“Itu yang saya sayangkan juga ke Gus Ketum dan temen-temen pengurus PBNU lainnya. Urusan konsesi ini isu strategis yang sangat penting [dibahas bersama],” katanya saat dihubungi Mongabay, 9 Juni lalu.
Untuk merespons kebijakan sebesar itu, seyogyanya PBNU menggelar diskusi atau musyawarah terlebih dulu. Sepanjang yang dia ketahui, pembahasan tidak pernah ada, termasuk di tingkat PWNU sekalipun.
Sementara ini ada enam lahan bekas konsesi yang akan diserahkan ke ormas, empat ada di Kalimantan Timur, dua di Kalimantan Selatan (Kalsel).
“Masalahnya, sejauh ini belum mengetahui ada pembicaraan antara PBNU dan PWNU terlait rencana itu. Ini kan masalah besar. Karena membawa nama organisasi, seharusnya ini dibicarakan secara organisasional. Tidak ada diskusi terbuka tentang masalah ini.”
Dia telah menyampaikan ke PBNU bahwa kerusakan-kerusakan (mafsadat) dari tambang, terutama di Kaltim itu benar-benar luar biasa. Bahkan, sampai saat ini, tercatat ada 49 anak tewas di lubang bekas tambang di Kaltim.
Selain itu, katanya, ada 1.700 lubang bekas tambang di Kaltim yang sampai saat ini belum tereklamasi. “Kalau pun mau direklamasi dengan mengembalikan ke rona awal, berapa gunung yang harus dihancurkan? Ujungnya merusak lagi kan?”
PBNU, katanya, mengklaim tambang akan dilakukan dengan prinsip hijau atau praktik yang baik (go green mining practice). Narasi itu, katanya, hanya omong kosong belaka.
“Karena memang itu tidak ada buktinya. Di Kaltim ini ada ribuan IUP. Tak satupun yang bisa disebut tambang berprespektif lingkungan. Mana ada? Kecuali NU mau menambang tanpa menggali, apa bisa?”
Dia katakan, ada satu prinsip yang selama ini menjadi ajaran dan pedoman NU dalam berperilaku yakni, mendahulukan mencegah keburukan daripada manfaatnya. Kaidah ini memiliki konsekuensi mengabaikan sesuatu hal yang memberi manfaat tatkala hal itu membawa dampak buruk.
Menghindari kerusakan itu, katanya, jauh lebih penting ketimbang manfaat. “Dalam konteks tambang ini, Gus Ketum seharusnya tidak mengambilnya. Karena sekalipun memiliki manfaat ekonomi, data rusak juga sudah jelas-jelas gitu kok. ”
Selain itu, katanya, langkah PBNU mengelola tambang itu juga tak sejalan dengan semangat meninggalkan energi kotor. Bahkan, dalam pertemuan G20 yang berlangsung di Bali juga menyepakati upaya percepatan energi kotor ke energi terbarukan.
Langkah pemerintah memberi ruang konsesi tambang kepada ormas sebagai upaya menjerumuskan ormas ke dalam pusaran bisnis energi kotor.
Asman menilai, keputusan pemerintah memberi konsesi tambang kepada ormas sebagai ijon politik. Tujuannya, agar pemerintah tidak mendapat kritikan atau resistensi apapun dari ormas keagamaan.
Idealnya, NU sebagai garda terdepan mengawal kebijakan pertambangan yang merusak ekologi dan menghancurkan ruang hidup dan peradaban masyarakat. Bukan sebaliknya, menjadi bagian dari pihak yang ikut merusak.
“Ini sarat dengan konflik kepentingan. Ketika NU menjadi bagian dari penambang itu, NU hanya bisa duduk manis, tidak akan bisa mengkritik atas kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat tambang. Sebagai orang NU, jujur saya sangat sedih, ” katanya.
Saat ini, katanya, dinamika NU juga makin rumit. Di tingkat cabang, banyak pengurus NU yang didatangi para makelar guna mengiming-imingi pengelolaan tambang.
“Ini yang saya khawatirkan. Pada akhirnya, NU hanya akan menjadi beking atau bamper para pemain tambang. Jadi kan makin rumit karena juga berpotensi menjadikan NU berhadapan dengan masyarakat terdampak”
Selama ini, NU menjadi rumah bagi mereka yang menjadi korban terdampak aktivitas pertambangan. “Kalau NU kemudian ikut menambang kan repot. Ini yang harusnya dibahas PBNU, tidak serta merta menerima.”
Izzuddin Zaky, Ketua PC. Ansor Kabupaten Trenggalek, bersikukuh menolak kehadiran tambang emas di wilayahnya. Menurut dia, rencana itu berpotensi mendatangkan banyak kerusakan ketimbang manfaat.
“Kami tidak memiliki kapasitas mengomentari respons PBNU terkait konsesi tambang itu. Tetapi di Trenggalek, komitmen kami tetap sama agar jangan sampai tambang emas itu beroperasi,” katanya.
Penolakan dari PGI dan HKBP
Pendeta Jacky Manuputty, Sekertaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengatakan, PGI terpanggil melakukan pelayanan sosial-ekologis.
Gereja, katanya, tidak bisa tinggal diam menyaksikan proses eksploitasi dan perusakan sumber daya alam yang dewasa ini sudah mencapai tahap sangat mengkhawatirkan juga dapat mengakibatkan ‘kiamat ekologis’ bagi segala makhluk.
Dia katakan, mengambil bagian sebagai pelaku usaha pertambangan akan membuat PGI terjebak untuk melawan mandat dan panggilan ber-gereja-nya.
PGI, katanya, tak memiliki kapasitas yang prima untuk mengelola berbagai persoalan sosial dan ekologi yang selalu membonceng pada industri ekstraktif seperti ini, seperti, kerusakan lingkungan, konflik agraria, peminggiran masyarakat adat, dan lain-lain.
“Sejauh ini kita belum memiliki cerita sukses mengenai keberhasilan industri ekstraktif dalam pengelolaan lingkungan lestari, baik lingkungan alam maupun lingkungan manusia di sekitar.”
Bahkan, katanya, perusahaan-perusahaan tambang besar dan profesional sekalipun belum ada yang berhasil menggaransi lingkungan lestari di wilayah pertambangan.
Bayangkan saja, katanya, kalau ada sengketa saat tambang dengan masyarakat pemilik ulayat, bagaimana ormas keagamaan seperti PGI harus berdiri saat berposisi sebagai pemilik IUP pertambangan.
Model pembangunan, kata Jacky, berbasis pertumbuhan ekonomi ekstraktif dan tidak berkelanjutan serta memicu krisis iklim. Dampak perubahan iklim paling berat dihadapi masyarakat miskin dan terpinggirkan, termasuk masyarakat adat, perempuan, dan anak-anak.
“Gereja menjadi semakin tidak relevan dan tereduksi efektivitasnya bilamana gereja tidak mengambil sikap konkret mengadvokasi kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan persoalan-persoalan struktural, ketidak-adilan kebijakan, serta dampak kemiskinan yang mengemuka,” katanya.
Meski demikian, katanya, PGI mengapresiasi niat baik dan upaya pemerintah tetapi PGI tidak mengajukan diri untuk IUP pertambangan. “PGI itu sendiri belum pernah dihubungi untuk itu untuk membicarakan detilnya.”
Namun, katanya, melihat kajian dan dinamika berkembang, PGI tetap menolak kalau ada tawaran dan tidak akan mengajukan diri untuk menerima.
Jacky bilang, ada beberapa alasan mendasar PGI, seperti, tidak punya mandat untuk kelola tambang.
“PGI selama ini legasi moral didalam advokasi keadilan ekologi, environmental protection itu sangat panjang. Karena itu PGI selalu berdiri untuk menyampaikan suara kritis dalam kaitan dengan, berbagi faktor kerusakan lingkungan. Yang disebabkan oleh macam-macam hal termasuk oleh industri ekstraksi.
Kemudian, PGI dalam menjalankan visi dan misi gereja harus adil, transparan, menjamin masyarakat sekitar, menjamin kelestarian alam, menjamin isu gender dan lain-lain.
Melihat ini, kata Jacky, benar-benar di luar mandat ormas keagamaan dan akan menyita energi sangat besar.
“Kalau kita masuk ke situ dan tidak hati-hati, maka kita akan menghilangkan seluruh rekam jejak dan perjuangan PGI bagi isu-isu keadilan keutuhan ciptaan, masyarakat adat, dan lain-lain seperti itu.”
Selama ini, katanya, PGI juga melakukan advokasi pendampingan ke kelompok-kelompok rentan di sekitar industri-industri ekstrasi, pertambangan, dan lain-lain.
Saat ini, kata Jacky, masyarakat dari berbagai wilayah lewat jaringan-jaringan advokasi mendatangi PGI untuk meminta bantuan advokasi terhadap masalah lahan mereka.
Rencana bagi-bagi izin tambang ke ormas keagamaan juga mendapat kritik dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Organisasi ini bahkan menegaskan untuk tidak terlibat dalam kegiatan pertambangan.
HKBP menilai, satu tugas HKBP adalah menjaga lingkungan, sebagaimana isi Konfesi HKBP tahun 1996.
“Tugas HKBP adalah ikut bertanggungjawab menjaga lingkungan hidup yang telah dieksploitasi manusia untuk dan atas nama pembangunan, ” tulis HKBP dalam siaran pers yang ditandatangani Pendeta Robinson Butarbutar.
Dia mendorong, pemerintah tegas terhadap pertambangan yang nyata-nyata melanggar dan merusak lingkungan.
******