Pemberian izin konsesi pertambangan oleh negara kepada ormas keagamaan mengundang beragam respon dan kritik dari multi pihak. Bukan saja soal kekhawatiran atau kemampuan (kapasitas) kelembagaan ormas keagamaan dalam pengelolaan pertambangan, juga soal kelembagaan agama akan jadi topeng baru bagi industri keruk tambang yang berwajah buruk bagi kelestarian ekosistem dan pemenuhan hak masyarakat. Termasuk, kelompok masyarakat adat yang hidup di sekitar.
Sisi lain, semestinya ormas keagamaan memiliki fungsi penting dalam sistem demokrasi sebagai “penyeimbang negara dan kekuasaannya.” Pemberian izin tambang justru khawatir jadi bagian konsolidasi politik lebih luas untuk penaklukan kelompok-kelompok yang memungkinkan kritis atas kebijakan negara. Tepat di titik ini wajar kalau banyak pihak menyimpulkan kebijakan ini mengancam sendi-sendi demokrasi.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25/2024 tentang Perubahan atas PP No 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batubara, Pasal 83A, ormas keagamaan dapat jadi prioritas pemegang izin usaha. Pasal itu menegaskan, wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) dapat lakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dipegang ormas keagamaan.
Berdasarkan Pasal 83A ayat (2), WIUPK yang dapat dikelola oleh badan usaha ormas keagamaan merupakan wilayah tambang batubara yang sudah pernah beroperasi atau sudah pernah berproduksi. Sebab, sejak 2022, pemerintah mengevaluasi izin usaha pertambangan yang diberikan kepada swasta dan menemukan 2.078 izin usaha pertambangan (IUP) yang dianggap tidak melaksanakan rencana kerja dengan baik. Izin usaha inilah yang bisa digarap ormas keagamaan.

Mengapa izin pertambangan?
Jejak digital menunjukkan, pemberian izin usaha pertambangan ini terkait janji politik presiden yang pernah dia ucapkan dalam pembukaan Muktamar Nahdatul Ulama (NU) 2021, di Lampung. Maka, mudah dipahami kalau keputusan ini merupakan bagian dari “bayar utang politik.”
Jejak historis ini dapat menjadi dasar analisis, sangat mungkin awalnya janji politik itu hanya untuk kelompok ormas keagamaan NU. Namun, kalau hanya satu kelembagaan akan mengundang kecemburuan sosial politik bagi yang lain. Kini, dikembangkan bagi ormas keagamaan yang lain.
Sisi lain, jika memahami narasi pemerintah di seputar pemberian izin tambang ini, melalui komentar para menterinya, terlihat, ada upaya membantah atau mengurangi kritik wajah negara oleh kelompok masyarakat sipil. Negara lebih mengabdi kepada korporasi dibandingkan rakyat dan mandat konstitusinya. Dengan bagi-bagi izin usaha pertambangan ke ormas keagamaan, negara hendak menegaskan bahwa bukan hanya korporasi yang mereka pihak, juga organisasi sipil keagamaan.

Dampak dan risiko
Dalam beragam laporan masyarakat sipil yang memiliki concern pada tambang dan lingkungan, sulit mendapatkan bukti kuat bahwa rezim keruk tambang di Indonesia, memiliki prinsip penghormatan pada nilai-nilai HAM, keadilan, kemanusiaan dan kelestarian ekologis. Sebaliknya, pertambangan selalu dilumuri konflik agraria, perampasan tanah dan ruang hidup, marginalisasi dan eksklusi atas masyarakat adat/lokal/tempatan, pemiskinan strktural, dan mendorong peningkatan krisis ekosistem baik di darat maupun di laut.
Setidaknya, yang masih bertahan dalam laporan-laporan tahunan masyarakat sipil, pertambangan masih menjadi juara di tiga besar penyebab konflik agraria.
Apa yang akan terjadi kalau ormas keagamaan yang semestinya mengabdi pada upaya menjaga dan mengangkat derajat kemanusiaan dan kehidupan umatnya, akan terlibat dalam siklus politik kepentingan dan kebijakan pertambangan yang justru mengingkari tujuan dasarnya sendiri?
Atas dasar inilah, wajar jika muncul kekhawatiran serius agama menjadi topeng atau setidaknya dapat memoderasi atau melunakkan wajah buruk rupa pertambangan. Kalau agama benar-benar menjadi topeng dan legitimator kebijakan apapun teramsuk pertambangan, ternyata dimensi mafsadat dan mudarat lebih banyak dibandingkan dimensi maslahat sosial, ekonomi dan ekologi, maka akan terjadi perusakan dan perampasan ruang hidup rakyat dan umat atas nama kesucian agama (holy grabbing).
Pada saat itu demoralisasi ormas keagamaan sangat mungkin terjadi. Sebab, kekuatan ormas adalah kekuatan moral dari ajaran keagamaan dan konstituen/umatnya. Kalau ormas keagamaan gagal mengelola pertambangan yang berbeda dengan korporasi tambang pada umumnya, sangat mungkin akan dihukum moral bahkan politik oleh umatnya. Ini risiko tertinggi yang harus ditanggung ormas keagamaan.
Penggunaan agama sebagai legitimasi kekuasaan dan kepentingan prakmatis politik penganutnya sering disebut sebagai praktik politisasi dan instrumentalisasi agama. Ini salah satu penyebab agama dapat jadi bencana untuk manusia dan alamnya. Sebab, agama direndahkan fungsi dasarnya semata pelengkap kebutuhan pragmatis dengan tujuan kekuasaan dan semata kepentingan duniawi. Hal ini mengingkari spirit agama yang sejak lahir adalah memiliki spirit pembebasan kaum papa dan marginal serta rahmat bagi semesta alam.

Tantangan agama dalam pusaran kapitalisasi alam
Umumnya, bagaimana seseorang memperlakukan lingkungan sangat tergantung pada apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka dalam keterhubungannya dengan segala sesuatu di sekitar mereka. Atau keterhubungan antara mikro kosmos dalam diri manusia dan ada makro kosmos di dunia luar manusia (alam dan isinya). Pandangan ekologis yang dimiliki masyarakat era modern awal sangat ditentukan keyakinan-keyakinan (beliefs) mereka tentang alam (nature) dan takdir (destiny) yang banyak dipengaruhi agama.
Secara historis, para ilmuwan modern awal adalah orang-orang beragama, dan sains modern berkembang dengan pengaruh kuat dari kerangka teologi Kristen. (Lynn White, The Historical Roots of Our Ecological Crisis yang dipublikasikan dalam jurnal Science pada tahun 1967). Artinya, nilai, norma, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi dan semua produk relasi manusia dan alam pada hakekatnya tidak bisa terpisahkan dari pengaruh teologi dari agama-agama yang dianut dan yakini.
Salah satu tantangan terbaru dari agama-agama adalah hidup di peradaban yang disebut era antroposen. Antroposen adalah kala yang bermula ketika aktivitas manusia mulai memiliki pengaruh global terhadap ekosistem Bumi. Dampak perilaku manusia telah mendorong planet ini meninggalkan Holosen dan memasuki Antroposen, zaman yang bermula ketika aktivitas manusia mulai memiliki pengaruh global terhadap ekosistem bumi.
Awalnya, tak ada yang terlalu ambil pusing mengenai efek yang dihasilkan aktivitas manusia pada alam. Baru era ‘90-an, perhatian itu menyebar ke berbagai pihak. Komunitas ilmiah baru menyatakan bahwa iklim bumi memanas akibat aktivitas manusia pada 2001. Saat perhatian mengenai perubahan alam mulai meningkat, Paul Crutzen dan Eugene Stoermer (2000) menyatakan, kita sudah tidak berada pada Holosen, tapi dalam Antroposen. “It seems to us more than appropriate to emphasize the central role of mankind in geology and ecology by proposing to use the term “anthropocene” for the current geological epoch” (Crutzen, P. J., & Stoermer, E. F. (2000). Global change newsletter. The Anthropocene).
Singkatnya, sindiran dari seorang ahli geologi masa depan yang mempelajari Antroposen dapat menjadi kesimpulan era ini, yakni: mereka akan menemukan fosil sampah plastik dan ayam ternak yang mendefinisikan kehidupan manusia di masa itu. Ayam ternak mewakili pola konsumsi manusia atas hewan dalam skala luas, yang memiliki pengaruh pada peningkatan gas metana yang merusak lapisan ozon. Maka dapat ditegaskan bahwa “Human activities have become so pervasive and profound that they rival the great forces of Nature.” Artinya, kini manusia telah mengubah tatanan bumi pada Holosen dan manusia telah menjadi faktor geologis utama penentu gerak alam (Steffen, W, dkk. (2007). The Anthropocene: are humans now overwhelming the great forces of nature. AMBIO: A Journal of the Human Environment). Penjelasan ini memperlihatkan, satu perspektif bahwa sentralisme posisi manusia di peradaban baru sebut saja antroposen, dengan seluruh nilai, keyakinan dan agamanya dapat menjadi aktor utama yang memiliki pengaruh kuat dalam menentukan kualitas ekosistem alam di planet bumi. Jika keyakinan atas agamanya baik, maka bumi dan isinya akan baik dan lestasi, dan tentu saja sebaliknya.
Era antroposen dianggap sebagai satu babakan penting dalam relasi manusia dan alamnya. Alam seolah masih menjadi instrumen untuk memuaskan dahaga kebutuhan kehidupan manusia yang tak terbatas. Meski kini paradigma antropoen ini telah dilengkapi dengan model perspektif capitosene, seperti dalam Jason W. Moore dalam Anthropocene or Capitalocene? Nature, History and the Crisis of Capitalism (2016), namun perlakuan dan cara memposisikan tetap sama yakni sebagai komoditas semata. Inilah benih-benih dari kapitalisasi atas sumberdaya alam (SDA). Kapitalisme sumber daya alam adalah praktik meletakkan alam sebagai barang dagangan atau komoditas. Menghilangkan fungsi kosmologis yang lebih kompleks dan holistik bagi bumi dan manusia secara berkelanjutan dan berkeadilan. Watak pardigma kapitalistik inilah yang kini dominan dalam beragam politik kebijakan dan program global dan nasional untuk sumber daya alam. Akibatnya, beragam krisis sosial-ekologis berlipat-lipat meluas dan mendalam terjadi. Deforestasi dan kerusakan ekosistem hutan di Kalimantan, Papua, Sulawesi dan Maluku dampak masifnya ekspansi industri pertambangan terutama emas dan nikel, perkebunan terutama sawit, dan kehutanan dapat jadi contoh, dan dampak multi dimensi krisis yang masih terus berlangsung hingga kini. (FWI, 2023, Inkuiri Nasional Komnas HAM, 2017)

Autokritik peran agama dan perlindungan alam
Kini, pada abad 21, semua agama memiliki tantangan serupa, bagaimana tetap memperteguh nilai-nilai mulia dan universal di tengah ekspansi arus modernisasi yang makin masif dan cepat.
Pesatnya silang saling budaya antar negara di dunia menyebabkan perubahan sosal-budaya yang intens. Dunia seperti dilipat. Hasrat manusia tak terbatas untuk memenuhi keinginan mereka, termaksimalkan dengan layanan produk pasar yang makin canggih dan serba instan.
Belum lagi, ditopang teknologi informasi dan media yang turut membentuk budaya pasar (market culture) dalam semua lapisan masyarakat, termasuk masyarakat beragama. Dalam situasi ini, semua hal yang bisa komoditifikasikan (dijual) dan dikomersilkan, termasuk agama berikut simbol-simbolnya, terjadi.
Perubahan dan transformasi kultur dan sosial ekonomi yang makin massif dan cepat membawa masyarakat beragama mengalami apa yang disebut sebagai destabilisastion of religious identity (kegamangan identitas keagamaan). Umumnya, respon umum terhadap destabilisasi identitas seperti ini adalah dengan mencari sumber baru terhadap bimbingan moral melalui agama. Keinginan ini dibarengi makin tingginya produk-produk yang dipasarkan seiring konsumen yang mencari identitas dengan arti lebih privat dalam pasar spritual (spritual market) (Greg Fealy, 2008. Consuming Islam: Commodified Relifion and Aspirational Pietism, ISEAS Publishing). Situsi dan faktor-faktor semacam inilah yang menjadi iklim pendorong komoditifikasi dan komesialisasi agama.
Secara ringkas, komodifikasi adalah komersialisasi agama atau mengubah keimanan dan simbol-simbolnya menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan untuk mendapat keuntungan. Greg Fealy, (2008) dalam bukunya menuliskan, komersialisasi agama merujuk perbuatan yang menggunakan ajaran agama aatu simbol–simbolnya menjadi komoditas yang bisa diperjual-belikan untuk meraih keuntungan (the turning of faith and its symbols into commoduty capable of being bought and solf for profit). Maka, komodifikasi adalah proses transformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Dalam hal ini, komoditas tidak lagi ditentukan berdasar kebutuhan melainkan pada aspek apa yang dapat dijual di pasar (market place).

Dalam batas pengertian ini, agama akan berubah semata komuditas (barang/produk jualan) untuk meknisme proses komersialisasi yang akan selalu diselaraskan semata demi kebutuhan konsumen dan standar market place. Untuk tujuan itu, reduksi, penyederhanaan dan pengemasan ulang nilai dan simbol-simbol agama akan terjadi.
Setidaknya, ada dua dampak utama akan lahir, pertama, pendangkalan dan banalitas agama. Praktik agama semata menuruti kebutuhan dan kemauan pasar. Agama tak ubahnya seperti layanan hiburan lain, namun dengan kemasan religius tertentu. Kedua, korupsi dan hedonism spiritual. Melalui beragam media yang kini sampai di genggaman tangan, agama mudah dijualbelikan dan diperdagangkan. Pelan namun pasti menggiring konsumen pada bentuk spiritualitas semata untuk bersenang-senang. Atau dengan kata lain, praktik dan ritualisme agama hanya menjadi jalan untuk hura-hura, extravaganza.
Masalah lebih serius akan muncul, ketika pihak yang melakukan komoditifikasi dan komersialisasi agama memiliki kekuasaan politik dan ekonomi dengan tujuan-tujuan tertentu. Baik, demi meningkatkan keuntungan ekonomi bagi perusahaan dan keuntungan poitik bagi partai politik atau untuk menyingkarkan ‘lawan’ dan masyarakat yang dianggap mengganggu tujuan mereka. Pemberian konsesi pertambangan dapat menajdi contoh aktualnya. Dampak yang ditimbulkan pun bukan semata bersifat individu, juga bisa komunitas atau masyarakat lebih luas berikut ruang hidup dan alamnya.
Terkadang perusahaan besar mampu ‘membeli’ dengan cara-cara koruptif satu institusi keagamaan untuk memperkuat argumen tujuan perusahaan yang umumnya diklaim baik dan ‘demi kesejahteraan rakyat,’ dengan memunculkan dalil-dalil dari agama. Padahal praktiknya justru berdampak buruk bagi masyarakat dan alamnya.
Maka, agama dan kelembagaan dapat menjadi sumber peningkat bencana krisis sosial dan ekosistem, kala politisasi dan intsrumentalisasi agama yang jadi tujuan. Pemberian izin konsesi pertambangan kepada ormas keagamaan sangat mungkin menjadi gerbang masuk ke arah itu.
Akhirnya, kembali pada tokoh agama dan umatnya, mau memilih posisi yang mana, mengabdi pada nasib umat dengan menjaga kelestarian ekosistem, atau pada penguasa dengan watak kapitalisme alamnya?
*Penulis: Eko Cahyono adalah pegiat dan peneliti Sajogyo Institute. Alumnus UIN Sunan Kalijaga. Mahasiswa Doktoral SOsiologi Pedesaan IPB Unversity.

*******