- Nelayan suku laut Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau semakin sulit mencari ikan untuk kehidupan sehari-hari.
- Nelayan akhirnya tetap harus melaut, namun dengan jarak yang lebih jauh
- Tidak hanya persoalan mata pencaharian melaut, sekarang perempuan dan anak di suku laut Kota Batam juga mengalami masalah sosial dan budaya yang serius.
- Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) minta pemerintah turun mengatasi masalah-masalah itu karena menjaga masyarakat adat dalam pembangunan adalah komitmen internasional setiap negara.
Suku laut di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau semakin tersingkirkan secara sosial, ekonomi hingga budaya. Pesisir laut mereka tidak bisa diharapkan untuk menjadi penopang hidup, pembangunan yang masif menjadi salah satu penyebab masalah itu.
Seperti yang dikatakan Kaca (54 tahun), salah seorang suku laut Air Mas, yang berada di Pulau Tanjung Sauh, Kecamatan Nongsa, Kota Batam. Ia mengaku beberapa tahun belakangan penghasilan melaut terus menurun sampai 40 persen.
Salah satu penyebab, katanya, rusaknya laut lokasi nelayan melaut, seperti di perairan Batam hingga Bintan. “Penyebab rusaknya adalah pembangunan industri, banyak reklamasi di pesisir pulau terjadi,” katanya.
Pembangunan membuat laut keruh, karang-karang di laut juga rusak. Padahal karang menjadi tempat ikan dan biota laut lainnya berkembang biak. “Akhirnya banyak nelayan pergi melaut jauh ke perbatasan Malaysia,” lanjutnya.
Begitu juga yang dikatakan Abdul Ahad tokoh suku laut yang ada di Pulau Dare, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Menurunnya hasil tangkapan nelayan suku laut membuat mereka harus banting setir ke profesi lain. “Saya saja sekarang, mau berkebun di belakang rumah,” katanya.
Apalagi Pulau Dare, posisi tepat berada di kawasan industri galangan kapal yang berada di pesisir kawasan Tanjung Uncang, Kota Batam. Dari Pulau Dare, nampak jelas industri galangan kapal mendominasi di pesisir pulau Batam. “Dulu itu semua mangrove, sekarang sudah berubah jadi industri,” katanya.
Kondisi itu juga ditemukan seorang peneliti yang juga Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA) Nukila Evanty. Selama dua hari 16-17 Mei 2024 Nukila melakukan riset di kampung-kampung suku laut yang ada di Batam. Riset tersebut merupakan program International Indigenous Women’s Forum (FIMI) tahun 2024.
“Tujuan penelitian atau riset ini menyasar pemerintah memahami tantangan yang dialami Suku Laut, terutama perempuan dan anak-anak, pemerintah diharapkan melakukan intervensi program untuk membantu suku Laut,” kata Nukila, beberapa waktu lalu.
Salah satu temuannya yaitu tentang ruang hidup nelayan suku laut di Kota Batam terancam perusahaan ekstraktif. Masifnya pembangunan industri di kawasan pesisir Pulau Batam berdampak kepada laut di sekitarnya. “Termasuk berdampak kepada pulau suku laut, salah satunya suku laut Pulau Dare,” kata Nukila.
Baca : Kisah Pilu Suku Laut Batam: Kalah di Lautan, Dirundung di Daratan
Ia melanjutkan, aktivitas industri galangan kapal di kawasan pulau itu membuat laut yang biasa menjadi lokasi nelayan mencari ikan menjadi keruh, terumbu karang rusak. “Sehingga ikan-ikan menjauh, tentu kondisi itu membuat nelayan suku laut semakin terbebani harus melaut lebih jauh, bahkan ke perbatasan Batam dan Singapura,” katanya.
Selain itu suku laut tidak pernah mendapatkan persetujuan terhadap pembangunan-pembangunan itu. “Salah satu tokoh suku laut bercerita kepada saya kalau mereka protes, balasannya kriminalisasi, suku laut menjadi suku yang tak dianggap padahal lautan ini dahulunya adalah tempat tinggal mereka,” katanya.
Nukila meminta pemerintah untuk memastikan bisnis-bisnis di Kepulauan Riau patuh pada UNGPs (United Nations Guiding Principle on Business and Human Rights) yaitu panduan berbisnis yang menghormati HAM, memastikan bahwa harus ada analisa dampak sosial, ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat yang terkena dari suatu proyek pembangunan. “Kalau tidak patuh komitmen internasional ini, pemerintah Indonesia akan merasakan kerugiannya,” katanya.
Perempuan dan Anak Suku Laut
Selain menemukan dampak pembangunan terhadap suku laut, riset yang dilakukannya Nukila juga menemukan temuan yang mengejutkan, salah satunya terjadinya fenomena perkawinan anak di suku laut.
“Saya menemukan fenomena menikah di usia anak-anak yang terjadi di suku laut ini, mereka menikah saat berumur 12 – 17 tahun, padahal umur menikah harusnya diatas 18 tahun,” katanya.
Kemudian ada juga pemaksaan penyeragaman atau uniformity sehingga identitas dan kebanggaan mereka dengan tradisi suku laut sudah mulai hilang. Penyeragaman itu membuat banyak tradisi suku laut tinggal nama, seperti tradisi perahu dengan atap kajang yang terbuat dari daun mengkudu, kemudian bahasa suku laut, agama nenek moyang dan lainnya. “Juga hilangnya tradisi cara menangkap ikan dengan serubang (tombak),” katanya.
Begitu juga dengan tradisi suku laut mengetahui kondisi arus atau cuaca di laut dengan bantuan melihat bintang di langit. “Saya menyebut pola penyeragaman ini adalah merupakan pelanggaran hak budaya suku laut, semua mulai tergerus dan lama-lama bisa hilang,” kata Founder Women Working Group (WWG).
Baca juga : Perempuan Suku Laut Batam Jadi Pemulung di Musim Badai
Suku laut di Kepri dipaksa ke darat dengan iming-iming kehidupan yang lebih baik. Mereka diberikan bantuan rumah oleh pemerintah dengan standar rumah yang tidak sesuai dengan standard right to adequate housing (rumah yang layak huni).
Ia setuju dengan yang disampaikan beberapa nelayan di suku laut, bahwa mereka semakin sulit mencari ikan di laut. “Makanan bernutrisi juga sulit karena ketidakmampuan suku laut membeli,” katanya.
Temuan selanjutnya, soal akses pendidikan yang dinilai masih belum diperhatikan oleh pemerintah. Beberapa suku laut yang ditemukan Nukila terpaksa berhenti sekolah karena akses dan biaya sekolah yang mahal.
“Setelah berhenti sekolah, akhirnya perempuan suku laut menjadi nelayan. Bahkan ada dari mereka lebih memilih untuk menikah saat masih berumur anak-anak. Selain itu desakan orang tua juga menjadi penyebab, karena takut anak-anak mereka hamil di luar nikah,” kata Nukila.
Kepala Dinas Sosial Kota Batam, Leo Putra mengatakan, pemerintah selalu memperhatikan kondisi suku laut di Batam. Saat ini suku laut yang menjadi fokus adalah di tiga pulau Belakang Padang yaitu suku laut Pulau Dare, Lingke, dan Bertam. “Mereka selalu jadi perhatian, bahkan beberapa kali Mensos datang langsung ke pulau itu,” katanya.
Leo mengaku belum mengetahui adanya suku laut Air Mas di Pulau Tanjung Sauh, Kecamatan Ngenang. Ia berjanji akan melakukan pemeriksaan kelapangan dalam waktu dekat. “(Suku laut) Pulau Ngenang belum kita lacak, beri kami waktu,” katanya saat dihubungi Mongabay, Jumat, akhir Mei 2024.
Dinsos Batam kata Leo berkomitmen memperhatikan masyarakat adat seperti suku laut. Dalam tahapnya, setelah dilakukan pemeriksaan lapangan, nanti akan di data secara administratif, setelah itu pemerintah akan memberikan program yang cocok untuk mereka. “Tetapi tidak mungkin 100 persen suku laut ini bisa kita jangkau, mereka juga tersebar,” tegasnya. (***)