Nelayan Tuna Gorontalo di Tengah Krisis Iklim dan Himpitan Regulasi

nelayan-tuna-gorontalo-di-tengah-krisis-iklim-dan-himpitan-regulasi
Nelayan Tuna Gorontalo di Tengah Krisis Iklim dan Himpitan Regulasi
service
Share

Share This Post

or copy the link
  • Nelayan tuna skala kecil di Gorontalo mulai merasakan dampak krisis iklim. Para nelayan tuna skala kecil kesulitan membaca kondisi alam karena berubah-ubah dan berujung pada hasil tangkapan menipis.
  • Studi Econusa, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia. Mereka menyelidiki  pemetaan kerentanan sosial-ekonomi nelayan kecil dan tradisional terhadap dampak perubahan iklim. Riset itu menyebut, lebih dari 50% nelayan kecil rentan terhadap perubahan iklim. Kerentanan itu karena besarnya dampak paparan bencana atau sensitivitas nelayan dibandingkan kemampuan adaptif mereka. Terlebih lagi, pekerjaan mereka selalu tergantung pada cuaca.
  • Sartika Djamaluddin, akademisi FEB Universitas Indonesia mengatakan, hasil penelitian ini mendorong semua pemangku kepentingan dan kebijakan dapat meningkatkan dan memperkuat ketahanan nelayan dalam menghadapi berbagai ancaman perubahan iklim.
  • Laksmi Adriani Savitri, dari FIAN Indonesia, mengatakan, kebijakan penangkapan ikan terukur akan menggerus posisi nelayan kecil di lautan Indonesia. Tangkapan nelayan kecil pasti mengalami penurunan karena dibatasi wilayah tangkap dan kehadiran kapal-kapal besar.

Rusman Mateka,  hanya bisa merenung memandang laut. Sore hari itu, lelaki paruh baya itu tak bisa melaut karena cuaca buruk. Angin kencang, dan gelombang tinggi membuat niat pupus untuk kesekian kalinya. Warga Kelurahan Pohe, Kecamatan Hulonthalangi, Kota Gorontalo ini tak mau ambil risiko.

“Kalau angin kencang dan gelombang tinggi, pasti malam akan hujan. Sangat berisiko untuk melaut,” kata Rusman kepada Mongabay,  pertengahan Mei 2024.

Mereka adalah nelayan tuna skala kecil di Kota Gorontalo. Dia hanya memiliki perahu 3 gross tonnage (GT) dengan ukuran panjang berkisar antara 9,5 meter, lebar 1,8-2 meter. Kapasitas itu tentu membuatnya tidak bisa memaksakan diri harus menangkap tuna dengan kondisi anomali cuaca yang buruk. Terlebih lagi, habitat tuna makin jauh dari daratan.

Rusman bercerita, sudah banyak merasakan pahit kehidupan menerjang ombak di perairan Teluk Tomini, salah satu teluk terbesar di Indonesia. Dia kerap kali tak mendapatkan hasil tangkapan apapun karena cuaca buruk, dan gelombang tinggi. Kondisi itu, membuatnya terus berada di bawah garis kemiskinan dan membuat kehidupan serba kekurangan.

“Kalau cuaca buruk, otomatis kita tidak bisa melaut dan tidak ada pendapatan. Inilah penderitaan yang terus kita alami sebagai nelayan kecil di Kota Gorontalo,” katanya.

Dia sejak muda melaut ikut bapaknya. Rusman bilang, kondisi laut dulu tidak seperti sekarang. Saat masih muda, setiap cuaca buruk atau hari-hari baik dengan melihat “kalisuwa dan lowanga” kalender warga Gorontalo yang melegenda. Perubahan iklim, nelayan kecil susah memperkirakan ‘kalender’ karena semua berada dalam ketidakpastian.

Saat ini,  kehidupan nelayan tuna makin sulit. Pengalaman melaut bertahun-tahun seakan tak berguna ketika cuaca tak bersahabat. Meski nenek moyang adalah pelaut, Rusman tak mampu lagi membaca perubahan pola migrasi ikan yang merupakan salah satu dampak dari krisis iklim lantaran meningkatnya suhu air laut.

Mudin Sai, rekan yang juga nelayan tuna kecil di pesisir Kota Gorontalo rasakan hal serupa. Nelayan tuna, katanya,  beberapa tahun silam pernah berada dalam puncak kejayaan karena bisa menangkap ikan dalam jumlah banyak setiap pergi melaut.

Kini, kondisi sudah sangat jauh berubah, mereka sulit bahkan tidak mendapatkan tangkapan sama ketika melaut.

“Dalu, kita bisa membawa pulang tuna hingga 5-10 setiap turun dalam waktu rata-rata tujuh hari. Sekarang, kadang kita hanya dapat satu saja, bahkan pulang dengan tangan kosong.”

Tuna di pasar ikan di Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

Saat ini, kata Mudin, alih-alih mendapatkan untung dari tangkapan tuna, justru kerap mengeluarkan biaya cukup besar dibanding pendapatan hasil laut. Mulai dari pengeluaran bahan bakar minyak (BBM), sampai konsumsi selama melaut. Terlebih lagi, keberadaan tuna juga makin jauh di perairan lepas.

Krisis iklim, katanya,  benar-benar menggerus kehidupan nelayan skala kecil, seperti dirinya.

Apa yang dialami Rusman Mateka dan Mudin Sai itu selaras dengan studi Econusa, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia. Mereka menyelidiki  pemetaan kerentanan sosial-ekonomi nelayan kecil dan tradisional terhadap dampak perubahan iklim.

Meskipun studi itu hanya di Kota Ambon, Pangkep, Pemalang dan Aceh Selatan, tetapi memberi lebih terang tentang sebab-musabab nelayan skala kecil di Indonesia menjadi kelompok paling rentan terdampak perubahan iklim.

Riset itu menyebut, lebih dari 50% nelayan kecil rentan terhadap perubahan iklim. Kerentanan itu karena besarnya dampak paparan bencana atau sensitivitas nelayan dibandingkan kemampuan adaptif mereka. Terlebih lagi, pekerjaan mereka selalu tergantung pada cuaca.

Dia contohkan, karena krisis iklim, terjadi perubahan pola migrasi ikan dampak perubahan suhu permukaan laut. Kondisi itu,  membuat nelayan kecil sulit menangkap ikan. Mereka pun perlu waktu dan biaya lebih besar kalau ingin melaut. Apalagi,  jika cuaca tidak berpihak ke mereka.

Riset juga menjelaskan gangguan wilayah tangkap juga menjadi indikator utama nelayan kecil rentan perubahan iklim. Makin jauh jalur penangkapan nelayan, makin besar potensi gangguan yang dihadapi. Nelayan yang rentan gangguan di wilayah tangkap cenderung tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.

Sementara, nelayan kecil paling berisiko krisis iklim itu sebagian besar berpendidikan rendah. Ada lebih 50% dari mereka masih belum tamat SD, bahkan 19% belum tamat SD. Sisi lain, mereka mempunyai beban ekonomi keluarga yang tinggi, pekerja tunggal, atau tidak mempunyai pekerjaan lain selain nelayan.

Riset itu pun menemukan, perlindungan kesehatan nelayan kecil di Indonesia masih sangat rendah di tengah pekerjaan mereka yang cukup berisiko. Pasalnya, hanya ada 27% dari mereka belum memiliki BPJS Kesehatan, bahkan lebih 70% tidak memiliki asuransi kesehatan.

Nalayn tuna di Gorontalo baru akan menjual ikan mereka. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

Sartika Djamaluddin, akademisi FEB Universitas Indonesia sekaligus penulis riset itu mengatakan, hasil penelitian ini mendorong semua pemangku kepentingan dan kebijakan dapat meningkatkan dan memperkuat ketahanan nelayan dalam menghadapi berbagai ancaman perubahan iklim.

“Perlu ada upaya sinergi pemerintah untuk menurunkan kerentanan nelayan terhadap dampak perubahan iklim. Misal, mitigasi bencana, dan memfasilitasi keikutsertaan nelayan dalam program asuransi,” katanya dalam webinar Jaring Nusa, 5 Juni lalu.

Selain itu,  juga meningkatkan literasi nelayan terkait informasi iklim dan pengetahuan zonasi, perlindungan di wilayah tangkap, memberikan bantuan renovasi ketinggian rumah wilayah yang terdampak banjir rob dan atau penurunan muka tanah bagi nelayan yang terdampak.

Sartika bilang, perlu upaya menurunkan sensitivitas nelayan terhadap bencana, gangguan dengan cara memfasilitasi nelayan mendapatkan alternatif pekerjaan lain saat nelayan tidak melaut. Juga, menyediakan ruang pendingin (cold storage) untuk menyimpan, menjaga kualitas dan daya jual hasil tangkapan.

Pemerintah juga diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan nelayan, serta peningkatan nilai tambah produk pertanian agar pendapatan nelayan bisa meningkat. Dia bilang, perlu pendataan ulang nelayan miskin untuk keberlanjutan program keluarga harapan (PKH), dan harus ada bantuan sarana penangkapan (kapal dan alat tangkap).

“Kepemilikan identitas pelaku usaha perikanan dan kelautan perlu dimaksimalkan agar nelayan memperoleh program pembinaan, pemberdayaan dan perlindungan dari pemerintah,” katanya.

Para nelayan kecil di Dusun Air Panas, Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu, dengan tangkapan ikan tuna di perairan Provinsi Maluku. Foto: Irfan/Ketua Kelompok Nelayan Tuna di Dusun Air Panas

Terjepit regulasi

Selain dampak perubahan iklim, nelayan kecil tuna seperti Rusman juga menjadi korban regulasi yang membatasi mereka melaut di bawah 12 mil (sekitar 22 kilometer). Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.18/2021.

Regulasi itu mengatur penempatan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Indonesia dan laut lepas serta penataan andon penangkapan ikan.

Dalam peraturan itu disebutkan wilayah 0-12 mil merupakan jalur nelayan kapal berkapasitas 5 GT. Kapal besar, maupun kapal penangkap ikan berkapasitas 5-30 GT dilarang berada di wilayah tangkap itu.

Alih-alih meminimalisir persoalan penangkapan ikan berlebih, regulasi itu justru membuat polemik baru bagi nelayan tuna tradisional. Aturan ini justru seakan mencekik mereka.

Pasalnya, kata Rusman, tuna sudah jauh ke tengah, rata-rata di atas jarak 12 mil. Bahkan, mereka kerap harus ke di laut Sulawesi Tengah hingga Maluku Utara agar tidak pulang dengan tangan kosong.

Sebelum regulasi di bawah 12 mil berlaku, katanya, bisa menangkap tuna 100 kilogram perminggu. Ketika ada regulasi, tuna tangkapan hanya separuh, atau kadang tidak ada sama sekali. Padahal, setiap melaut, mereka setidaknya keluarkan Rp1,5 juta.

“Sebelum ada regulasi ini saja, kami sudah kesulitan mencari tuna. Apalagi sudah ada regulasi ini,” kata Rusman.

Akhir 2022, ratusan nelayan kecil Gorontalo, termasuk Rusman dan Mudin melakukan unjuk rasa di DPRD Gorontalo protes regulasi itu. Mereka meminta, pembatalan aturan karena menyusahkan dan tidak bermihak nelayan kecil.

Nelayan kecil di Gorontalo sudah terdampak perubahan iklim. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

Sarlis Mantu, Ketua Asosiasi Nelayan Gorontalo, yang memimpin aksi mengatakan, regulasi itu terkesan hanya menyamakan antara laut Jawa dan Gorontalo. Padahal, kondisi dua wilayah ini sangat berbeda jauh. Misal, laut Gorontalo mengandalkan Teluk Tomini yang tidak begitu luas, atau perairan diapit kebanyakan pulau-pulau.

Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) juga diprotes nelayan kecil. Meski kebijakan itu dibuat untuk menekan penangkapan ikan berlebih, tetapi disinyalir jadi sarana privatisasi laut dan hanya menguntungkan segelintir orang, khusus kapal skala besar.

PIT, katanya,  akan memperbolehkan penanaman modal asing, pelegalan transhipment dengan catatan harus satu perusahaan pemilik kapal yang sama. Juga, pendaratan di pelabuhan perikanan dekat fishing ground, dan penerapan kuota untuk kapal penangkap ikan. Ada tiga yang diatur PIT, yakni zona penangkapan, kuota dan musim penangkapan.

Khusus kuota penangkapan, PIT membagi jadi tiga, yakni, kuota industri, kuota nelayan lokal, dan kuota kegiatan bukan untuk tujuan komersial.

Kuota industri diberikan untuk ke perseorangan dan badan usaha berbadan hukum, sampai penanaman modal asing. Sedang zona penangkapan ikan terukur bagi industri terhitung dari 12 mil, sedangkan kuota nelayan lokal tak sampai 12 mil.

Artinya, akan ada ketimpangan relasi antara nelayan industrial dan lokal, dan PIT akan memaksa nelayan kecil harus bersaing dengan kapal-kapal besar di wilayah tangkap mereka. Alih-alih menjadi ekonomi biru, kebijakan PIT ini dinilai akan menggerus ekonomi nelayan kecil serta menyebabkan mereka makin banyak meninggal di laut.

Catatan Walhi menyebut, dalam satu tahun nelayan hanya bisa melaut selama 180 hari. Sisanya,  harus alih profesi jadi kuli kasar atau pedagang asongan.

Adapun nelayan yang meninggal di laut terus mengalami peningkatan sepanjang 2010-2020. Tahun 2010, nelayan meninggal tercatat 87 orang, pada 2020, meningkat lebih 250 orang.

Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional mengatakan, kebijakan PIT tidak sangat tepat dibuat di tengah eksploitasi sumber daya ikan Indonesia di atas garis kuning dan merah. Artinya, sumber daya ikan Indonesia dalam kondisi tidak baik-baik saja.

Seharusnya, kata Parid, Pemerintah Indonesia mendorong kebijakan pemulihan, bukan PIT yang akan memberikan ruang bagi pelaku-pelaku perikanan besar menangkap ikan di perairan Indonesia.

Cuaca tak menentu terdampak bagi nelayan tuna di Gorontalo. Mereka sulit memprediksi masa-masa kelaut karena cuasa bisa tiba-tiba berubah. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

Terlebih lagi, kata Parid, saat ini mayoritas nelayan Indonesia masih dibawa garis kemiskinan dan tidak mendapatkan perlindungan dari negara, seperti diatur dalam UU Nomor 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Belum lagi, katanya, penangkapan ikan dengan bahan, alat, atau cara merusak sumber daya ikan (destructive fishing) masih terus terjadi.

“Kebijakan PIT ini hanya memaksa nelayan berkompetisi dengan kapal-kapal besar di lautan Indonesia. Secara otomatis, mereka akan terpinggirkan,” kata Parid kepada Mongabay 10 Juni lalu.

Kajian FAO, Duke University dan WorldFish (2021) menyebut, secara global perikanan skala kecil menghasilkan 40% atau 37 juta ton produksi perikanan tangkap rata-rata per tahun. Dengan perimbangan,  31% dari perairan laut dan 99% perairan darat selama kurun 2013-2017.

Adapun 94% dari 120 juta orang yang menggeluti pekerjaan penangkap ikan adalah perikanan skala kecil. Ia mencakup 45 juta perempuan yang berpartisipasi dalam rantai nilai perikanan global, mewakili 40% dari perkiraan total tenaga kerja perikanan skala kecil.

Di Indonesia, data Statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan, kurun 2016-2021 produksi perikanan tumbuh dengan tren positif dan signifikan sebesar 8,2%. Dalam kurun waktu itu, rata-rata, sektor perikanan menyumbang sekitar 2,66% PDB Indonesia.

Laksmi Adriani Savitri, dari FIAN Indonesia, mengatakan, kebijakan PIT akan menggerus posisi nelayan kecil di lautan Indonesia. Tangkapan nelayan kecil pasti mengalami penurunan karena dibatasi wilayah tangkap dan kehadiran kapal-kapal besar.

Para nelayan kecil, biasa memiliki sedikit investasi modal dan aset untuk berjaga-jaga pada saat krisis. Dampak lanjutan dengan PIT ini adalah nelayan kecil akan mengalami krisis pangan.

Sebenarnya, kata Laksmi, PIT itu sudah tergambar dari Permen KKP Nomor 54/2020 tentang izin lokasi, izin pengelolaan dan izin lokasi di laut. Permen itu mengubah  wilayah pengelolaan laut dari hak, jadi izin.

Belum lagi, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan juga memberikan ruang besar terhadap industri perikanan. PP itu, mengubah zona inti konservasi laut jadi kawasan strategis nasional (KSN).

Saat ini, kata Laksmi, sudah ada 27 KSN dikembangkan untuk kepentingan nasional. Aturan itu, katanya, mencabut hak  nelayan demi ‘kepentingan umum’.

“Jadi sudah sangat jelas, kebijakan yang mengatur laut Indonesia untuk kepentingan investasi saja.”

Kini, rencana penerapan PIT semula mulai 1 Januari 2024, ditunda setahun jadi 1 Januari 2025. Meski begitu, nelayan tuna tradisional berharap, kebijakan itu tidak berlaku.

“Lebih baik kita ditembak ‘mati’ saja, daripada kita ‘dibunuh’ secara perlahan dengan regulasi itu,” kata Rusman dan Mudin.

*******

Tangkapan Turun Drastis, Nelayan Tuna Maluku Desak Pemerintah Revisi Aturan Melaut Dibawah 12 Mil 

0
mutlu
Happy
0
_zg_n
Sad
0
sinirli
Annoyed
0
_a_rm_
Surprised
0
vir_sl_
Infected
Nelayan Tuna Gorontalo di Tengah Krisis Iklim dan Himpitan Regulasi

Tamamen Ücretsiz Olarak Bültenimize Abone Olabilirsin

Yeni haberlerden haberdar olmak için fırsatı kaçırma ve ücretsiz e-posta aboneliğini hemen başlat.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Login

To enjoy Foxiz.my.id privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Bizi Takip Edin