-
- Banjir di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan (Kalsel), berulang. Tak hanya karena hujan deras juga banjir air laut pasang. Pada Juni ini, beberapa kecamatan di Tanah Bumbu, teremdam mencapai dua meter.
- Banjir juga mengakibatkan 5.772 rumah warga terendam dan membenamkan 1.768,6 hektar lahan pertanian.
- Warga menuntut pemerintah punya langkah serius mengatasi banjir di Tanah Bumbu. Bukan sekadar memberi bantuan, tetapi lakukan langkah antisipasi agar tidak lagi jadi siklus banjir berulang.
- Walhi Kalimantan Selatan menilai biang penyebab banjir di Tanah Bumbu adalah dampak dari degradasi lingkungan dan krisis iklim yang terjadi akibat dari eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), memprediksi, Indonesia sedang memasuki musim kemarau, namun di beberapa wilayah masih berpotensi mengalami hujan. Benar saja, hujan lebat terjadi beberapa hari berturut-turut di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, dan sekitar, sejak 4 Juni lalu.
Hujan deras selama beberapa hari berbarengan dengan air laut pasang, menyebabkan empat aliran sungai meluap, yakni Sungai Batulicin di Kecamatan Karang Bintang, Sungai Sebamban di Kecamatan Sungai Loban, Sungai Satui di Kecamatan Satui, dan Sungai Kusan di Kecamatan Kusan Tengah.
“Ini terjadi lantaran ada fenomena gelombang rossby ekuatorial sedang aktif di sekitar timur Kalsel, khusus Tanah Bumbu dan Kotabaru,” kata Arif Rahman, Prakirawan Stasiun Klimatologi Kelas I BMKG Kalsel, Jumat, 7 Juni.
Hujan masih terjadi karena ada kondisi belokan angin di timur Kalsel, yang menyebabkan angin bergerak lebih lambat dan membuat pertumbuhan awan hujan. Lalu, fenomena musim pancaroba yang seringkali dibarengi cuaca ekstrem.
“Serta ditambah faktor ketidakstabilan atmosfer mendukung terjadinya hujan ekstrem,” katanya.

Bencana banjir pun tak terelakkan dan merendam 39 desa di delapan kecamatan di Tanah Bumbu. Rinciannya, satu desa di Karang Bintang, Sungai Loban (6), satu desa di Kuranji, Kusan Hulu (7), Kusan Tengah (6), Satui (10), Teluk Kepayang (7), dan satu desa di Kecamatan Batulicin.
Awalnya, banjir di Karang Bintang, dan Sungai Loban 4 Juni lalu. Meluas ke Kuranji, Kusan Tengah, Satui pada 5 Juni. Serta Batulicin dan Teluk Kepayang pada 7 Juni.
Di beberapa kecamatan, ketinggian air berkisar 40-75 sentimeter. Paling parah di Kecamatan Kusan Tengah, dan Satui.
Pantauan Mongabay di Kecamatan Kusan Tengah, ketinggian air mencapai dua meter hingga merendam rumah warga yang rata-rata berpanggung.
“Padahal rumah saya ini berpanggung. Tinggi tongkat bawahnya 1,5 meter. Tapi air tetap masuk rumah,” kata Mamat, warga RT 7 Desa Selimuran, Kecamatan Kusan Tengah, 9 Juni.
Banjir, katanya, sudah mulai sejak Januari lalu, namun tidak sampai masuk rumah.
“Sekarang paling tinggi, sudah satu pekan. Surutnya lama. Terlebih kalau hujan sebentar saja, naik lagi sudah air,” katanya.
Karena rumah terendam, mayoritas warga Desa Selimuran pun mengungsi dengan membangun tenda di pinggiran sawah di belakang rumah mereka.
Di Kecamatan Satui, ketinggian banjir 1,5-2 meter. “ Di sejumlah desa dekat sungai,” kata Indera, warga Satui juga anggota komunitas Masyarakat Relawan Indonesia (MRI), 9 Juni.
Kondisi banjir kali ini, katanya, mirip yang pernah terjadi pada 2021.
Sama seperti di Kusan Tengah, kata Indera, banjir di Kecamatan Satui lebih lamban surut daripada di kecamatan lain.
Kabupaten Tanah Bumbu telah dinyatakan darurat bencana banjir sejak beberapa hari lalu. BPBD Tanah Bumbu melaporkan, hingga 9 Juni, meski tak ada korban jiwa, banjir berdampak terhadap 19.730 warga di delapan kecamatan.
“Sebanyak 194 jiwa mengungsi di posko pengungsian,” kata Edi Purwanto, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik pada BPBD Tanah Bumbu, 9 Juni.
Banjir juga mengakibatkan 5.772 rumah milik warga terendam dan membenamkan 1.768,6 hektar lahan pertanian.
“Kemungkinan bisa bertambah lagi, petugas di lapangan masih mendata,” katanya.
Sementara itu, mereka belum menghitung berapa fasilitas umum yang rusak dan kerugian materil akibat banjir.
“Masih fokus penanganan di lapangan,” katanya.
Suriansyah, Manajer Pusdalops BPBD Kalsel menyampaikan, petugas di lapangan meliputi jajaran BPBD Kalsel, BPBD Tanah Bumbu, Dinas Kesehatan Tanah Bumbu, Dinas Sosial Tanah Bumbu, Basarnas, TNI-Polri, relawan, dan lain-lain.
Berdasar hasil pantauan petugas di lapangan, ketinggian banjir terkini sudah berangsur menurun.
Kendati demikian, mereka akan terus bersiaga. “Kami terus lakukan pemantauan debit air. Mendata masyarakat terdampak. Evakuasi warga terjebak serta mendistribusikan logistik.”
Terlepas di Tanah Bumbu, Suriansyah menyampaikan, banjir juga terjadi di Kecamatan Kintap, Tanah Laut.
Kintap adalah wilayah yang berbatasan dengan Satui.”Adapun untuk data korban yang terdampak masih kami kumpulkan.”
Bambang Sucipto, warga Satui menyebut, banyak faktor yang membuat banjir di Tanah Bumbu terus terjadi.
Salah satunya, aktivitas pembukaan lahan besar-besaran yang terjadi di Tanah Bumbu dan sekitar.
“Ini yang paling berpengaruh. Perambahan hutan membuat air tak lagi tertahan di hulu hingga mudah turun ke areal yang lebih rendah dan membuat banjir,” kata pria yang juga dikenal sebagai penyair itu, 9 Juni.
Sisi lain, belum ada langkah serius dari pemerintah untuk mengatasi banjir di Tanah Bumbu hingga permasalahan ini berulang.
“Pemerintah mestinya sudah tahu daerah ini rawan banjir. Tapi sampai ini, kesannya, tidak ada langkah serius,” katanya.
Langkah serius yang dimaksud Bambang, misal, melakukan normalisasi sungai dan lebih jauh membangun bendungan pengendali banjir.
Selama ini, katanya, pemerintah seolah lebih senang penanganan setelah terjadi banjir, daripada antisipasi agar banjir tidak terjadi.
“Banjir di Tanah Bumbu ini lebih butuh solusi daripada hanya bantuan mie instant,” katanya.

Ancaman degradasi lingkungan dan krisis iklim
Biang penyebab bencana ekologis di Tanah Bumbu tak bisa lepas dari aktivitas eksploitasi batubara yang ugal-ugalan di wilayah ini.
“Tambang merupakan investasi berbasis lahan dan mayoritas tambang batubara di Kalsel ini dengan metode open pit (tambang terbuka). Dari sisi bentang alam saja pasti ada tutupan lahan dialihfungsikan. Tentunya hal itu mengurangi daya dukung dan daya tampung lingkungan,” kata Jefry Raharja, Manajer Kampanye Walhi Kalsel, 9 Juni.
Hasil olah data Walhi Kalsel 2024, Tanah Bumbu yang memiliki luas 489.030 hektar ini terbebani izin konsesi tambang batubara seluas 124. 961,76 hektar. Artinya, luas konsesi tambang di Tanah Bumbu seperempat dari luas wilayah kabupaten ini. “Ini belum ditambah aktivitas pertambangan ilegal atau perizinan tumpang tindih komoditas yang sama atau dengan lain,” katanya.
Belum lagi, 76.715,73 hektar lahan hak guna usaha (HGU) dan 196.949,79 perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH).Persoalan ini, diperparah dengan tata kelola kebijakan oleh pemerintah daerah yang karut-marut.
“Kita bisa ambil contoh jalan nasional di Satui kilometer 171 yang ambrol gegara aktivitas tambang, dan masih belum dipulihkan hingga sekarang,” katanya.

Satu sisi, Jefry berasumsi, banjir kian sering terjadi menjadi indikasi dampak perubahan iklim kian nyata. Sebab, degradasi lingkungan dengan perubahan iklim adalah dua faktor tidak bisa terpisahkan begitu saja, saling berkaitan.
“Pola cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi adalah bagian dari rangkaian pemanasan global yang panjang,” katanya.
Sumbernya, kata Jefry, bisa ditelaah dari perjalanan panjang ekstraksi sumber daya alam di Indonesia tanpa henti, baik deforestasi, illegal loging, alih fungsi lahan untuk pertambangan, ekspansi sawit besar-besaran maupun kebakaran hutan dan lahan.
“Faktor ini bisa jadi memicu satu bencana yang tidak kita harapkan,” katanya.
Jefry pun mendorong pemerintah berbenah, misal, mengemukakan kebijakan tata kelola lingkungan daerah yang mendukung pemulihan ekologis dan memperbaiki daya dukung dan daya tampung lingkungan.
“Kami mendesak pemerintah mengevaluasi izin tambang. setop izin baru, dan pulihkan kondisi lingkungan hidup yang rusak akibat sengkarut tata kelola perizinan.”
Pemerintah juga dituntut memprioritaskan pembangunan dalam upaya mitigasi dan adaptasi bencana ekologis, seperti membangun sistem peringatan dini bencana.
Juga memberikan peningkatan kapasitas masyarakat secara kelembagaan maupun non-kelembagaan pada masyarakat paling rentan terdampak bencana ekologis.
“Berikan kepastian hukum untuk masyarakat yang rentan terdampak bencana ekologis seperti ini,” katanya.

Dorong bangun bendungan?
Zairullah Azhar, Bupati Tanah Bumbu prihatin dengan bencana banjir yang menimpa masyarakatnya.
“Saya telah berkeliling beberapa kecamatan dan desa. Saya melihat banyak rumah dan sawah yang terendam. Saya prihatin dengan musibah yang menimpa masyarakat,” katanya saat ditemui usai menyerahkan bantuan kepada warga terdampak banjir di Kecamatan Kusan Tengah, 10 Juni.
Dia tak memungkiri kalau banjir di Tanah Bumbu ini sudah berulang.
Zairullah berjanji, melakukan langkah mitigasi banjir ke depan.
Jangka pendek, katanya, akan membangun kanal air sepanjang 11 kilometer. “Ini masih kami pelajari, soal berkenan atau tidaknya masyarakat untuk direlokasi,” katanya.
Untuk jangka panjang, juga akan mendesak pemerintah pusat untuk bangun Bendungan Kusan. “Kalau itu terjadi, Insha Allah banjir bisa terkendali,” katanya.
Luas bendungan ini, akan menenggelamkan sembilan desa. “Mayoritas masyarakat tidak masalah. Ini juga didukung oleh beberapa negara yang siap membantu,” katanya.
Selain sebagai pengendali banjir, bendungan, klaimnya, juga akan bermanfaat untuk meningkatkan ekonomi daerah. Misal, menciptakan ribuan hektar sawah baru dan mengembangkan sektor perkebunan, maupun perikanan.
Manfaat lain, katanya, sebagai pembangkit listrik dari air. “Bisa menghasilkan ratusan ribu megawatt listrik, bisa mengaliri untuk IKN juga. “Yang terpenting, ramah lingkungan,” katanya, tanpa merinci apa yang dia maksud ‘ramah lingkungan.’
Ketika disinggung banjir yang tidak terlepas dari faktor degradasi lingkungan, Zairullah bergeming.
“Yang kita lihat memang karena curah hujan meningkat dan pasang air laut yang tidak mengalir kembali,” katanya sambil berlalu.
*****
Desa Tanjung Burung Tangerang Banjir Parah, Hutan Mangrove Hilang?