- Hana Vasina Svobodova, begitu nama lengkap perempuan asal Republik Ceko yang mendedikasikan diri untuk menyelamatkan penyu. Sejak belasan tahun lalu dia datang ke Indonesia untuk jadi relawan penyelamatan penyu.
- Karena kecintaan dan niat dalam terhadap upaya penyelamatan penyu, dia mendirikan Save Turtle, pada 2017. Save Turtle telah mendukung konservasi penyu di lima lokasi di Indonesia, yakni, Berau, Pulau Sembilan, Lembata, Luwuk, dan Papua.
- Di Ceko tidak ada laut apalagi penyu, Hana pergi ke negara lain untuk memulai menyelamatkan satwa langka ini. Usia 18 tahun pertama kali jadi relawan program konservasi penyu di Meksiko. Lalu ke Indonesia untuk menjadi relawan di Sumatera Barat pada 2010. Setelah itu, jadi relawan di Berau bahkan sempat empat tahun menetap di sana.
- Selain membantu kegiatan pelestarian, Save Turtle juga rutin memberi edukasi, dan pelatihan bagi masyarakat sekitar site konservasi.
Hana Vasina Svobodova, begitu nama lengkap perempuan asal Republik Ceko yang mendedikasikan diri untuk menyelamatkan penyu. Sejak belasan tahun lalu dia datang ke Indonesia untuk jadi relawan penyelamatan penyu.
Karena kecintaan dan niat dalam terhadap upaya penyelamatan penyu, dia mendirikan Save Turtle, pada 2017.
Di Indonesia, salah satu area yang jadi perhatian perempuan yang biasa disapa Hana di Indonesia ini adalah Pulau Denawan. Denawan, merupakan tempat pendaratan penyu di gugusan Pulau Sembilan, Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Selama ini, kerja-kerja penyelamatan atau konservasi di Pulau Denawan dilakukan Pemerhati Alam dan Masalah Lingkungan (Pamali Indonesia), komunitas bentukan warga lokal, dan Save Turtle yang berperan sebagai pendonor mereka.
“Kita bantu Pamali dari 2023,” katanya kepada Mongabay beberapa waktu lalu.
Apa alasan Hana mengucurkan dana untuk konservasi di Denawan? Pulau Denawan, katanya, masih banyak penyu sisik (Eretmochelys imbricata) masuk kategori kritis (critically endangered) atau satu langkah menuju kepunahan oleh Lembaga Konservasi Dunia (IUCN).
Hitung-hitungan Hana itu merupakan perbandingan dengan keberadaan penyu sisik di Berau, Kalimantan Timur.
“Dibanding di Berau, saya mencatat hanya ada 50 penyu sisik yang bertelur selama setahun. Di Denawan, 10 penyu sisik bertelur hanya dalam Februari 2024, padahal belum puncak musim bertelur,” katanya.
Dengan begitu, katanya, Denawan dan sekitar merupakan lokasi teramat penting bagi kehidupan penyu di Indonesia.
Data Pamali Indonesia, sepanjang 2023, terdapat 566 sarang telur penyu hijau dan 72 sarang telur penyu sisik di Pulau Denawan.
Dari jumlah itu, Pamali berhasil melepasliarkan 47.703 tukik penyu hijau dan 5.321 tukik penyu sisik.
“Itu baru di Pulau Denawan. Belum di gugusan Pulau Sembilan lain,” katanya.
Karena di antara gugusan Pulau Sembilan, masih ada Pamalikan, Maradapan, Kalambau, Matasiri, dan Payung-Payungan, yang jadi tempat pendaratan penyu untuk bertelur.
Begitu juga di kecamatan tetangga, ada Pulau Birah-Birahan di Kecamatan Pulau Laut Kepulauan dan Pulau Samber Gelap di Kecamatan Pulau Laut Timur.
“Penting kiranya untuk kita bisa lebih memperdulikan nasib penyu di tempat-tempat ini,” katanya.

Pecinta satwa
Sejak kanak-kanak Hana cinta satwa. Mungkin kecintaan terhadap satwa ini juga terwarisi dari sosok sang ayah yang juga dokter hewan.
“Sewaktu kecil saya senang bermain dengan siput. Saya juga memelihara anjing, kucing, dan kura-kura di rumah. Saya suka hewan yang bercangkang,” katanya.
Seiring waktu, Hana mengenal penyu dan langsung jatuh hati. “Tapi juga sedih mengetahui kehidupan mereka terancam,” katanya.
Beranjak dewasa, Hana memperdalam pengetahuan tentang satwa, khusus penyu. “Saya mengambil kuliah ilmu biologi,” katanya.
Di Ceko tidak ada laut, juga penyu, Hana pergi ke negara lain untuk memulai menyelamatkan satwa langka ini.
“Usia 18 tahun saya pertama kali jadi relawan program konservasi penyu di Meksiko,” ucap lulusan S2 Biologi Universitas Charles Republik Ceko itu.
Tak puas, Hana kemudian pergi ke Indonesia untuk menjadi relawan di Sumatera Barat pada 2010.
“Setelah itu, saya juga jadi relawan di Berau. Sempat empat tahun menetap di sana,” ceritanya.
Singkat cerita, Hana membentuk Save Turtle yang menjadi saluran perjuangannya mengkampanyekan isu keterancaman kehidupan penyu. Dengan program konservasi pertama ada di Berau.
Lewat Save Turtle, Hana aktif bekerja dan menghimpun dana di negara asalnya, untuk salurkan ke kerja konservasi penyu di Indonesia.
“Dari tujuh spesies penyu di dunia, enam ada di Indonesia. Keberadaan ini dibarengi ancaman yang amat banyak. Maka penyu dan habitatnya di Indonesia patut dijaga.”

Save Turtle, membantu kegiatan konservasi penyu di lima tempat. Selain Berau, Pulau Sembilan, ada di Lembata, Luwuk, dan Papua.
“Sudah tidak terhitung berapa kali saya bolak-balik Ceko-Indonesia. Negara ini seperti rumah kedua bagi saya,” katanya.
Selain Indonesia, Save Turtle juga membantu mendanai program konservasi penyu di Sri Lanka.
Sembari menyokong dana, Hana dan anggota Save Turtle juga seringkali datang mengunjungi mitra mereka di tempat-tempat itu.
“Minimal satu tahun sekali. Selain membantu kegiatan konservasi, kami juga rutin memberikan edukasi dan pelatihan buat masyarakat sekitar,” kisahnya.
Edukasi untuk memberi pemahaman kepada masyarakat lokal, terutama anak-anak usia sekolah di sekitar site konservasi tentang pentingnya keberadaan penyu dalam ekosistem.
Mereka juga mengajari penduduk cara membuat souvenir dengan material yang tidak berhubungan dengan penyu, seperti batok kelapa.
“Selama ini banyak orang bikin aksesoris dari sisik penyu. Jadi kami beri pelatihan mereka untuk membuat kerajinan tangan dari bahan baku lain,” katanya.
Upaya itu penting, katanya, agar masyarakat tidak lagi menangkap penyu dan memanfaatkan produk turunan, seperti telur, sisik, ataupun daging.
Karena tugas paling berat dalam mengkonservasi, kata Hana, bukanlah menjaga satwa, justru memupuk kesadaran masyarakat agar tak lagi melakukan perburuan, atau hal lain yang bisa mengancam kehidupan penyu.
“Dengan berbagai risiko dari predator alaminya, satwa seperti penyu mampu hidup jutaan tahun di dunia. Maka cara terbaik untuk melindungi adalah dengan membebaskan mereka hidup di alam liar, dan tidak menambah ancaman dari kita (manusia).”

Tantangan di Indonesia
Intensitas perburuan tinggi memang jadi momok tersendiri bagi upaya pelestarian penyu di Indonesia, tetapi ini bukan satu-satunya.
“Ada begitu banyak tantangan lain. Dari yang alami sampai non-alami,” katanya.
Faktor alami, misal, cuaca kian panas memicu meningkatnya suhu pasir pantai membuat jenis kelamin tukik yang menetas dari telur tidak seimbang.
“Yang keluar akan dominan betina,” katanya.
“Suhu pasir yang sangat panas juga tingkatkan risiko kematian tukik sebelum menetas.”
Berikutnya, adalah abrasi. Pantai berpasir merupakan habitat penyu selain laut. Tergerusnya pasir akan membuat satwa ini enggan mendarat untuk bertelur di pantai.
Padahal, kata Hana, tukik yang menjadi penyu dewasa, kemungkinan akan kembali bertelur di tempat ia pertama kali ditetaskan.
“Setelah kira-kira 30 tahun saat akan bertelur, penyu itu kembali ke tempat ia menetas. Tapi ternyata pasir pantai telah hilang, ke mana lagi dia akan bertelur?”
Faktor non-alami tentu saja karena perbuatan manusia, seperti marak penambangan pasir pantai, juga aktivitas manusia yang mengganggu lain.
Penyu, katanya, satwa yang amat intoleran terhadap distraksi apapun. “Ketika penyu hendak bertelur, ada cahaya sedikit saja, akan pergi dan tidak jadi bertelur,” katanya.
Kecerobohan manusia juga jadi biang masalah lain. Nelayan yang menangkap ikan dengan jala besar atau bahkan bom, seringkali menghancurkan tumbuhan dan terumbu karang di laut.
Ini tentu berdampak terhadap penyu hijau (Chelonia mydas) yang makanan utamanya gulma laut. Juga, penyu sisik yang memakan spons di terumbu karang.

Persoalan lain yang tidak kalah krusial disoroti Hana adalah masalah sampah, khusus, plastik di lautan Indonesia.
“Di sini, sampah parah sekali. Bayangkan sampah plastik itu dimakan oleh penyu, tentu akan mengganggu kesehatan mereka,” katanya.
Dengan sederet ancaman itu, Hana berharap, pemerintah bisa menambah rasa peduli terhadap keberlangsungan hidup penyu. “Kita harus kerja bersama untuk melindungi satwa ini agar tidak punah.”
Busdar, ranger Pamali Indonesia sudah mengenal Hana sejak 2015 saat masih sama-sama jadi relawan konservasi penyu di Berau.
Hana, katanya, punya pribadi baik, juga punya pendirian teguh demi menyelamatkan kehidupan penyu.
“Dia rela bekerja, cari uang di negaranya demi melindung penyu yang ada di Indonesia,” katanya.
Abdul Malik, Ketua Pamali Indonesia melihat Hana sebagai sosok yang perfeksionis, dan idealis dalam soal kepeduliannya terhadap nasib penyu.
“Dengan jarak yang sangat jauh dari Ceko ke Indonesia, beliau rela mendedikasikan diri untuk menyelamatkan penyu di negara ini,” katanya.
Besar harapan Malik supaya terus bermunculan sosok-sosok seperti Hana yang tulus melakukan kerja-kerja pelestarian lingkungan.
“Semoga pula semangat beliau bisa tertular kepada masyarakat Indonesia.”
*****
Cerita Aksi Warga Jaga Penyu di Pulau Terluar Kalimantan Selatan