- Sungai-sungai hingga muara di Pulau Bangka Belitung menjadi target aktivitas penambangan, yang merusak habitat penting buaya muara [Crocodylus porosus].
- Aktivitas penambangan timah membentuk sodetan-sodetan di sepanjang sungai, yang mungkin digunakan buaya untuk menjelajah ke ribuan kolong [lubang tambang], sehingga meningkatkan potensi serangan buaya muara. Buaya kehilangan ikan, kemudian beralih pada makanan yang berbeda yaitu manusia.
- Buaya muara merupakan spesies yang sangat tangguh, memiliki adaptasi tinggi, teruji sejak ratusan juta tahun lalu. Mereka akan menjelajah ratusan kilometer untuk mencari makan, dan di Pulau Bangka, hal ini difasilitasi oleh koridor-koridor baru yang terbentuk di sepanjang aliran sungai.
- Keadaan ini mungkin terkait erat dengan gadget yang ada di tangan kita. Setiap smartphone diperkirakan menggunakan sekitar tujuh gram timah dan Bangka Belitung menyumbang 90 persen produksi timah Indonesia.
Lanskap sungai hingga muara merupakan habitat penting buaya muara [Crocodylus porosus] di Bangka Belitung, spesies agresif yang dilindungi Pemerintah Indonesia.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sumatera Selatan [Sumsel] mencatat, terdapat 23 kantung habitat buaya yang tersebar di tiga kabupaten di Pulau Bangka. Di Kabupaten Bangka Selatan ada enam kantung [Sungai Kepoh, Gusung, Nyireh, Ulim, Kelubi dan Sungai Bangka Kota].
Di Kabupaten Bangka Tengah ada tujuh kantung, yaitu Sungai Air Lembuyan, Tebok Kurau, Air Gantung, Berok, Munggu, Selan, dan Sungai Pangkal Raya.
Terakhir, di Kabupaten Bangka terdapat 10 kantung, yaitu Sungai Selindung, Batu Rusa, Kampong Pasir, Sinar Jaya, Baye, Kolong Air Jungkung, Jembatan Primping, Sungai Bayuasin, Mancung, dan Sungai Kayu Besi.
“Habitat buaya ini sangat erat dengan kerusakan lingkungan akibat penambangan, perkebunan, tambak, dan alih fungsi lahan untuk permukiman penduduk,” kata M Andriansyah, Polisi Hutan [Polhut] Ahli Madya BKSDA Sumsel, dikutip dari Antara Babel.
Berdasarkan Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung [IKPLHD] tahun 2022, hasil interpretasi citra secara visual menunjukkan, aktivitas penambangan membentuk pola spasial memanjang yang mengikuti jaringan sungai.
“Proses pencucian bijih timah yang sekaligus membawa lumpur hasil proses penambangan tersebut ke arah hilir sungai, sehingga mengakibatkan terjadinya pendangkalan,” tulis dokumen tersebut.
Analisis tumpang susun peta digital [2021] juga menunjukkan, aktivitas penambangan timah dilakukan di 202 daerah aliran sungai [DAS], dari 433 DAS yang ada di Kepulauan Bangka Belitung.
“Data BPDASHL Bangka Belitung menyebutkan terdapat sekitar 196 DAS yang harus dipulihkan, sementara sisanya terkategori DAS yang harus dipertahankan,” jelas laporan itu.
Jessix Amundian dari Tumbek for Earth, menyatakan DAS di Bangka Belitung merupakan bagian lanskap lahan basah, yang penting dalam menjamin kesehatan ekosistem.
“Lanskap ini [lahan basah] juga menyimpan deposit mineral dalam jumlah tinggi, namun sudah dieksplotasi dengan serakah selama ratusan tahun. Dampaknya, terjadi krisis air, banjir, dan kekeringan di Bangka Belitung.”
Hal ini berujung pada rusaknya keseimbangan ekosistem sungai.
“Buaya kehilangan ikan, kemudian beralih pada makanan yang berbeda; manusia,” katanya, Minggu [9/6/2024].
Evakuasi buaya
Awal Juni 2024, Alobi Foundation -organisasi konservasi satwa di Bangka Belitung- sudah mengevakuasi empat buaya hasil serahan atau tangkapan warga.
“Dulu, dalam setahun hampir tidak ada kasus seperti ini. Sekarang, setiap minggu kami harus siaga dan siap menanti gadget/gawai kami berdering,” kata Langka Sani, pendiri Alobi Foundation, Senin [10/6/2024].
Menurut Langka, kasus serangan buaya di Pulau Bangka sebagai “bom waktu” yang siap meledak kapan saja. Dalam teorinya, aktivitas penambangan timah mengubah lanskap sungai, menciptakan sodetan-sodetan kecil yang menjelma sebagai koridor baru bagi buaya muara.
Jalur ini, memungkinkan buaya tersebar ke sejumlah kolong [lubang tambang] atau wilayah perairan yang bukan habitat alami mereka.
“Kemunculan buaya di kolong atau aliran air yang sebelumnya tidak ada, sering terdengar di Pulau Bangka.”
Saat dewasa, buaya akan menjadi lebih lapar, mencoba mencari ikan namun hanya menemukan manusia yang sedang mandi, mencuci, dan memancing.
“Manusia yang tidak menyadari keberadaan buaya, akan menjadi target serangan. Rusaknya sungai akibat aktivitas penambang timah ilegal masih menjadi penyebab utama masifnya serangan buaya di Pulau Bangka,” jelas Langka.
Berdasarkan dokumen IKPLHD 2021, jumlah kolong [tahun 2018] yang tersebar di semua wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sebanyak 12.607 kolong, dengan total luas 15.579,747 hektar.
Direktur Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati Badan Riset dan Inovasi Nasional [BRIN], Amir Hamidy, mengatakan buaya muara merupakan spesies yang sangat tangguh, memiliki adaptasi tinggi, teruji sejak ratusan juta tahun lalu.
Meskipun survival rate-nya rendah [sekitar 1 persen] saat baru menetas, ketika sudah memasuki usia remaja atau berukuran satu meter lebih, jenis ini hampir bisa dipastikan dapat bertahan hingga dewasa.
“Mereka akan menjelajah ratusan kilometer untuk mencari makan, dan di Pulau Bangka, hal ini difasilitasi oleh koridor-koridor baru yang terbentuk di sepanjang aliran sungai,” jelasnya, Rabu [12/6/2024].
Tingginya angka serangan atau kemunculan buaya di Pulau Bangka [mungkin] mengindikasikan populasinya banyak. Mamun, hal ini harus didukung penelitian lebih lanjut dan dalam skala lebih luas.
“Jika benar demikian, harus dilakukan manajemen populasi dengan melibatkan semua pihak terkait,” kata Amir.
Penelitian Ramadani [2023], menunjukkan tingkat perjumpaan populasi buaya di Sungai Antan, Kecamatan Jebus-Parittiga, Bangka Barat, hanya 1,13 individu/km.
“Selama riset dilakukan hanya dijumpai satu individu dewasa dan individu ini dijumpai baik pagi, sore maupun malam.” tulis laporan tersebut.
Meski demikian, basis data serangan buaya dari Crocodile Attack Database atau CrocBITE, sebuah basis data online yang mencatat serangan buaya ke manusia di dunia, pada Januari-Maret 2024, tercatat ada tujuh serangan buaya di Bangka Belitung. Empat kasus berakibat fatal.
Terbaru, pada 10 Juni 2024, Dedi Dwi [41] warga Kenanga, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, terkena serangan buaya saat mancing udang di sekitar Sungai Baturusa. Dia kehilangan jari tangan kirinya, dikutip dari bangkapos.com.
Dalam lima tahun terakhir [2019-Maret 2024], berdasarkan data Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sumatera Selatan [Sumsel], telah terjadi 127 kasus konflik buaya dan manusia di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dikutip dari Antara Babel.
Kasus ini tersebar di semua wilayah kabupaten/kota, yaitu Belitung Timur [23 kasus], Belitung [6 kasus], Bangka Barat [10 kasus], Bangka Tengah [17 kasus], Bangka Selatan [15 kasus], Bangka [36 kasus], dan Kota Pangkal Pinang [20 kasus].
Dalam periode 2014-2023, Bangka Belitung menduduki posisi empat dari lima besar provinsi dengan kasus serangan buaya tertinggi di Indonesia. Tercatat, ada 86 serangan buaya di Bangka Belitung, 35 orang meninggal dunia, dikutip dari bbc.com.
Mengutip data Garda Animalia, 22 persen serangan buaya terjadi saat korban sedang menambang timah. Dan sekitar 30-40 persen kejadian serangan buaya di Bangka Belitung terletak di desa yang “ada” hingga “terindikasi ada” aktivitas tambang timah.
Sebagai informasi, kolam rehabilitasi buaya Alobi Foundation yang berukuran 30×40 meter, menampung sekitar 20-an buaya hasil evakuasi konflik.
“Ini sudah overload. Hingga saat ini, kami sulit menentukan lokasi pelepasliaran buaya di Pulau Bangka, karena hampir semua habitatnya sudah tersentuh pertambangan timah,” lanjut Langka.
Gadget di tangan kita
Gadget membutuhkan timah [tin solder] yang selama ratusan tahun dikeruk dari Bangka Belitung, provinsi yang menyumbang 90 persen produksi timah di Indonesia.
Sebagai komponen penting dalam produk elektronik, timah, khususnya timah solder [tin solder] berfungsi untuk menggabungkan komponen-komponen elektronika dalam printed circuit board [PCB].
Berdasarkan penelitian Friends of Earth Internasional [2012], untuk produksi 5,6 miliar gadget di dunia saat itu, membutuhkan 39.200 ton timah solder yang sepertiganya berasal dari Kepulauan Bangka Belitung. Setiap ponsel pintar, diperkirakan mengandung kurang lebih tujuh gram timah. Sebagai catatan, mengutip katada.co.id, produksi smartphone dunia pada kuartal II 2023 mencapai 272 juta unit.
Ahmad Subhan Hafidz, Direktur Eksekutif Walhi Bangka Belitung, mengatakan timah yang ada di setiap gadget atau ponsel pintar/smartphone di dunia saat ini telah menimbulkan kerusakan yang masif di setiap lanskap ekosistem penting di Bangka Belitung. Ini harus menjadi perhatian serius.
“Dari hutan, sungai, hingga laut di Kepulauan Bangka Belitung, semuanya terkena dampak dari daya rusak aktivitas penambangan timah yang masif. Hal ini juga merusak keseimbangan ekosistem, menggerus keanekaragaman hayati, memicu penyakit dan memperparah krisis iklim, hingga kematian manusia,” kata Hafiz.
Randi Syafutra, peneliti satwa dan dosen di program studi Konservasi Sumber Daya Alam [KSDA] Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, mengatakan aktivitas penambangan timah berkaitan erat dengan serang buaya di Bangka Belitung [Fitriana, 2023].
Frekuensi tinggi dan intensitas serangan yang mengakibatkan korban jiwa atau luka serius, menunjukkan adanya masalah mendesak yang membutuhkan penanganan cepat.
“Tindakan mitigasi konflik sudah seharusnya menjadi program mendesak bagi pemerintah di Kepulauan Bangka Belitung,” katanya.
Menurut Randi, langkah-langkah yang bisa diambil termasuk penelitian dan monitoring, edukasi masyarakat, penanganan dan relokasi buaya, serta pembangunan infrastruktur pelindung.
“Yang jelas, butuh keterlibatan semua stakeholder.”
Pada Maret 2024, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] membentuk satuan tugas [satgas] khusus untuk menangani konflik antara manusia dan satwa liar khususnya buaya.
Sugito, Kepala Seksi Konservasi Wilayah III BKSDA Sumatera Selatan, mengatakan saat ini mereka ikut mendorong terbentuknya satgas tersebut.
“Kami berharap hal ini segera direalisasikan, untuk mengoptimalkan upaya-upaya penanganan konflik satwa di Bangka Belitung. Tapi, semua itu tergantung kebijakan pemda sebagai leader. Semua stakesholder akan berperan sesuai tupoksi dan kewenangannya,” kata Sugito, Selasa [11/6/2024].
Randi Syafutra menegaskan, penting juga untuk melibatkan pawang buaya yang memiliki pengetahuan mengendalikan atau menangkap.
“Namun, pawang ini jarang berbuat dalam mencegah atau memitigasi konflik. Maka itu, perlu dibentuk Satuan Tanggap Buaya yang dibentuk di setiap desa, yang bersinggungan langsung dengan DAS atau habitat buaya muara.
Tujuan satuan ini, utamanya tiada lain untuk memitigasi konflik buaya muara. Apabila terjadi konflik, satuan tersebut bisa bertindak segera dalam mengatasi konflik.
“Satuan Tanggap Buaya harus dilatih sehinggah tangguh di bidangnya,” paparnya.
Referensi:
Fitriana, F. (2023). ANALISIS SEBARAN DAN IDENTIFIKASI KONFLIK BUAYA DENGAN MANUSIA DI PULAU BANGKA. CONSERVA, 1(2), 88–101.
Marheni, L. (2008). Menelusuri perbedaan karakteristik deposit timah (Sn) di Pulau Bangka Belitung: indikasi perbedaan kontrol pada pembentukannya. Prosiding Pertemuan Ilmiah IAGI ke 37, 2008.
Primananda, M. I., Widada, S., & Usman, E. (2015). Studi Pola Sedimentasi Daerah Lembah Dan Sungai Purba (Paleo-channel) Berdasarkan Analisis Data Seismik Di Perairan Selat Bangka. Journal of Oceanography, 4(1), 35–47.
Ramadani, B. A. A. H. (2023). Population and Habitat Characteristics of the Saltwater Crocodile (Crocodylus porosus, Schneider 1801) in the Antan River, Jebus-Parittiga District, West Bangka [Populasi dan Karakteristik Habitat Buaya Muara (Crocodylus porosus, Schneider 1801) di Sungai. Jurnal Biologi Indonesia, 19(1), 17–23.
Tambang Timah yang “Melubangi” Jejak Rempah Nusantara di Pulau Bangka