- Sejak adanya kawasan industri nikel PT IWIP beroperasi di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara tahun 2018, para nelayan kecil di daerah seputar tambang menghadapi berbagai permasalahan, seperti melaut yang makin jauh, biaya BBM tinggi, akses melaut yang sulit dan terutama hasil tangkapan ikan yang makin sedikit
- Dinas Perikanan Kabupaten Halmahera Tengah telah memberikan perhatian penuh kepada nelayan kecil dengan memberikan bantuan peralatan dan armada tangkap perikanan. Akan tetapi belum ada perhatian dan bantuan dari PT. IWIP kepada nelayan
- Hasil riset WALHI Maluku Utara pada 2023 menunjukkan kerusakan ekologi akibat industri ekstraktif nikel di Halmahera Tengah dan Pulau Obi, seperti perubahan hutan pantai dan hutan mangrove Kecamatan Weda Tengah untuk reklamasi kawasan industri nikel dan pencemaran aktivitas tambang terhadap perairan dan biota laut
- Sampai berita ini diterbitkan, pihak PT. IWIP belum memberi tanggapan terhadap permasalahan ini
Hari menjelang siang, ketika Max Sigoro (65) melabuhkan perahunya di pantai Desa Gemaf, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara. Sementara istrinya pulang melaut lebih pagi hari itu karena tidak memperoleh hasil tangkapan ikan.
“Hari ini tara dapa (tidak ada) hasil. Karena itu saya pulang lebih awal,” katanya saat disambangi di rumahnya di kawasan pantai Desa Gemaf, beberapa waktu lalu.
Max dan istrinya Marsolina Kokene (60) pagi itu pergi melaut. Namun keduanya berbeda lokasi tempat mancing ikan. Marsolina sejak subuh sudah menjaring ikan pelagis kecil di laut tepi pantai tak jauh dari Desa Gemaf.
Sementara Max dengan perahu dan bahan bakarnya pergi lebih jauh ke tengah laut. Aktivitas mereka menangkap ikan ini sama seperti nelayan lain di desa-desa tetangga lingkar tambang, terutama Lelilef Sawai, Waebulan, Sagea dan Kia. Mereka mencari ikan seperti cakalang, tuna dan ikan pelagis kecil lainnya.
Marsolina ikut turun melaut membantu suaminya mencari nafkah dan pendapatan tambahan. Selain bertani, mereka hidup sebagai nelayan dengan hasil tangkapan ikan yang langsung dijual kepada warga setempat dan para pendatang yang merupakan pekerja perusahaan tambang nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang menempati ratusan rumah sewa.
Para istri pekerja tambang itu biasanya membeli ikan pelagis hasil tangkapan Max yang jumlahnya tak seberapa. Hari itu mereka mendapatkan uang hampir Rp150 ribu. Max sempat menyisakan beberapa ekor ikan untuk lauk makan siang mereka.
Baca : Nasib Nelayan Halmahera Tengah Setelah Ada Industri Nikel [1]
Mereka bercerita berbagai permasalahan yang dihadapi para nelayan kecil di daerah lingkar tambang sejak perusahaan tambang masuk tahun 2018. Apalagi kampung Gemaf yang masuk ring 1 wilayah industri tambang nikel PT. IWIP.
Persoalan utama yang dihadapi para nelayan, kata Max, adalah makin sedikitnya tangkapan ikan laut karena tercemarnya perairan akibat aktivitas pertambangan. Selain itu, hutan mangrove di kawasan pantai kampung Gemaf juga hilang karena direklamasi menjadi kawasan industri (KI) PT IWIP. Padahal hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis ikan untuk memijah sehingga mempengaruhi populasi ikan yang ditangkap.
Sejak perusahaan beroperasi, para nelayan terhalangi untuk melaut. Mereka juga takut melaut pada malam hari karena aktivitas kapal-kapal perusahaan.
Max mengatakan sebelum perusahaan beroperasi, mereka cukup memancing tidak terlalu jauh, bahkan ada yang hanya di tepi pantai. “Sekarang semua area itu sudah tertutup kawasan industri, jadi kita sudah tidak bisa memancing lagi,” keluhnya.
Otniel Tobo (60 tahun), nelayan Dusun Lukulamo, Desa Lelilef Woebulen, Kecamatan Weda Tengah juga merasakan makin sulit memperoleh ikan tangkapan. Setelah perusahaan tambang beroperasi, dia makin jauh memancing ikan.
“Dulu memancing di pesisir pantai saja sudah dapat tangkapan melimpah, dengan harga jual ikan waktu itu juga terbilang murah. Lima hingga 10 ekor, dijual Rp.5000–Rp10.000. Sekarang berbeda. Harga ikan makin mahal tetapi hasil tangkapan juga makin sulit,” katanya.
Otniel juga kesulitan menambatkan perahu. Dulu dia bisa memarkirkan perahu didepan rumahnya di tepi Sungai Kobe. “Sekarang perahu sudah tak bisa masuk ke sungai Kobe karena sungai makin dangkal akibat sedimentasi. Akhirnya perahu hanya bisa diparkir di pesisir pantai,” ujarnya.
Baca juga : Laut Halmahera Timur Tercemar Parah Limbah Nikel
Sedangkan Lariando (57 tahun) nelayan Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara, juga mengeluhkan hal sama. Dia yang telah hampir 19 tahun menjadi nelayan merasakan tangkapan ikan yang makin berkurang.
“Ada kapal besar menabrak rumpon saya hingga rusak waktu subuh. Saya tidak tahu kapal penabraknya. Jika mau buat rumpon lagi, biaya pembuatannya cukup besar. Butuh sekira Rp10 juta. Rumpon milik teman saya juga ditabrak. Saat kejadian, kita sempat menyalakan senter tetapi tidak terlihat plat kapalnya (ship plate),” ceritanya.
Tidak hanya aktivitas kapal yang mengganggu nelayan. Hasil tangkapan ikan juga tidak sebanding biaya bahan bakar minyak (BBM) untuk melaut. Meski harga ikan sekarang mahal, tetapi hasil tangkapan sedikit. Mereka berharap pemkab Halmahera Tengah turut memperhatikan kondisi nelayan saat ini.
Tidak Ada Bantuan PT IWIP
Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Halmahera Tengah Mufti Murhum mengatakan selama ini perhatian Pemkab Halmahera Tengah untuk nelayan kecil di kawasan industri PT IWIP sudah maksimal. Misalnya membagi bantuan armada tangkap.
“Perhatian sudah sangat maksimal. Pihak perusahaan yang belum ada. Pada 2024 ini Pemda melalui Penjabat Bupati Ikram Sangaji sudah meminta pihak perusahaan PT IWIP membantu nelayan di Halmahera Tengah. Semoga permintaan pemerintah daerah itu bisa direalisasikan,” katanya saat dikonfirmasi akhir Mei lalu.
Mufti membenarkan dampak aktivitas industri tambang yang dirasakan nelayan. Dia akui daerah tangkapan ikan nelayan sudah lebih jauh dan hasilnya makin sedikit. Kalau nelayan ingin tangkapan ikan lebih banyak, butuh biaya operasional besar.
Baca juga : Hilirisasi Nikel di Halmahera Bisa Perparah Krisis Iklim dan Susahkan Warga
Kehadiran KI Weda sebagai salah satu Proyek Strategi Nasional (PSN) dengan kegiatan utama hirilisasi industri pertambangan, memiliki dampak sosial dan ekonomi bagi desa sekitar.
“Untuk mengantisipasinya agar mereka tetap berusaha, sejak 2020 telah dilakukan berbagai terobosan, seperti memfasilitasi armada tangkap yakni bantuan badan perahu ukuran 2,5 GT dan mesin 15 PK. Memfasilitasi sarana alat tangkap dan alat bantu tangkap serta bantuan sarana budidaya ikan tawar,” katanya.
Dengan bantuan itu, lanjutnya, diharapkan aktivitas nelayan bisa menjangkau lokasi tangkapan yang agak jauh dari desa dan terus berusaha di sektor perikanan.
“Kalau kita amati, desa sekitar kawasan industri ada banyak usaha di sektor perikanan yang tumbuh seperti penampung dan pemasaran ikan. Pelaku usaha penampung dan pemasaran ikan, sebanyak 26 unit usaha yang tersebar di Kecamatan Weda Tengah. Belum termasuk di Weda Utara. Ke depan kita akan terus bantu peningkatan kapasitas dan pendampingan agar usaha mereka berkembang,” tambahnya.
Data sarana tangkap 2022, di Weda Tengah ada 67 unit perahu dengan rincian 24 perahu tanpa mesin motor dan 43 perahu bermotor dengan 201 orang nelayan tangkap. Sementara di Weda Utara, ada 89 unit perahu, terdiri dari 31 unit perahu tanpa motor dan 58 unit perahu bermotor dengan jumlah nelayan 258 orang.
Baca juga : Nasib Sungai di Halmahera Tengah Kala Industri Nikel Datang [2]
Kerusakan Lingkungan Tambang
WALHI Maluku Utara pernah memaparkan hasil risetnya yang dilakukan dua peneliti tentang kerusakan ekologi akibat industri ekstraktif nikel di Halmahera Tengah dan Pulau Obi di Kota Ternate pada November 2023 lalu. Dr Aditiawan Ahmad S.Pi, M. mengungkapkan, perubahan hutan pantai dan hutan mangrove Kecamatan Weda Tengah selama periode 2012-2015 terjadi perubahan luas lahan mencapai 12,82 persen atau 4,27 persen per tahun. Ini akibat dari adanya ekstraktif tambang
“Selama periode 2015-2023 terjadi perubahan luas lahan sebesar 11,85 persen atau 1,48 persen per tahun. Luas lahan hutan pantai dan hutan mangrove yang dikonversi selama periode 2012-2023 adalah 491,93 Ha atau 23,15 persen selama 11 tahun,” jelas Aditiawan.
Jika hutan mangrove dan hutan pesisir habis, sudah pasti, berpengaruh terhadap kehidupan biota laut. Ancaman ekologi dan pulau-pulau kecil ini menjadi isu global dan ini menjadi ancaman serius terhadap masyarakat yang mendiami lingkar tambang, karena berdampak secara langsung.
Dr. Muh. Aris, S.Pi, M.P. peneliti lainnya mengatakan hasil risetnya dalam tiga tahun dari 2019, 2021 dan 2023 menunjukkan ancaman laut di Maluku Utara, terutama di daerah tambang. “Ikan yang kami teliti dari usus, hati itu sudah mengalami kematian sel. Artinya ikan-ikan di Teluk Weda tidak sehat lagi,” katanya. Menurutnya jika biota laut terpapar logam berat, sangat bahaya karena logam berat bersifat toksik dan dapat membahayakan.
Saat dikonfirmasi, pihak PT. IWIP belum memberi tanggapan hingga kini. Bagian humas yang dikonfirmasi terkesan saling lempar tanggung jawab. Saat dihubungi, Hartono Humas PT. IWIP meminta Mongabay menghubungi humas lainnya bernama Rizal Syam. Sayangnya Rizal juga mengaku tak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan Mongabay dan meneruskan pertanyaan ke pihak humas PT. IWIP di Jakarta.
Hingga berita ini diterbitkan, belum juga ada tanggapan dari PT IWIP. “Karena Mongabay media nasional di Jakarta, jadi biasanya teman teman humas di Jakarta memberi tanggapan. Saya teruskan pertanyaan ke mereka,” kata Rizal. (***)