Di saat pemerintah menggembar-gemborkan transisi energi yang berkeadilan dan pro-iklim, kebijakan kontradiktif dikeluarkan. Kebijakan populis bernuansa politis, -yaitu memberikan konsesi pertambangan batubara kepada ormas keagamaan, itu lalu tampak jadi bukti ketidakonsistenan negara.
Tanpa ada pembahasan publik sebelumnya, tiba-tiba munculah aturan tentang pemberian izin pengelolaan di Wilayah Izin Usaha Pertambahan Khusus (WIUPK) bagi ormas keagamaan di eks perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Ini seolah merupakan puncak dari gunung es, dimana konsesi pertambangan akan tetap langgeng dan berlanjut.
Padahal, batubara merupakan salah satu penyumbang emisi terbesar di sektor energi. ESDM (2020) menyebutkan 78% lepasan gas rumah kaca (GRK) di sektor pembangkit berasal dari PLTU batubara.
Dalam konsteks pengelolaan hulu di wilayah pertambangan, keberlanjutan eksploitasi batubara akan menambah daftar deforestasi wilayah berhutan yang terancam tambang. Madani mencatat, pada tahun 2022 setidaknya masih ada 982 ribu hektar hutan alam tersisa yang berada di konsesi minerba.
Alih-alih melakukan percepatan terhadap penggunaan energi bersih, pemberian izin usaha pertambangan (IUP) ini akan berpotensi memperlambat upaya program pemensiunan PLTU batubaru.
Sebagai catatan hingga November 2023, hanya dua PLTU batubara yang berencana akan dipensiunkan dini, yaitu PLTU Cirebon-1 yang ditargetkan akan dihentikan pada 2035 dan PLTU Pelabuhan Ratu pada 2037 (Green Network, 2024). Dua PLTU ini adalah total dari 234 PLTU yang ada di Indonesia (Katadata, 2023).
Dari sisi sosial, pengusahaan IUP oleh ormas akan berpotensi menjerumuskan ormas dalam hal-hal teknis dan urusan manajerial di lapangan kelak di kemudian hari. Meski telah ada tim profesional yang akan menangananinya, namun nama dan representasinya tentunya akan embedded kepada ormas yang diwakilinya.
Dapat dipastikan, alih-alih turut menyelesaikan konflik tenurial akibat tambang yang sudah terjadi, ormas keagamaan bakal ‘disibukkan’ dalam persoalan masalah tenurial. Sebagai catatan, pada tahun 2023, KPA mencatat terdapat enam letusan konflik tambang batubara yang berdampak pada 4.532 jiwa.
Penyelesaian konflik dalam bidang pertambangan juga tidaklah mudah dan murah. IBCSD (2016) menyebut biaya penyelesaian konflik mencapai 55-88% dari total operasional perusahaan.
Ketidakadilan Manfaat
Pada Februari 2024, MUI meluncurkan fatwa tentang perubahan iklim. Intinya menyatakan bahwa segala tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan alam dan berdampak pada krisis iklim bersifat haram.
Fatwa tersebut menyebutkan semua pihak wajib untuk berkontribusi dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, mengurangi jejak karbon yang bukan kebutuhan pokok, serta melakukan upaya transisi energi yang berkeadilan.
Lalu mengapa ormas keagamaan [Islam] tampak menyambut uluran pemerintah terhadap tawaran dalam pengelolaan tambang? Apakah telah terjadi penyimpangan dari niat pendirian ormas itu sendiri, yaitu sebagai wadah penyalur aspirasi, pemberdayaan, dan partisipasi umat?
Mengapa ormas saat ini tampak lebih mementingkan profit daripada fungsinya sebagai penjaga kompas moral?
Mempertanyakan Moralitas Ormas
Ormas keagamaan keberadaannya harus menunjukkan netralitas, ia berada di tengah, untuk menjembatani kepentingan umat demi menjaga keharmonisan. Maka idealnya, ormas keagamaan tidak terjebak dalam kepentingan politik praktis dan transaksional.
Pasca keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan perubahan PP Nomor 96 tahun 2021, beberapa ormas telah menunjukkan perbedaan sikap.
PBNU segera menyiapkan struktur bisnis dan manajemen untuk mengelola IUP tersebut. Sementara itu, Muhammadiyah cenderung lebih berhati-hati menanggapi pemberian IUP bagi ormas meskipun tidak secara gamblang menunjukkan penolakan.
Penerimaan IUP tambang menandakan secara terang terjadinya adanya politik praktis pada ormas keagamaan. Sebelumnya, isu pemberian IUP ini pernah mencuat dalam Muktamar NU ke-34 di Lampung. Saat itu Jokowi menawarkan konsesi pertanian dan pertambangan kepada anggota muda ormas tersebut (Tempo, 2024).
Selain itu, semasa pencalonan kandidat presiden, Prabowo mengatakan rencana pembagian IUP bekas milik swasta bagi PBNU.
Dalam kajian akademisi, fenomena ini sejalan dengan teori dimensi klientelisme (Aspinall & Berenschot, 2019), di mana terdapat empat kerangka dimensi klientelisme, yaitu adanya jejaring terorganisir, pola kontrol patronase, ada sumber daya yang dipertukarkan, dan ada derajat atau intensitas dari klientelisme.
Dimensi pertama, kelompok agama yang tergabung dalam ormas merupakan bentuk konkret dari jejaring terorganisir yang bersifat informal di luar partai politik.
Dimensi kedua, ada pola kontrol, yang ditunjukkan dengan penggunaan wewenang pemerintah untuk melakukan diskresi terhadap perubahan peraturan pemberian izin bagi ormas agama.
Dimensi ketiga, pertukaran sumberdaya digambarkan dengan pertukaran massa (ormas keagamaan) dengan pemberian izin konsesi tambang.
Terakhir, intensitas klientelisme yang diberikan bersifat collective-private berupa club-goods yang bukan lagi sebagai individual-private seperti vote buying.
Praktik ini menunjukkan adanya pergeseran paradigma moral politik ormas keagamaan yang buruk. Kepentingan praktis lebih mendominasi dibandingkan kepentingan untuk menjaga kelangsungan bumi yang lestari, yang lebih sesuai dengan etika tatakelola yang baik dan yang bermanfaat bagi kepentingan umat.
Faktanya, meski di sebagian pendapat, -seperti fatwa MUI, telah mengharamkan segala tindakan yang berkontribusi terhadap krisis iklim, ormas keagamaan justru ikut andil dalam menciptakan krisis iklim berkelanjutan melalui pengelolaan IUP batubara yang diberikan sebagai politik ‘balas budi’ dukungan politik yang diberikan oleh pemerintah.
Semoga para pengurus ormas keagamaan dapat memikirkan kembali hal ini, dan menghitung kembali manfaat dan mudharat dari pilihan yang akan dilakukan.
* Intan Lestari, Researcher dan Program Assistant Yayasan Madani Berkelanjutan. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dan tidak mencerminkan organisasi tempat penulis bekerja.
Presiden Cabut Izin Jutaan Hektar, Saatnya Kembali ke Rakyat dan Pulihkan Lingkungan