- Konflik lahan antara warga Kumpeh dengan perusahaan sawit sudah puluhan tahun dan memanas lagi awal Juni lalu atas penangkapan petani sawit, Tumiran oleh Polda Jambi. Mereka kena tudingan mencuri buah sawit perusahaan.
- Jauh sebelum itu, pada 2022, Bahusni, Ketua Serikat Tani Kumpeh, juga alami nasib serupa, terjerat hukum karena tudingan mencuri sawit. Saat itu, dia langsung menyerahkan diri dan masuk penjara setelah putusan hukum satu tahun, enam bulan keluar pada 14 Maret lalu.
- Ketika hidup di lahan konflik, perempuan jadi pihak paling terdampak. Ketika suami kena tangkap, istri tanggung segala. Untuk saling menguatkan saat ada yang kena musibah atau berkasus, petani perempuan anggota STK menamai diri Perempuan Padek (Pepa). Kelompok ini menjadi ujung tombak perjuangan perempuan di Desa Sumber Jaya dalam penanganan konflik lahan berpuluh tahun dengan perusahaan sawit ini.
- Di Jambi terdapat 44 Desa seluas 86.465 hektar merupakan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang KPA serahkan kepada pemerintah pusat maupun Jambi, Desa Mekar Jaya, salah satunya. Sayangnya, belum satu jengkal tanah terdistribusi kepada petani.
Dini hari, tiga hari sebelum Idul Adha , 17 Juni lalu, Eka yang sedang hamil tujuh bulan dan dua anaknya dikejutkan kehadiran polisi. Suaminya, Tumiran diamankan polisi lalu ditahan Polda Jambi.
Anak-anaknya yang berusia delapan dan empat tahun menjerit dan menangis. Eka harus menenangkan mereka saat melihat ayahnya digelandang polisi.
“Sampai sekarang masih trauma, anak-anak juga,” katanya lirih.
Penangkapan Tumiran ini buntut dari konflik lahan warga Desa Sumber Jaya, Muara Jambi, Jambi dengan perusahaan perkebunan sawit PT Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL).
Konflik sudah berlarut puluhan tahun tanpa ada penyelesaian.
Berawal dari…
Kasus Tumiran berawal pada 21 November 2023, saat dia jadi sopir pengangkut tandan buah segar (TBS) sawit hasil panen masyarakat Desa Sumber Jaya. Truk yang dia kendarai disetop paksa sejumlah orang.
Penghentian paksa ini di Desa Niaso, Muaro Jambi, satu jam setelah meninggalkan kebun mereka di Desa Sumber Jaya.
Dari kronologi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Jambi menyebutkan, orang yang menghadang kedua petani ini mengaku dari Polda Jambi.
Dua petani alami kekerasan. Supriadi dipukul di pelipis kiri, sampai tersungkur di aspal. Orang yang mengaku polisi juga menembakkan senjata membuat keduanya makin mengintimidasi.
Mereka kemudian dibawa paksa ke Polda Jambi. Mobil truk berisikan TBS sawit diamankan.
Penangkapan terhadap Tumiran dan Sapriadi adalah cacat hukum.
Keduanya tak pernah melalui proses pemanggilan secara patut terlebih dahulu. Penangkapan aparat tanpa menunjukkan surat tugas ataupun memberi alasan jelas. Aparat juga sewenang-wenang menetapkan keduanya sebagai tersangka dan ditahan.
Penangkapan paksa terhadap Tumiran dan Sapriadi baru diketahui Serikat Tani Kumpeh, keesokan harinya, 22 November.
Ratusan warga Desa Sumber Jaya bersepakat aksi blokade jalan di depan Kantor Desa Sumber Jaya, nyaris tengah malam 22 November itu, Mereka mendesak Polda Jambi membebaskan dua petani yang jadi korban penangkapan sewenang-wenang.
Blokade jalan juga bentuk protes atas kerugian masyarakat, yang tak dapat menjual panen TBS karena dituduh mencuri sawit.
Setelah beberapa hari penahanan kedua petani, keluarga Tumiran dan Sapriadi diminta menandatangani surat permohonan penangguhan. Upaya ini, KPA nilai sebagai upaya kepolisian agar proses penangkapan terlegitimasi sah secara hukum.
Tanpa pendampingan kuasa hukum, keluarga terpaksa menandatangani surat permohonan yang disusun Polda Jambi, 27 November.
Pada 5 Desember, Tumiran dan Sapriadi, bersama Serikat Tani Kumpeh dan Solidaritas Gerakan Reforma Agraria mengajukan pra peradilan. Langkah ini untuk membuktikan ketiadaan alas hak penangkapan Tumiran dan Sapriadi. Upaya ini ditolak Pengadilan Negeri Jambi, berujung penahanan Tumiran.
Selain kedua petani, jauh sebelum itu, pada 2022, Bahusni, Ketua Serikat Tani Kumpeh, juga alami nasib serupa, terjerat hukum kena tudingan mencuri sawit. Saat itu, dia langsung menyerahkan diri dan masuk penjara setelah putusan hukum satu tahun, enam bulan keluar pada 14 Maret lalu.

Para perempuan di tanah konflik
Lantunan Surah Yaa-sin terdengar di rumah Bahusni di Desa Sumber Jaya, Kecamatan Kumpeh Ulu, Muaro Jambi. Pasca Bahusni ditahan akhir Maret 2024, yasinan dan do’a digelar rutin setiap Rabu malam.
Aksi ini diprakarsai puluhan petani perempuan anggota STK yang menamai diri Perempuan Padek (Pepa). Kelompok ini menjadi ujung tombak perjuangan perempuan di Desa Sumber Jaya dalam penanganan konflik lahan berpuluh tahun dengan perusahaan sawit ini.
Padek dalam bahasa lokal berarti, cerdas dan berani. Semangat ini yang ingin para perempuan Desa Sumber Jaya bawa melawan ketidakadilan yang mereka alami.
Mata Arlina, sakit dan alami trauma sejak suaminya, Bahusni, masuk penjara. Sudah hampir empat bulan Bahusni mendekap di Lapas Kelas II A Jambi. Hidupnya berubah. Dia harus jadi ibu dan ayah sekaligus, jadi tulang punggung keluarga. Dua anaknya tertekan. Apalagi, sejak penahanan Bahusni, mobil kepolisian Polsek Kumpeh dan Polres Muaro Jambi mondar-mandir di Desa Sumber Jaya.
Solidaritas perempuan Padek ini secara begilir, menemani dan mengunjungi kediaman Bahusni untuk menghibur istri dan anaknya. Mereka juga bergotong royong membantu ekonomi keluarga Bahusni selama ditahan.
Nur Jannah, Ketua Perempuan Padek mengatakan, penangkapan anggota STK ini berdampak besar pada kondisi perempuan.
“Ini sudah penangkapan kedua, setelah Bahusni, sekarang Tumiran. Yang paling menderita kami para istri. Belum lagi setiap dua hari sekali polisi mondar-mandir di kebun dan desa kami,” katanya.
Yusnidar, anggota STK mengamini. Penangkapan Tumiran memperlihatkan ketidakberpihakan kepolisian kepada petani.
“Sawit yang dibawa Tumiran itu sawit petani, bukan dari lahan konflik. Sampai saat ini mobilnya pun masih ditahan, belum tahu nasibnya. Ini tidak adil bagi kami,” katanya dengan suara terbata menahan tangis.
Area yang diklaim sebagai izin hak guna usaha (HGU) FPIL ini merupakan lahan garapan warga sejak 1960. Proses perampasan tanah berlangsung sejak 1998-2005 oleh PT Permata Tusau Putra (PTP).
Saat PTP diakuisisi FPIL, konflik terus berlanjut hingga kini.

Pergantian pihak ini, katanya, hanya melanggengkan konflik agraria dan menambah kompleksitas masalah bagi masyarakat Sumberjaya.
Perampasan tanah ini disusul pelemahan-pelemahan perjuangan masyarakat oleh FPIL, antara lain, gugatan perdata dengan tuntutan kerugian miliaran rupiah, panggilan-panggilan kepolisian berujung upaya pemidanaan Bahusni dan Tumiran. Juga upaya pembunuhan anggota STK dengan laporan diabaikan kepolisian.
Hamdani, kuasa hukum FPIL saat dihubungi Mongabay untuk konfirmasi sampai berita ini terbit tidak merespon.
Roni Septian Maulana, Kepala Departemen Advokasi Kebijakan. KPA Wilayah Jambi menyayangkan, penangkapan ini.
“Kekeliruan Kepolisian Jambi. Jika polisi cermat, seharusnya diperiksa dahulu sumber sawit dari mana dan milik siapa. Kepolisian seharusnya tidak sepihak menyimpulkan buah sawit milik perusahaan, FPIL.”
Apalagi, katanya, di lokasi masih terjadi konflik agraria atau tanah petani tumpeng tindih dengan kebun FPIL.
“Kriminalisasi terhadap petani yang memperjuangkan hak atas tanahnya di Jambi ini seharusnya tidak terjadi kalau saja pemerintah pusat dan daerah termasuk kepolisian proaktif mengupayakan penyelesaian konflik agrarian,” katanya via telepon.
Roni juga menyebutkan, penangkapan ini menandakan Kepolisian Jambi, kurang paham hukum pertanahan. Misal, soal hak atas tanah. Ketika tanah belum bersertifikat bukan berarti tidak ada pemiliknya. “Ketiadaan bukti hukum atas tanah disebabkan negara tidak mendaftarnya, bukan kesalahan petani.”

Nihil LPRA
Di Jambi terdapat 44 Desa seluas 86.465 hektar merupakan Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang KPA serahkan kepada pemerintah pusat maupun Jambi. Sayangnya, kata Roni, belum satu jengkal tanah terdistribusi kepada petani.
“Kami kira Pemerintah Jambi akan terus dimintai pertanggungjawabannya terkait l ini, sampai petani memperoleh haknya.”
Desa Sumber Jaya, merupakan LPRA, yang telah sampai di meja Kementerian Agraria Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional. Bahkan, presiden menginstruksikan kepada seluruh jajaran lembaga/kementerian menjaga kondusifitas wilayah-wilayah LPRA selama proses penyelesaian. Di atas tanah seluas 482 hektar ini, 678 keluarga petani STK menggantungkan hidup.
Buntut penangkapan Tumiran, sawit warga yang tidak berada di wilayah konflik pun tidak bisa dijual. Petani sawit swadaya Desa Sumber Jaya menjerit karena kesulitan ekonomi.
“Sekarang, sawit kami yang tidak di areal lahan konflik sulit dipanen dan dijual. Ditambah lagi, satu per satu suami anggota STK ditahan,” keluh Nurjannah.
Nurjannah dan para perempuan Perempuan Padek makin khawatir dengan penangkapan kepolisian ini.
“Harusnya kami yang menghukum perusahaan, atas perampasan tanah dan penghilangan sumber alam kami yang subur. Sekarang, mereka yang memenjarakan kami, warga lokal yang punya ikatan dengan tanah di sini. Keadilan seperti apa ini namanya?”katanya bergetar menahan amarah.
Perempuan-perempuan petani di Desa Sumber Jaya juga mendapatkan sesi pemulihan trauma atas konflik lahan yang bertahun-tahun mereka jalani.
Dessy Pramudiani, Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) wilayah Jambi yang sempat memberikan sesi trauma healing bagi perempuan di Desa Sumber Jaya. Dia menyebutkan, konflik berkepanjangan ini membuat mereka trauma namun sering terabaikan hingga berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari sebagai istri dan ibu.
“Mereka menjadi lebih gampang lelah, dan emosi tidak stabil sehingga berpengaruh dalam keluarga fungsinya sebagai ibu dan istri. Ada sebagian dari mereka memang membutuhkan terapi lanjutan.”
Kehilangan sumber penghidupan, ditambah intimidasi dan penahanan memang ujian berat perempuan di Desa Sumber Jaya.
“Sekarang, tempat kami mengadu ke Tuhan bae, mba. Semoga doa-doa kami dikabulkan agar kepolisian dan pemerintah mengerti kondisi kami. Kami cuma menuntut tanah kami yang diserobot, tapi dicap pencuri. Sementara perusahaan yang menyerobot dan tidak punya izin di tanah kami ini dinilai bersih,” kata Nurjannah.
Kami turun di lokasi kebun-kebun yang diklaim masyarakat. Sekarang jalan-jalan menuju kebun digembok perusahaan.
Nurjannah menunjuk beberapa foto yang diambil warga saat polisi-polisi menjaga kebun konflik.
“Apa masih ada keadilan bagi kami?”

*******
Nasib Warga Kumpeh, Lahan Tani Kebanjiran, Konflik dengan Perusahaan Sawit pun Berlarut