- Konsumen yang memperhatikan produk berkelanjutan meningkat seiring makin meningkatnya ancaman kerusakan lingkungan di bumi.
- Produsen yang fokus pada ekonomi ramah lingkungan juga makin banyak, ada yang terhimpun dalam sebuah hub produk komunitas, ada yang berdiri sendiri.
- Sejumlah pasar hub atau kolaborasi berdagang dengan misi menjaga lingkungan ini hadir dalam pameran peringan World Fair Trade Day di Bali.
- Pasar kolektif ini berdagang online dan juga offline, produknya lengkap mulai dari bahan pangan, olahannya seperti makanan dan minuman, kerajinan, sampai perlengkapan rumah tangga. Tantangannya adalah disrupsi dan adaptasi teknologi karena konsumen masa depan sangat aktif di sosial media.
Sejumlah pasar diciptakan untuk menampung produk-produk dengan prinsip berkelanjutan. Pasar ini tak hanya berwujud online, juga offline pada saat-saat tertentu. Salah satunya di peringatan World Fair Trade (WFT) Day oleh Forum Fair Trade Indonesia yang dihelat di Taman Baca Denpasar, beberapa waktu yang lalu.
Sejumlah pasar yang hadir di WFT day itu adalah Gemah Ripah, Jendranath, dan Parara. Gemah Ripah membawa misi menyediakan pangan sehat dari petani dan pengerajin lokal. Ada lebih dari 100 produk dengan berbagai kategori seperti buku, fashion, perawatan diri, makanan, jamu, makanan sehat, dan lainnya. Misalnya emping garut, beras merah, hitam, putih, bihun singkong, teh, kopi, rosela, dan lainnya dari berbagai merek.
Sementara Jendranath adalah hub produk-produk komunitas terutama masyarakat adat di nusantara. Sejumlah produk yang dipamerkan adalah berbagai tas dari bahan eceng gondok, pandan, kulit kayu, sampai limbah plastik karung goni menjadi tas noken yang menarik dari Papua. Salah satu pengelolanya Dibiarma mengatakan produk-produk ini adalah hasil pemberdayaan masyarakat adat dari berbagai lembaga, termasuk dari daerah konflik sumber daya alam.
Berikutnya Panen Raya Nusantara (Parara) adalah jaringan produk ethical dari berbagai lembaga yang juga membuat cafe di Jakarta dengan konsep fair trade, karena itulah Parara Store and Cafe sudah diaudit organisasi fair trade karena menjalankan prinsip perdagangan berkeadilan. Sejumlah produknya adalah bahan olahan dari sagu dan ketela seperti keripik dan cookies, teh, kerajinan, sampai bahan pangan. Salah satu yang menarik adalah permen cajuputi, seperti menyesap minyak kayu putih tapi menyegarkan tenggorokan.
Selain hub atau komunitas pedagang, ada juga produk yang berdiri sendiri dalam WFT day ini. Misalnya Mitra Bali, eksportir kerajinan dari Bali yang kerap membuat diskusi-diskusi tentang perdagangan berkeadilan.
Mitra Bali memproduksi berbagai produk misalnya piring, mangkok, mug, sendok dari berbagai materi, serta suvenir yang didesain sendiri bersama pengerajinnya. Komang Adi, salah satu timnya mengatakan prinsip fair trade menjadi modal utama usaha ini sehingga pelanggannya sudah terbentuk dan teredukasi mengenai bisnis yang berkelanjutan.
Baca : Kiat Anak Muda Membangun Usaha Lestari

Prinsip Fair Trade
World Fair Trade Organization (WFTO) merumuskan 10 prinsip yang harus diikuti oleh organisasi dalam mempraktekkan fair trade sehari-hari dan memastikan bahwa pesan-pesan dalam prinsip ini diterapkan.
Prinsip pertama, menciptakan peluang bagi produsen kecil. Mengurangi kemiskinan melalui perdagangan merupakan tujuan utama organisasi yang tergabung dalam WFTO. Para organisasi ini mendukung produsen kecil yang terpinggirkan, baik mereka yang berupa bisnis keluarga yang independen, atau kelompok dalam asosiasi atau koperasi.
Prinsip kedua, transparansi dan akuntabilitas. Menjadi memungkinkan kepada seluruh pemangku kepentingan untuk melakukan penghitungan secara transparan dan menghormati sensitivitas dan kerahasiaan informasi yang tersedia. WFTO menemukan cara yang tepat yang bersifat partisipatori dimana melibatkan karyawan, anggota, dan produsen dalam proses pengambilan keputusan.
Prinsip ketiga, melakukan praktek perdagangan. Organisasi fair trade melakukan praktek perdagangan yang fokus pada sosial, ekonomi, dan lingkungan untuk kesejahteraan produsen kecil yang terpinggirkan dan tidak semata-mata mengejar keuntungan. Pembayaran uang muka sampai dengan 50% memungkinkan sesuai permintaan.
Prinsip keempat, pembayaran yang layak/adil dalam pembayaran. Pembayaran yang layak merupakan satu hal yang harus disepakati bersama melalui dialog dan partisipasi aktif, karena ini akan berhubungan dengan pembayaran yang layak kepada produsen dan juga untuk keperluan pasar jangka panjang. Penghitungan pembayaran pada persamaan hak antara pekerja laki-laki dan perempuan.
Prinsip kelima, memastikan tidak ada tenaga kerja anak dan tenaga kerja paksa. Wfto memastikan bahwa tidak ada tenaga kerja paksa dalam lingkungan kerja mereka.
Prinsip keenam, komitmen untuk tidak mendiskriminasi, mengutamakan kesetaraan gender, dan kebebasan berasosiasi. Organisasi fair trade tidak boleh membedakan perlakuan dalam perekrutan, pemberian imbalan, akses untuk pelatihan, promosi, jangka waktu pensiun berdasarkan pada ras, kasta, asal negara, agama, kekurangan fisik, gender, orientasi seksual, keanggotaan dalam organisasi, keterlibatan dalam politik, status HIV, atau umur.
Prinsip terakhir, menghormati keberlanjutan lingkungan. Organisasi yang memproduksi produk fair trade memaksimalkan penggunaan bahan baku dari sumber yang berkelanjutan dan dikelola secara berkelanjutan, sebisa mungkin produk lokal.
Baca juga : Merintis Kemandirian Koperasi Nelayan Fair Trade

Intervensi Digital
Made Ras Amanda, dosen Fisip Universitas Udayana yang merespon perilaku belanja generasi kini mengatakan intervensi digital sangat diperlukan oleh pasar-pasar yang mengusung prinsip fair trade ini.
Ia mencontohkan, saat ini tak mudah bagi usaha baru bisa memimpin karena modal masih sangat penting. Misalnya di Indonesia, perusahaan rokok yang bertahan dan berkuasa menjadi orang terkaya. “Dalam revolusi digital disangka semua gratis dalam penggunaan media sosial dan platform. Wirausaha muda lebih instan dalam berbisnis mengandalkan viral,” urainya. Tapi ada ketidakadilan walau pengguna internet meningkat.
Generasi Z menurutnya sangat intens di media sosial, jadi pedagang harus memahami anak-anak ini. “Ketika membuat usaha, mereka belajar di TikTok dan mempercayai kontennya,” ujarnya. Namun, kini ada tantangan sumber daya di industri digital. Misalnya ada penurunan pekerja startup atau bisnis rintisan berbasis digital.
Selain itu jumlah hutang netizen sebanyak Rp6 triliun di Paylater, platform yang membayari pembelian di muka. Tidak lebih 10% memiliki tabungan minimal Rp100 juta. Dugaannya generasi kini konsumtif, dengan konsumsi jangka pendek.
Amanda menjelaskan, menurut data, generasi sosial media aktif sekitar 62%, namun yang membuat tidak termotivasi belanja online, misalnya jika website kebanyakan iklan (ads), iklan terlalu mengganggu, dan lainnya.
Perusahaan riset global Euromonitor International menyatakan mulai ada peningkatan ekonomi ramah lingkungan. Perilaku konsumsi lebih sedikit tentang perolehan dan lebih banyak tentang pengurangan, yang berdampak positif terhadap planet ini. Sekitar 43% konsumen mengurangi konsumsi energi mereka tahun lalu. Lebih dari 60% konsumen kini berbelanja dengan tujuan untuk menciptakan dampak lingkungan yang positif.
KoltiTrace Shop, pasar e-commerce dalam siaran persnya juga menargetkan berbelanja secara berkelanjutan dan mengonsumsi dengan sadar dan bertanggung jawab. Dalam lamannya, ada aplikasi penelusuran produk, misalnya profil petani garam Amed, Bali dan bagaimana proses produksinya. Setiap produk diklaim bebas dari kerusakan lingkungan dan eksploitasi sosial, serta tidak berkaitan dengan deforestasi atau melibatkan kerja paksa dan pekerja anak selama produksinya. (***)