- Perjuangan masyarakat adat melalui jalur hukum menggugat DPR dan presiden yang berlarut-larut dalam penyelesaian Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat, belum usai. Meskipun gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan delapan anggota komunitas masyarakat adat gagal di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, mereka ajukan banding ke pengadilan tinggi.
- UU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hutan Adat (UU Masyarakat Adat) belum juga ada pengesahan meskipun sudah bolak balik masuk bahasan DPR dan pemerintah selama hampir 20 tahun ini. Masyarakat adat, terus mengalami kerugian nyata mulai dari penggusuran atau perampasan wilayah adat, kriminalisasi sampai hilangnya identitas mereka.
- AMAN dan perwakilan komunitas adat masukkan gugatan pada Maret lalu, setelah berperkara lebih dua bulan, majelis hakim menilai gugatan tak bisa diterima (niet ontvankelijke verklaard/ NO) pada 16 Mei lalu.
- Syamsul Alam, Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengatakan,sikap abai atau diam DPR dan presiden terhadap AMAN dan anggota komunitas adat untuk membentuk UU Masyarakat Adat adalah tindakan malaadministrasi pemerintahan.
Perjuangan masyarakat adat melalui jalur hukum menggugat DPR dan presiden yang berlarut-larut dalam penyelesaian Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat, belum usai. Meskipun gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan delapan anggota komunitas masyarakat adat gagal di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, mereka ajukan banding ke pengadilan tinggi.
AMAN dan perwakilan komunitas adat masukkan gugatan pada Maret lalu, setelah berperkara lebih dua bulan, majelis hakim menilai gugatan tak bisa diterima (niet ontvankelijke verklaard/ NO) pada 16 Mei lalu.
Fatiatulo Lazira, Kuasa Hukum AMAN, mengaku bingung atas putusan PTUN Jakarta dan ada beberapa poin catatan.
Pertama, majelis hakim memeriksa, menyidangkan dan memutus perkara dinilai keliru menyimpulkan obyek sengketa. Hakim ketua Novy Dewi Cahyati dan hakim anggota Ridwan Akhir serta Fajri Citra Resmana dinilai salah dan keliru menyatakan obyek gugatan pada produk hukum.
Padahal, obyek gugatan dalam perkara ini adalah sikap abai atau diamnya DPR dan presiden atas permohonan AMAN dan delapan anggota komunitas masyarakat adat. Dalam pertimbangannya, majelis hakim PTUN Jakarta menyatakan obyek gugatan adalah pengaturan yang bersifat umum (regelling) hingga dikecualikan dari obyek sengketa tata usaha negara.
“Padahal, sangat terang dan jelas kalau obyek gugatan ini adalah sikap abai dan diamnya DPR dan presiden,” kata Fati.
Kedua, seharusnya majelis hakim dalam pertimbangan memuat komprehensif semua hal yang mendasari putusan. Kuasa hukum masyarakat adat tak melihat uraian lengkap yang jadi pertimbangan putusan.
Ketiga, PTUN Jakarta yang menyatakan pengadilan tidak berwenang mengadili gugatan. “Hal ini, menimbulkan pertanyaan lanjutan, ke mana mereka harus mencari keadilan? Saya bingung, kami harus cari keadilan kepada siapa lagi dan mau ke mana?”
UU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hutan Adat (UU Masyarakat Adat) belum juga ada pengesahan meskipun sudah bolak balik masuk bahasan DPR dan pemerintah selama hampir 20 tahun ini. Masyarakat adat, katanya, terus mengalami kerugian nyata mulai dari penggusuran atau perampasan wilayah adat, kriminalisasi sampai hilangnya identitas mereka.
UU ini, katanya, merupakan kebutuhan mendesak di tengah maraknya pembangunan yang berdampak pada perampasan wilayah adat, penggusuran, kriminalisasi dan ancaman penghilangan identitas budaya masyarakat adat.

Banyak contoh, seperti kriminalisasi Sorbatua Siallagan, Ketua Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Simalungun, Sumatera Utara.
Sorbatua terjerat hukum karena berkonflik dengan perusahaan kayu, PT Toba Pulp Lestari. Wilayah adat mereka tumpang tindh dengan izin yang pemerintah berikan kepada perusahaan. Saat ini Sorbatua diadili di Pengadilan Negeri Simalungun.
Msyarakat adat pun tak lelah. Walau di PTUN patah, memori banding kuasa hukum layangkan pada 3 Juni 2024. Selanjutnya, mereka tinggal menunggu hasil putusan PTTUN.
Fati berharap ada dukungan semangat lagi dari berbagai kalangan. Saat di PTUN, 46 guru besar dan akademisi yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia dan kelompok masyarakat sipil seperti Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) jadi sahabat pengadilan (amicus curiae).
“Harapan kami, pengadilan bisa progresif. Minimal putusan bisa mendidik bagaimana penyelenggara negara bertindak,” kata Fati.
PTUN, katanya, merupakan lembaga peradilan yang berfungsi mengontrol pejabat dan pemerintahan dalam menjalankan fungsi mereka. Karena itu, ada harapan tinggi agar majelis hakim PTTUN tidak mengulang kekeliruan PTUN.
Syamsul Alam, Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dalam keterangan tertulis mengatakan, sikap diam atau abai pejabat pemerintahan dalam melaksanakan kewenangan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pelindungan, bisa masuk tindakan melakukan perbuatan konkret.
Jadi, katanya, sikap abai atau diam DPR dan presiden terhadap AMAN dan anggota komunitas adat untuk membentuk UU Masyarakat Adat adalah tindakan malaadministrasi pemerintahan.
Sebagai kekuasaan merdeka, PTUN penting untuk menegakkan hukum dan keadilan substantif, khusus bagi masyarakat adat.”

Upaya ke Mahkamah Konstitusi?
Selain berjuang di PTUN, PPMAN juga tengah mempertimbangkan langkah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Obyek gugatan ialah putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 ihwal mandat pembentukan UU Masyarakat Adat.
Dalam putusan itu, MK mengharuskan pembentukan UU Masyarakat Adat tetapi putusan itu tidak mencantumkan batas waktu pelaksanaan.
Kondisi ini, katanya, jadi celah pemerintah tidak kunjung menelurkan UU yang penting bagi pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
”Kami melihat tidak ada batas waktu ini yang dijadikan celah pemerintah terus mengulur waktu,” kata Alam.
Sebelumnya, ahli yang hadir dalam persidangan gugatan di PTUN pun menyuarakan hal sama. Ismail Hasani, ahli hukum perundangan menyebut, seharusnya putusan MK ditindaklanjuti dalam bentuk UU, bukan perda dan regulasi di tingkat kementerian seperti yang dikeluarkan pemerintah.
Menurut Fati, upaya ini mungkin mereka lakukan, mengingat MK seringkali memberikan batas waktu untuk perbaikan Undang-undang.
*****
RUU Masyarakat Adat Tak Ada Kejelasan, AMAN Gugat Presiden dan DPR