Produk Elektronik Berstandar Hemat Energi Minim Sosialisasi

produk-elektronik-berstandar-hemat-energi-minim-sosialisasi
Produk Elektronik Berstandar Hemat Energi Minim Sosialisasi
service
Share

Share This Post

or copy the link
  • Pemerintah punya aturan soal standar hemat energi untuk produk elektronik. Produk-produk elektronik yang sudah lolos penilaian mendapatkan label hemat energi (label tanda hemat energi/LTHE)   yang tertera pada kemasan. Sayangnya, masyarakat belum banyak tahu hingga dalam pembelian, produk LTHE belum jadi rujukan.
  • Seperti di Sumatera Barat ini, masyarakat termasuk para pelaku usaha kecil belum tahu soal standar produk elektronik hemat energi,  padahal dalam membeli produk sebagian besar mempertimbangkan soal biaya listrik. Sosialisasi pemerintah minim. 
  • Nanik Rahmawati,  Program Manager CLASP Asia Tenggara, —organisasi dengan misi meningkatkan kinerja energi dan lingkungan dari peralatan dan perlengkapan listrik—, mengatakan,  penggunaan alat elektronik hemat energi termasuk dalam konservasi energi.
  • Beberapa negara di Asia juga sudah melakukan efisiensi alat-alat elektroniknya. Kalau Indonesia tidak segera melakukan ini, akan besar kemungkinan ada impor barang elektronik yang tidak berkualitas dan tidak lagi dipakai.  Indonesia pun, hanya akan menerima sampah elektronik.

Pemerintah punya aturan soal standar hemat energi untuk produk elektronik. Produk-produk elektronik yang sudah lolos penilaian mendapatkan label hemat energi (label tanda hemat energi/LTHE)   yang tertera pada kemasan. Sayangnya, masyarakat belum banyak tahu hingga dalam pembelian, produk LTHE belum jadi rujukan.

Seperti di Sumatera Barat, masyarakat termasuk para pelaku usaha kecil belum tahu soal standar produk elektronik hemat energi,  padahal dalam membeli produk sebagian besar mempertimbangkan soal biaya listrik. Sosialisasi pemerintah minim.

Lisabet, sudah 10 tahun bergelut dengan usaha katering. Dalam menjalankan usaha, perempuan 49 tahun ini menggunakan magicom, blender dan freezer serta kompor gas. Sesekali dia pakai memasak dengan bahan bakar kayu untuk menjaga rasa masakan pada pelanggan tertentu.

“Terkadang pakai blender yang kapasitasnya 350 watt, untuk bumbu,” katanya.

Dalam memilih alat elektronik, Lisa mempertimbangkan banyak faktor selain ketahanan termasuk penggunaan listrik. Karena biaya listrik, katanya,  mempengaruhi dalam menentukan harga satu kotak nasi.

Saat usaha sedang ramai, Lisa bisa membayar uang listrik sekitar Rp329.000-Rp350.000. Ketika tak dagang sebulan, ibu tiga anak ini hanya membayar listrik Rp150.000-Rp170.000, sekitar 60% biaya usaha. “Itu juga karena ada abodemen (iuran wajib),” katanya.

Nurhayati, atau yang kerap disapa Aci, pemilik Kafe Asira di Kota Padang juga mengatakan,  ada beberapa pertimbangan dalam memilih alat elektronik. “Seperti kualitas produk, brand, ukuran, jangka waktu penggunaan hingga konsumsi energi,” katanya.

Asira pakai tiga AC. Dua AC kapasitas 2 PK, satu kapasitas 1,5 PK. Sejak berdiri 1,5 tahun lalu Asira belum mengganti pendingin ruangan. Selain itu penggunaan mulai jam operasi pukul 9.00 WIB dan mati pukul 23.00 WIB.

“Biasanya ketika kurang dari satu jam sebelum jam closing tidak ada customer di ruangan indoor, salah satu AC dimatikan,” katanya.

Pengeluaran biaya listrik rata-rata sebulan sekitar Rp2 juta.

“Penggunaan AC di sekitar 30%.”

Sebagai pebisnis, kata  Aci,  sangat penting mempertimbangkan penggunaan alat elektronik, karena selalu masuk dalam pengeluaran operasional dan cukup besar. “Jadi, harus diperhitungkan sebaik mungkin.”

Lisabet dan embari pendingin di tempat usahanya. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

Terkait alat hemat energi, katanya, belum mengetahui. Dia hanya mencari tahu melalui internet atau diskusi dengan rekan yang juga punya usaha.

Novia Fani, ibu rumah tangga di Kota Padang, mengatakan, lebih memilih alat elektronik bekas. “Aku selalu beli AC atau kulkas bekas agar lebih murah,” katanya.

Penghematan alat itu,  katanya bisa melalui perawatan yang baik. “Sampai sekarang AC masih bagus. Kami hanya pakai malam saat tidur. Kami matikan dan memanfaatkan jendela rumah,” katanya.

Berbeda dari rumah lain di kompleknya, dia hanya memiliki satu AC. “Rumah-rumah lain ada yang dua sampai empat AC.”

PLN, katanya,  seakan mengharuskan menaikkan daya listrik rumahnya. “Dulu disuruh 900 ternyata tidak kuat untuk AC. Jadi kami naik 1.200.”

Fakhri, pemilik House of Musi, kafe di bilangan GOR Agus Salim Kota Padang, mengatakan, memilih AC berdasarkan ketahanan. “Tapi ini saran dari pemasang AC-nya.”

Dalam memilih alat elektronik, masih berdasarkan merek dan daya tahan mesin. Belum sampai pada daya dan biaya.

Penggunaan AC masuk alokasi biaya listrik bisa sampai 60%. “Total bisa Rp4,5 juta-Rp5,5 juta sebulan untuk listrik,” katanya.

Dia tertolong dengan menggunakan gas untuk mesin kopi. Ketika hari tidak terlalu panas, mereka hanya menghidupkan dua AC di ruang untuk pelanggan. Kalau panas, mereka akan menghidupkan empat AC sejak siang hingga malam.

Sumber: Clasp

Banyak belum tahu LTHE

Pemerintah lewat KESDM sudah keluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 14/2021 tentang Penerapan Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) untuk peralatan pemanfaat energi.  Dalam aturan ini, ada pemberian label LTHE ke produk-produk elektronik yang dinilai hemat energi.

Kebijakan ini sejalan dengan KESDM menargetkan penurunan emisi sebesar 358 juta ton C02 sampai 2030. Dari jumlah itu sekitar 132,25 juta ton CO2 dari efisiensi.

Rinciannya,  dari manajemen energi 36,14 juta ton, peningkatan efisiensi peralatan rumah tangga 83,84 juta ton CO2, dan penerangan jalan umum (PJU) hemat energi 1,76 juta ton. Kemudian, kendaraan listrik 7,23 ton, peningkatan efisiensi energi untuk memasak 3,23 ton dan JCM Indonesia 0,032 juta ton.

Mahagesta Pratama, Board of Director Kafe Paliosipiti, mengatakan,  ada perbedaan setelah mengganti AC yang memiliki label LTHE.

“Yang sebelumnya, misal, bisa keluar biaya Rp1juta untuk empat hari. Setelah mengganti AC yang menggunakan label itu lebih hemat, Rp1 juta bisa satu minggu.”

Kafenya pakai AC yang hidup 20 jam sehari. “Hanya mati sekitar 3-4 jam.”

Namun, masyarakat  masih belum banyak yang tahu aturan ini, termasuk UMKM. Lisa, misal,  belum mengetahui kebijakan KESDM tentang standar kinerja energi minimum (SKEM) dan label tanda hemat energi (LTHE) yang memiliki tanda tingkatan kehematan dari bintang 1-5.

Bila memang pemerintah mensosialisasikan ke kalangan UMKM, kata Lisa,  tentu sangat menguntungkan karena ada penghematan dalam proses produksi.

Senada dengan Lisa, Gesta juga belum mengetahui soal ada label LTHE di AC. Kalau ada AC hemat energi, katanya, bisa mendorong pegiat UMKM mempersiapkan fasilitas lebih baik. “Tanpa perlu memikirkan daya listrik yang amat sangat besar,” katanya.

Sumber: Clasp

Para penjual produk elektronik katakan hal serupa. Wendo,  penjual alat elektronik di toko H2 Elektronik Kota Padang mengatakan, rata-rata pembeli, masih awam dengan stiker ini. Dia menjelaskan ke konsumen. Antara produk berstiker dan tidak juga tidak ada perbedaan harga signifikan.

“Aturan-aturan khusus untuk stiker ini belum ada disosialisasikan ke toko. Untuk brand mungkin ada.”

Dia bilang,  produk dengan label LTHE dan SKEM ini memudahkan kerjanya.

“Karena bisa meyakinkan konsumen dengan tempelan stiker ini. Dengan stiker ini lebih mudah menjelaskan keterangan produk, seperti watt-nya dan lain sebagainya,” katanya.

Ade,  bekerja di toko elektronik Sumber Musik mengatakan,  produk berstiker memiliki keterangan lebih jelas.

Sayangnya, konsumen,  belum banyak sadar soal ini. “Paling untuk informasi keterangan produk saja.”

Fawzie Taib, General Manager PT Daikin Airconditioning Indonesia, mengatakan,  makin tinggi bintang dari AC atau tinggi tingkat kehematannya, tidak mungkin harga makin murah.

“Karena ada fitur-fitur yang menjadi faktor penting. Karena setiap fitur seperti filter atau IoT, pasti ada harga dan itu berpengaruh pada harga (jual),” katanya.

Ratri Anggraeni Nurwini, Sub-koordinator Direktorat Konservasi Energi Ditjen EBTKE, KESDM mengatakan,  peralatan yang belum ada SKEM dan LTHE masih mungkin beredar. KESDM, katanya,  tidak punya kewenangan menarik alat-alat itu.

Untuk alat elektronik sebelum tahun peraturan menteri keluar masih boleh beredar. “Kita nggak bisa mengatur produk yang lalu. Kita bisa lihat kode produksinya,” katanya.

Terkait sosialisasi dan koordinasi dengan Kementerian UMKM untuk menggunakan alat elektronik hemat energi juga belum ada. “Kita belum ada kalau itu.”

Sumber: Clasp

Kurangi emisi karbon

Nanik Rahmawati,  Program Manager CLASP Asia Tenggara, —organisasi dengan misi meningkatkan kinerja energi dan lingkungan dari peralatan dan perlengkapan listrik—, mengatakan,  penggunaan alat elektronik hemat energi termasuk dalam konservasi energi.

“Penggunaan alat hemat energi bisa mengurangi hampir 40% emisi karbon, berdasarkan riset CLASP,” katanya saat dijumpai di Bogor.

Nanik mengatakan,  beberapa negara di Asia juga sudah melakukan efisiensi alat-alat elektroniknya. Kalau Indonesia tidak segera melakukan ini, akan besar kemungkinan ada impor barang elektronik yang tidak berkualitas dan tidak lagi dipakai.

Indonesia pun, katanya, hanya akan menerima sampah elektronik.

Fadel Muhammad, Senior Associate CLASP Asia Tenggara, mengatakan,  pada 2022, emisi karbon dari penggunaan AC dengan bintang 1-5 adalah 2,25 mega ton CO2e.

“Apabila konsumen transisi ke bintang yang lebih tinggi seperti tiga sampai lima, akan ada reduksi 63%.”

Dengan menggunakan pendingin ruangan minimal bintang empat, katanya, konsumen sudah dapat berkontribusi menurunkan emisi 3,3 ton CO2 sampai 2030.

Sri Wahyuni, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen indonesia (YLKI) mengatakan,  konsumen punya tiga kewajiban. Pertama,  sebagai penentu, karena konsumen punya hak menentukan produk yang dipilihnya.

“Mahal atau murah, bagus atau tidak.”

Kedua, sebagai informan, memberi informasi bahwa produk ini bagus atau jelek. Juga memberitahukan ke konsumen lain.”

Ketiga, konsumen sebagai pengevaluasi. “Kita harus evaluasi ke pelaku usaha. Kita punya peran, itu juga merupakan tanggung jawab.”

YLKI belum survei tentang gender terkait produk elektronik. Namun, katanya,  survei YLKI yang enentukan membeli AC laki-laki.

“Karena laki-laki dianggap lebih memahami produk elektronik. Khusus di Padang karena perempuan matrilinel atau yang menentukan ibu sebagai penentu belanja,” katanya.

Selain itu, sosialisasi sangat penting karena mereka belum paham label pada produk elektronik.

“Sebaiknya KESDM bisa bekerjasama dengan kelompok-kelompok masyarakat untuk membantu sosialisasi jika tidak memiliki sumber daya manusia yang cukup.”

Toko elektronik. Pembeli masih belum banyak tahu soal produk elektronik berstandar hemat energi. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

*******

Aben-Gas, Konverter Kit Hemat Energi ala Amin Suwarno

0
mutlu
Happy
0
_zg_n
Sad
0
sinirli
Annoyed
0
_a_rm_
Surprised
0
vir_sl_
Infected
Produk Elektronik Berstandar Hemat Energi Minim Sosialisasi

Tamamen Ücretsiz Olarak Bültenimize Abone Olabilirsin

Yeni haberlerden haberdar olmak için fırsatı kaçırma ve ücretsiz e-posta aboneliğini hemen başlat.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Login

To enjoy Foxiz.my.id privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Bizi Takip Edin