Bagaimana IRMA dapat berkontribusi di sektor pertambangan Indonesia?
Kini, Indonesia berada di jantung perekonomian global yang sedang mendorong elektrifikasi. Ketika permintaan terhadap mineral penting seperti nikel dan kobalt, untuk baterai kendaraan listrik dan teknologi transisi energi lain meningkat pesat, Indonesia memiliki potensi sangat besar.
Namun, kekayaan sumber daya ini juga tidak bisa lepas dari keharusan tanggung jawab semua pihak guna memastikan praktik pertambangan bertanggung jawab, dan memperhatikan dampak lingkungan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang terkena dampak, khusus masyarakat adat.
Pertambangan mempunyai dampak jangka panjang berupa degradasi lingkungan, krisis sosial, dan kesenjangan ekonomi. Sepanjang sejarahnya hingga kini, praktik penambangan sering kali hanya memprioritaskan keuntungan jangka pendek bagi investor dibanding keberlanjutan jangka panjang bagi seluruh pemangku kepentingan yang terkena dampak . Hingga ia menjadi penyebab polusi udara, air, dan tanah yang meluas, dan penggusuran masyarakat serta eksploitasi buruh.
Banyak contoh dampak kumulatif dampak praktik penambangan tak bertanggung jawab seperti penggundulan hutan, hilangnya keanekaragaman hayati, bahaya kesehatan bagi pekerja dan masyarakat sekitar.
Selain itu, pertambangan seringkali memperburuk konflik lahan dan sumber daya hingga berkontribusi terhadap masalah sosial dan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah terdampak. Hasilnya, rusaknya kepercayaan antara perusahaan pertambangan dan kelompok pemangku kepentingan lain, terutama masyarakat terdampak.
Untuk mengatasi dampak-dampak ini dan membangun kepercayaan antar pihak, perlu perubahan mendasar . Dari praktik bisnis seperti biasa (bussiness as usual) menuju praktik penambangan bertanggung jawab (responsible mining).
Pergeseran ini memerlukan pendekatan holistik yang mengintegrasikan perlindungan lingkungan, keadilan sosial, dan kelayakan ekonomi dalam praktik pertambangan. Perusahaan harus dapat meminimalkan dampak lingkungan, dan terus melibatkan masyarakat lokal dalam dialog dan kolaborasi bermakna (meaningful dialogue and collaboration).
Pemerintah juga harus dapat memainkan peran penting dalam menerapkan dan menegakkan peraturan yang memastikan akuntabilitas perusahaan pertambangan dan memastikan distribusi manfaat yang adil dari kegiatan pertambangan.
Dengan menerapkan praktik pertambangan yang bertanggung jawab, diharapkan dapat memitigasi dampak negatif pertambangan dan menciptakan masa depan lebih berkelanjutan bagi generasi sekarang dan masa depan.

Standar sukarela internasional di sektor pertambangan, khusus Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA) bertujuan memainkan peran penting dalam mencapai perubahan mendasar. Dengan menciptakan nilai pasar untuk praktik pertambangan yang lebih bertanggung jawab, dan memberikan standar untuk model yang dapat jadi pembelajaran oleh pemerintah.
Namun, IRMA juga menyadari, para pemimpin dan perwakilan komunitas terdampak, kelompok buruh, serta LSM yang melakukan kerja-kerja advokasi terhadap dampak negatif pertambangan, tentu memiliki pertanyaan dan keraguan – yang sifatnya wajar – mengenai skema standar sukarela (voluntary standard scheme/VSS). Hal ini tidak lepas dari pengalaman bagaimana inisiatif sukarela dinilai gagal menghasilkan perubahan yang dibutuhkan. Justru mengabaikan dampak negatif dari industri yang diaturnya.
Mengapa masyarakat sipil dan masyarakat terdampak dapat mempercayai IRMA?
Dalam aspek pelibatan dan keterlibatan para pemangku kepentingan, proses pengembangan standar IRMA melibatkan partisipasi pemangku kepentingan secara luas, termasuk masyarakat terdampak, serikat buruh, keloa mpok masyarakat sipil, perusahaan pertambangan, dan investor. Hingga, memastikan pendekatan komprehensif terhadap apa yang disebut sebagai pertambangan yang bertanggung jawab.
IRMA juga memastikan transparansi melalui penilaian (audit) tambang oleh pihak ketiga yang independen, yang belum dilakukan sektor pertambangan sebelumnya. Disertai juga penjelasan kepada publik tentang bagaimana proses auditor menilai tambang berdasarkan lebih dari 400 persyaratan dalam standar IRMA.
Itulah mengapa standar IRMA dinilai sebagai salah satu yang terkuat (robust) di dunia, karena mencakup berbagai kriteria lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, sosial, and governance/ESG), untuk memberikan jaminan komprehensif terhadap praktik pertambangan yang bertanggung jawab.
Standar IRMA memberi prioritas utama terhadap persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (free,prior and informed consent/FPIC). Untuk memastikan keterlibatan yang berkelanjutan dengan masyarakat adat maupun komunitas lokal terdampak sepanjang siklus proyek . Juga, memastikan bahwa hak, kekhawatiran, dan kepentingan mereka dihormati dan masuk dalam proses pengambilan keputusan.

Pendekatan dalam standar IRMA lebih dari sekadar konsultasi. Ia mengharuskan persetujuan eksplisit dari masyarakat adat sebelum aktivitas penambangan mulai di wilayah mereka. Komitmen ini sangat relevan di Indonesia, terdapat keluhan historis mengenai hak atas tanah, pelanggaran hak masyarakat adat, dan eksploitasi sumber daya alam.
Standar IRMA juga mempertimbangkan masalah deforestasi dengan mewajibkan penilaian menyeluruh terhadap potensi dampak pertambangan terhadap hutan dan keanekaragaman hayati. Bagaimana perlu upaya mitigasi dan langkah untuk meminimalisasi deforestasi, termasuk upaya reboisasi dan strategi konservasi.
Standar IRMA juga menekankan pentingnya melestarikan kawasan hutan dengan nilai konservasi tinggi (high conservation value/HCV) dan menghormati hak-hak masyarakat adat dan lokal yang bergantung pada sumber daya hutan.
Tidak seperti banyak standar sukarela lain, IRMA tidak memberikan sertifikasi bagi tambang dengan penilaian “baik” atau “buruk”. Sebaliknya, melalui proses penjaminan (audit) independen untuk memberikan informasi kepada pemangku kepentingan tentang kinerja tambang dengan menggunakan standar IRMA sebagai pembanding.
Pendekatan ini memungkinkan fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi lebih besar terhadap beragam konteks pertambangan, karena penilaian dapat disesuaikan dengan proyek dan lokasi tertentu.
IRMA juga fokus mengukur kinerja, bukan pemberian label (sertifikasi) hingga memungkinkan tambang dari semua tingkat kinerja untuk berpartisipasi dan menunjukkan komitmen mereka terhadap perbaikan . Juga dialog berkelanjutan melalui keterbukaan (transparansi) operasional kepada seluruh pemangku kepentingan.
Penekanan pada transparansi ini sejalan dengan upaya Indonesia meningkatkan tata kelola pertambangan, termasuk revisi UU Minerba tahun 2020.
Standar dan proses penjaminan IRMA diatur dewan (board) terdiri dari 12 orang. Setiap dua orang mewakili enam sektor berbeda, dari masyarakat terdampak dan pemegang hak masyarakat adat, perusahaan pertambangan, serikat buruh, investor, kelompok masyarakat sipil (LSM), dan kelompok pembeli.
Sistem ini menjamin agar tidak ada sektor yang termarginalkan. Kalau dua orang wakil dari sektor yang sama bersepakat menolak suatu hal yang didukung seluruh anggota dewan dari sektor-sektor lain, keputusan itu otomatis gugur.
Sejauh ini, dalam pengetahuan kami, model seperti ini adalah satu-satunya di sektor pertambangan, di mana masyarakat terdampak mempunyai kekuasaan setara dengan perusahaan pertambangan, dan sektor publik memiliki kekuasaan setara dengan sektor swasta.

Memahami dan berpartisipasi dalam IRMA memberikan manfaat signifikan bagi pemangku kepentingan di Indonesia. Perusahaan pertambangan dapat memanfaatkan IRMA untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap praktik yang bertanggung jawab, menarik investor bertanggung jawab, dan meningkatkan reputasi mereka di pasar mineral kritis.
Bagi organisasi masyarakat sipil dan komunitas yang terdampak pertambangan, IRMA menyediakan alat advokasi ampuh untuk mendorong praktik pertambangan menjadi bertanggung jawab dan menjaga akuntabilitas perusahaan.
IRMA juga menyadari berbagai laporan terbaru dari kelompok masyarakat sipil yang menyoroti risiko hak asasi manusia terkait pertambangan di Indonesia, seperti perampasan lahan, penggundulan hutan, dan kompensasi yang tidak memadai bagi masyarakat terdampak.
Jadi, harapannya, dengan ada pemahaman tentang persyaratan di dalam standar IRMA, masyarakat dapat lebih terlibat dengan operator pertambangan dan memastikan hak-hak mereka dihormati.
Dengan mengakses mekanisme pengaduan yang tersedia, kelompok masyarakat sipil dan para pemegang hak yang terdampak dapat memantau dan memastikan bahwa IRMA, sebagai standar yang tidak memihak, akan menangani pengajuan pengaduan secara transparan dan akuntabel.
Saat bersamaan, Pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan IRMA sebagai tolok ukur untuk mengembangkan peraturan nasional yang kuat bagi pertambangan mineral kritis.
Dengan menyelaraskan peraturan dalam negeri dengan standar yang diakui secara internasional seperti IRMA, Indonesia dapat memastikan sektor mineral penting dapat berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan. Juga, memastikan tercapainya kesejahteraan bersama, dan langkah-langkah mitigasi terhadap pelanggaran hak asasi manusia.
Peran penting Indonesia sebagai pemain kunci dalam rantai pasok mineral kritis secara global menuntut praktik pertambangan bertanggung jawab dan beretika. Jadi, IRMA dapat berperan sebagai sekutu strategis bagi seluruh pemangku kepentingan terkait di Indonesia.
Dengan menerapkan IRMA dan prinsip-prinsipnya, Indonesia dapat memanfaatkan potensi sumber daya mineral kritis sekaligus menunjukkan langkah nyata perlindungan lingkungan dan penghormatan hak-hak masyarakat terdampak.
Pendekatan seperti ini sejalan dengan meningkatnya seruan internasional untuk pengadaan mineral kritis secara bertanggung jawab (responsible sourcing). IRMA baru-baru ini masuk sebagai bagian dari Panel PBB tentang Mineral Kritis menekankan pentingnya standar beragam pemangku kepentingan untuk memastikan praktik pengadaan yang bertanggung jawab.
IRMA hadir untuk mewujudkan prinsip ini, menyediakan platform bagi beragam suara untuk membentuk masa depan pertambangan yang bertanggung jawab, termasuk di Indonesia.
*Penulis Aimee Boulanger adalah Direktur Eksekutif IRMA
******
Hilirisasi Nikel di Halmahera Bisa Perparah Krisis Iklim dan Susahkan Warga