- Petani sawit dan produk lain seperti karet, kakao maupun kopi perlu memastikan kebun-kebun mereka bebas deforestasi. Guna membantu petani kecil, berbagai organisasi masyarakat sipil pun membuat panduan bebas deforestasi.
- Panduan ini dikembangkan selama lebih enam tahun ini. Intinya berisi langkah praktis bagi petani kecil dengan produk sawit, karet, maupun cokelat untuk menjaga hutan mereka. Dengan demikian, produk perkebunan mereka bisa menembus pasar global, seperti di Uni Eropa yang kini mewajibkan hasil bumi bebas deforestasi.
- Secara teknis, pedoman ini berisi petunjuk praktis yang sederhana untuk komunitas petani mengidentifikasi dan memetakan area tutupan hutan dan lahan di kampung mereka. Panduan ini memperkuat kelembagaan dan tata kelola sumber daya alam, serta menerapkan manajemen maupun pemantauan perlindungan hutan. Juga memberikan insentif bagi masyarakat untuk mendukung perlindungan itu.
- Tirza Pandelaki, Direktur Yayasan Petani Pelindung Hutan (4F) menyebut, pedoman ini sudah uji coba bersama petani kecil di enam desa dan tiga kabupaten di Kalimantan Barat. Selama uji coba, mereka berhasil mengidentifikasi 2.727 hektar hutan yang dilindungi komunitas lokal.
Petani sawit dan produk lain seperti karet, kakao maupun kopi perlu memastikan kebun-kebun mereka bebas deforestasi. Guna membantu petani kecil, berbagai organisasi masyarakat sipil pun membuat panduan bebas deforestasi.
Organisasi masyarakat sipil ini terdiri dari High Carbon Stock Approach (HCSA), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Yayasan Petani Pelindung Hutan (4F), Greenpeace dan High Conservation Value Network (HCVN).
Panduan ini dikembangkan selama lebih enam tahun ini. Intinya berisi langkah praktis bagi petani kecil dengan produk sawit, karet, maupun cokelat untuk menjaga hutan mereka. Dengan demikian, produk perkebunan mereka bisa menembus pasar global, seperti di Uni Eropa yang kini mewajibkan hasil bumi bebas deforestasi.
Tirza Pandelaki, Direktur 4F menyebut, pedoman ini sudah uji coba bersama petani kecil di enam desa dan tiga kabupaten di Kalimantan Barat. Selama uji coba, katanya, mereka berhasil mengidentifikasi 2.727 hektar hutan yang dilindungi komunitas lokal.
“Dari situ 364 hektar telah dipetakan dan diatur arah pengelolaan, pemanfaatan, dan konservasinya melalui peraturan desa tentang perlindungan hutan,” katanya dalam peluncuran pedoman bebas deforestasi di Jakarta, 24 Juni lalu.
Selain itu, implementasi pedoman ini juga mendorong penerbitan tiga peraturan desa dan satu draf pengajuan hutan adat. “Kami juga melatih 600 petani dengan 10% perempuan, dan mendorong enam rencana pengelolaan dan pemantauan terpadu tingkat desa,” kata Tirza.

Secara teknis, pedoman ini berisi petunjuk praktis yang sederhana untuk komunitas petani mengidentifikasi dan memetakan area tutupan hutan dan lahan di kampung mereka. Dalam setiap tahapan praktisnya, panduan ini mengharuskan persetujuan atas dasar infromasi di awal tanpa paksaan atau padiatapa (free, prior, and informed consent/FPIC) dari komunitas terkait.
Panduan ini memperkuat kelembagaan dan tata kelola sumber daya alam, serta menerapkan manajemen maupun pemantauan perlindungan hutan. Juga memberikan insentif bagi masyarakat untuk mendukung perlindungan itu.
“Sejauh ini insentif buat mereka yang menjaga hutan, patroli dan kontrol itu kita kasih Rp30 juta di masing-masing desa,” katanya.
Secara lingkungan, penerapan pedoman ini bisa membuat petani berperan dalam pemeliharaan jasa ekosistem seperti pengaturan air, keanekaragaman hayai untuk makanan, serat atau obat-obatan, penyimpanan karbon, dan jasa lain. Petani juga akan bisa memanfaatkan lahan lebih produktif untuk dikombinasikan dengan praktik pertanian yang baik, mulai dari intensifikasi hingga diversifikasi produk komoditas pertanian.
“Selain itu, dengan menerapkan bebas deforestasi di lahan mereka, petani bisa berperan dalam mencegah perubahan iklim,” ucap Tirza.
Setidaknya, katanya, implementasi panduan ini bisa untuk perlindungan jangka panjang terhadap hutan dan lahan yang menyimpan karbon besar. Juga, merestorasi hutan dan rehabilitasi lahan terdegradasi. Dengan demikian, bisa jadi satu cara mencegah kebakaran hutan dan lahan.
“Lewat pendekatan ini, deforestation free for small holders bisa dilakukan. Harapannya, ini bisa diimplementasikan untuk karet, kopi dan cokelat,” kata Tirza.

Sabaruddin, Ketua SPKS, menyuarakan pentingnya petani menjaga hutan. Selama ini, praktik perlindungan hutan sudah dilakukan petani kecil, apalagi dari kalangan masyarakat adat.
“Peran petani ini bukan saja pertahankan hak hutan adat, tapi berkontribusi juga atasi deforestasi dan kerusakan hutan. Sayangnya, mereka kerap dituding jadi perusak,” kata pria yang akrab disapa Sabar ini.
Data nasional mencatat, setidaknya 6,7 juta hektar kebun sawit dikelola skala kecil. Jumlah ini mencapai 40% dari luas kebun sawit nasional.
Dari angka itu, sekitar 3 juta petani mengelola kebun dengan luas kurang dari 5%. “Itu sebabnya, menopang keberlangsungan dari petani sangat penting. Apalagi, mereka menopang sekitar 30% produksi nasional.”
Kolaborasi dengan petani kecil ini, katanya, membuktikan mereka bisa berkebun bebas deforestasi. “Sangat mendukung inisiatif penggunaan toolkit bebas deforestasi ini oleh petani. Ini sangat sederhana untuk mengidentifikasi dan monitoring,” kata Sabar.
Kiki Taufik, Kepala Global Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace, menyebut, implementasi pedoman serupa bisa didorong di wilayah lain. Menurut dia, dengan menjaga hutan maka jadi kebanggaan masyarakat.
Salah satunya, dengan memastikan wilayah mereka bebas dari bencana. “Karena aktivitas ekstraktif yang tinggi, daerah lain bisa kena bencana kebakaran, banjir, kekeringan hingga kelaparan. Dengan memastikan daerah mereka bisa bebas dari bencana ini, adalah sebuah kebanggaan bagi masyarakat.’

Dorong pasar
Salah satu tantangan terbesar yang harus dipecahkan dalam menerapkan pedoman bebas deforestasi ini ialah mendorong pasar untuk bisa memberikan harga premium bagi petani yang berhasil jaga hutan. Untuk itu, perlu kerjasama dari berbagai pihak guna menciptakan pasar bagi para petani.
Mansuetus Darto, Dewan Penasihat SPKS, mengatakan, selama ini petani cenderung menjual tandan buah segar (TBS) sawit pada tengkulak. Praktik ini membuat mereka menerima harga 30% lebih rendah daripada yang sudah diterapkan Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian.
“Perlu kerjasama yang baik dengan perusahaan sawit. Petani menjaga hutan dengan sukarela seperti ini harus bisa diberikan insentif lebih baik,” katanya.
Hutan yang petani jaga, katanya, secara status berada di area penggnaan lain (APL) hingga membuka kawasan itu sebenarnya legal secara hukum.
“Tapi ini dijaga petani. Maka sekarang kami tantang pasar. Kalau petani sudah bela-belain jaga hutan, harus ada harga premium bagi sawit mereka,” kata Darto.
Dwi Rudi Hartoyo, Direktur Penyerasian Pembangunan Daerah Khusus Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, secara daring menyambut baik pedoman bebas deforestasi inisiasi kelompok masyarakat sipil.
Menurut dia, agenda deforestasi memang tidak terpisahkan dari komoditas sawit.
Berdasarkan data Kemendes PDT, ada lebih dari 1.000 desa menjadi penghasil sawit. Mendorong sawit tiap desa bebas deforestasi, katanya, akan membuat pembenahan tata kelola lebih optimal.
“Sawit ini potensial dikembangkan. Terutama nanti ke depan dengan gaet perusahaan sawit di sekitaran desa jadi mitra dan ciptakan pasar.”
Tak menutup kemungkinan, katanya, memanfaatkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam mengelola sawit di tiap desa. Tetapi, katanya, perlu menyiapkan sumber daya manusia mumpuni untuk menopangnya.
“Jadi, bagaimana nanti ke depan apakah sawit kalau dari panen langsung ke pabrik, atau ada fasilitas pengelolaan dan sebagainya. Itu bisa dilakukan di desa,” kata Dwi.
Penguatan kelembagaan BUMDes, kata Dwi, bisa jadi badan usaha yang bisa menempel dengan pola kemitraan perusahaan. Dia pun tidak menampik keinginan jadikan BUMDes dari rantai pasok sawit.
“Kami berharap, ada pola kolaborasi dan pengembangan dalam diri BUMDes untuk mengakomodir ini.”
Tirza menambahkan, sedang menggodok pembentukan marketplace guna mempertemukan petani dan pembeli sawit yang bisa memberikan harga premium. Hal ini, katanya, sebagai pengembangan dari implementasi pedoman bebas deforestasi yang disusun oleh masyarakat sipil.
“Kami sedang bangun konsepnya. Harapannya, ada pertemuan antara buyer dan petani di sini. Buyer bisa lihat praktik-praktik baik petani dan tidak ragu memberikan harga premium.”

******
Petani Sawit Swadaya Membutuhkan Dukungan Pemerintah dan Uni Eropa