Panas Bumi dan Ancaman Hutan Indonesia

panas-bumi-dan-ancaman-hutan-indonesia
Panas Bumi dan Ancaman Hutan Indonesia
service
Share

Share This Post

or copy the link

Dunia termasuk Indonesia sedang hadapi krisis iklim. Ia menuntut upaya melakukan  transisi energi dari fosil kotor ke sumber terbarukan. Di Indonesia, energi panas bumi sering disanjung sebagai satu solusi transisi ini.

Badan Geologi  Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, potensi tenaga listrik panas bumi Indonesia mencapai 23,7 GW–40% dari cadangan panas bumi di dunia.[1] Indonesia baru memanfaatkan 2,3 GW melalui pembangkit listrik panas bumi (PLTP) ini atau sekitar 10% dari potensi.[2]

Kondisi ini mendorong pemerintah menggalakkan pemanfaatan energi panas bumi, karena dianggap penyumbang signifikan bauran energi listrik nasional. Agenda pengembangan energi panas bumi juga masuk dalam program kerja yang dicanangkan pasangan presiden dan wakil presiden terpilih,  Prabowo-Gibran.

Dalam dokumen visi-misi, mereka menyebut pemanfaatan panas bumi dapat membawa Indonesia “merajai energi hijau dunia.

Terlepas dari potensi dan janji-janji, banyak catatan perlu dipertimbangkan sebelum mendorong panas bumi sebagai solusi dari permasalahan energi di Indonesia. Beberapa hal, seperti deregulasi serampangan aturan hutan untuk pengembangan panas bumi, justru berpotensi merintangi visi Indonesia melawan krisis iklim itu sendiri.

Para perempuan Pocoleok, protes rencana pembangunan pembangkit panas bumi yang akan terdampak bagi lahan adat mereka. Foto: Anno Susabun

Korbankan hutan atas nama energi

Setelah terbit UU Nomor 11/2022 tentang Cipta Kerja, perizinan yang terkait ekstraksi sumber daya alam makin mudah karena ada kelonggaran pengajuan perizinan dan pembentukan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Izin-izin di kawasan hutan termasuk dimudahkan setelah ada UU Cipta Kerja. Kemudahan ini diatur melalui berbagai peraturan turunan UU ini.

Di bawah UU Cipta Kerja, keluar Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang membahas multiusaha di kawasan hutan. Ini memungkinkan satu jenis perizinan melakukan berbagai jenis usaha.

Terkait keistimewaan proyek energi, peraturan turunannya, yaitu, Peraturan Menteri LHK Nomor 7/2021 Pasal 213 ayat (3) mengalokasikan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) untuk ketahanan energi. Dalam arti lain, proyek-proyek yang diklaim mampu menyokong ketahanan energi Indonesia, boleh di kawasan hutan dengan fungsi HPK.

Permen LHK 7/2021 juga turut mengatur hal-hal yang bisa melepaskan kawasan hutan, atau tidak lagi jadi kawasan hutan. Ketahanan energi menjadi salah satu dari beberapa syarat, dimana kawasan hutan bisa lepas dari fungsi kawasan dan jadi area penggunaan lain (APL). Dalam artian, hutan alam di kawasan itu tidak perlu lagi dipertahankan. PP 23/2021 maupun peraturan turunannya yang mengeksklusifkan ketahanan energi dapat menjadi jalan bagi deforestasi karena proyek energi. Saat ini, hutan alam di HPK masih seluas 7,3 juta hektar.[3]

Khusus panas bumi, pemerintah juga menggeser beberapa regulasi guna mengakomodir pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPb). Industri panas bumi bernaung di bawah beberapa aturan, salah satunya Undang undang (UU) Nomor 21/2014 tentang Panas Bumi, ketika industri panas bumi keluar dari kategori “pertambangan” sebagaimana tertera dalam UU No. 21/2003.

Penghapusan istilah pertambangan yang tersemat pada aktivitas panas bumi dicurigai terjadi karena desakan berbagai kelompok pengusaha yang bergerak dalam industri ketenagalistrikan berbasis panas bumi.[4]

Istilah pertambangan mengganjal perizinan industri panas bumi yang sebagian potensi berada di kawasan hutan lindung dan konservasi. Panas bumi keluar dari pertambangan berimplikasi proyek panas bumi bisa mengakses kawasan konservasi. Di dalam Pasal 459 Permen LHK 7/2021 juga memperbolehkan izin jasa lingkungan di fungsi hutan lindung.

Masalahnya, kemudahan izin ini berpotensi menghilangkan hutan alam Indonesia. Dari data Trend Asia, 64 wilayah kelola panas bumi (WKPB) di berbagai bentang kepulauan di Indonesia akan memakan lahan seluas 3,7 juta hektar–sekitar 1 juta hektar akan mencaplok kawasan hutan.

Padahal merujuk The State of Indonesia’s Forests 2022: Toward FOLU Net Sink 2022, luasan hutan primer Indonesia tersisa 6,7 juta hektar.

Poster-poster penolakan pembangunan PLTPb Dieng yang dipasang oleh warga sebuah desa di Kecamatan Batur, Banjarnegara, Jateng. Foto : istimewa/warga/Walhi Jateng

Deforestasi karerna panas bumi

Laporan PROFOR membagi kategori potensi deforestasi PLTP ke dalam dua bentuk, yakni, langsung dan tak langsung. Potensi deforestasi  langsung hadir dalam rupa pembukaan kawasan hutan selama masa pra-konstruksi, konstruksi, dan masa operasi proyek, seperti pembangunan jalan, sumur pengeboran, maupun bangunan kantor. Untuk 13 wilayah kerja panas bumi (WKP), perkiraan deforestasi seluas  446,75 hektar.

Sementara potensi deforestasi secara tidak langsung adalah dampak di masa depan seiring pembukaan hutan. Misal, pembangunan jalan akan memperbesar peluang perambahan atau illegal logging di hutan konservasi maupun penurunan fungsi kawasan hutan.

Dampak ini terjadi di Kamojang, tempat PLTP pertama di Indonesia yang beroperasi sejak 1983. Dalam 2000-2011, PLTP Kamojang menyumbang deforestasi di Cagar Alam Kamojang seluas 60,18 hektar (8.9%) dari luas cagar alam.[5]

Pemerintah bahkan menurunkan status Cagar Alam Kawah Kamojang dan Papandayan menjadi taman wisata alam karena perubahan fungsi kawasan hutan Kamojang seluas 2.391 hektar. Operasi panas bumi adalah satu faktor yang memicu perubahan kawasan itu.[6]

Potensi deforestasi lebih lanjut dapat teridentifikasi pada dua situs PLTP di Dieng dan Gunung Gede-Pangrango.  Sekitar 113.400 hektar wilayah pengembangan PLTP Dieng akan mencaplok 567,51 hektar hutan lindung dan 20,28  hektar cagar alam.[7]

Merujuk Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 2778 K/30/MEM/2014, pengembangan PLTP Gunung Gede-Pangrango akan mencaplok hutan konservasi seluas 25.380,49 hektar di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Kondisi serupa juga terjadi di PLTP Gunung Halimun-Salak, tempat 228 hektar kawasan hutan untuk proyek panas bumi.

Hal ini bermasalah karena hutan alam dalam hutan lindung dan konservasi,  maupun HPK berperan penting sebagai penyerap karbon dalam pencegahan krisis iklim.  Juga sebagai penyangga ekosistem bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Hutan berperan menjaga ekosistem hulu sungai, sumber mata air, habitat satwa, menjadi sumber pangan, maupun sebagai pengendali peristiwa kebencanaan seperti banjir maupun tanah longsor.

Doa bersama sekaligus aksi penolakan PLTPb Padarincang. Foto: Irfan Maulana/Mongabay Indonesia

Silang sengkarut

Posisi dan kemudahan pengembangan panas bumi dikukuhkan dengan Permen LHK No. 46/2016 tentang Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi pada Kawasan Taman Nasional Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.  Ia diperbaharui melalui Permen LHK No. 4/2019 yang memasukkan panas bumi dalam kategori jasa lingkungan. Kehadiran peraturan itu mempermudah perizinan proyek panas bumi di kawasan konservasi, seperti, taman nasional, taman hutan raya, maupun taman wisata alam.

Dalam laporan PROFOR yang terbit 2019 menyebut, 14% (5.8 GW) dari potensi energi panas bumi berlokasi di kawasan konservasi, dan 28% (10.3 GW) berlokasi di kawasan hutan lindung dan hutan produksi.

Bila merujuk pada UU No.5/1990 tentang hutan konservasi, taman nasional didefinisikan sebagai “kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budaya, pariwisata, dan rekreasi.” Sementara Pasal 31 ayat 2 menyebut, kegiatan itu “…harus dilakukan tanpa mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan.”

Pengembangan dan pengoperasian PLTP perlu lahan besar, memiliki risiko gas beracun, memerlukan suplai air masif, bahkan menimbulkan risiko gempa dan amblesan tanah. Hal ini jelas akan mengganggu fungsi hutan konservasi. Kawasan konservasi sedianya berfungsi sebagai kawasan perlindungan keanekaragaman satwa dan tumbuhan, perlindungan dan pemeliharaan keseimbangan ekosistem, mendukung penelitian dan ilmu pengetahuan, serta fungsi wisata.

PLTP masuk kategori jasa lingkungan, setara dengan taman kemah atau pemandian air panas, apabila mempertimbangkan dampak dari pengembangannya, sama sekali tidak masuk akal. Pembangunan PLTP akan mengurangi bahkan meniadakan fungsi-fungsi kawasan konservasi. Patut dicurigai, penyesuaian kebijakan ini semata-mata demi kemudahan pengembangan PLTP.

Penerabasan regulasi semacam ini, bukanlah kejadian terisolasi. Regulasi perhutanan Indonesia selama ini tidak pernah diatur dengan logika konsisten. Padahal, seharusnya dengan asas prinsip keberlanjutan, mendukung lingkungan, dan kepentingan masyarakat tapak. Kebijakan terus menerus dirombak mengikuti kepentingan bisnis dan investasi baru sejak di tahap penyusunan hingga penerapan.

Misal, paradigma pengelolaan hutan bernama multiusaha kehutanan yang dikukuhkan dalam PP 23/2021. Secara garis besar, multiusaha kehutanan beroperasi dengan jalan memberikan kesempatan kepada pemegang izin (perizinan berusaha pemanfaatan hutan/PBPH) untuk melakukan berbagai kegiatan usaha kehutanan secara bersamaan pada kawasan hutan.

Pembangkit panas bumi Sorik Marapi, Januari lalu gas beracun bocor, kini alami kebakaran. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Multiusaha turut memungkinkan panas bumi yang sudah terkategori sebagai jasa lingkungan, menjadi satu dari beragam jenis usaha.

Masalahnya, konsep multiusaha kehutanan hanya memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk memperluas bisnis di dalam kawasan hutan, dengan memegang satu izin PBPH. Konsep serupa tidak ditemukan dalam model-model usaha di kawasan hutan yang dikelola masyarakat, misal, perhutanan sosial atau kemitraan kehutanan.

Kemudahan perizinan multiusaha berpotensi berdampak negatif pada keberadaan hutan alam tersisa. Belum lagi, potensi memperdalam ketimpangan penguasaan lahan juga akan mengiringi beroperasinya kebijakan itu.

Terbitnya, UU Cipta Kerja juga tidak kalah memudahkan pengusaha di sektor kehutanan. Pada dasarnya, regulasi yang melatari konsep multiusaha kehutanan ini berhulu pada UU Cipta Kerja. Selain melegitimasi praktik multiusaha kehutanan, aturan yang termaktub dalam UU itu justru memperkuat tekanan terhadap kondisi hutan.

Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sebagai proses wajib yang harus dipenuhi perusahaan sebelum mengusahakan hutan didelegitimasi. Perubahan peruntukan, fungsi maupun pemanfaatan kawasan hutan dipermudah.[8] Di samping itu, UU Cipta Kerja juga disinyalir mempermudah arus investasi asing untuk menggali ceruk bisnis di kawasan hutan.[9]

Alih-alih meningkatkan proteksi terhadap hutan alam, ragam pergeseran regulasi kehutanan justru berjalan sebaliknya.

Sementara itu, penerapan regulasi zonasi kehutanan kerap abai terhadap kepentingan masyarakat dan lingkungan. Misal, penentuan tapal batas kawasan konservasi yang seringkali menubruk wilayah kelola masyarakat. Ambil contoh, tumpang tindih tapal batas kawasan konservasi dengan wilayah kelola masyarakat yang berujung pengusiran warga pada 2003. Ketika Kementerian Kehutanan memperluas Taman Nasional Gunung Halimun Salak, masyarakat adat, termasuk Kasepuhan Sinar Resmi dan Cibedug, terusir dari kampung halaman generasional mereka.

Cocoklogi pengembangan panas bumi menjadi jasa lingkungan bukan hanya menjadi masalah,  juga gejala pola regulasi hutan yang tidak pernah berpihak kepada lingkungan dan masyarakat.  Ia lebih dimotori kepentingan-kepentingan bisnis, pembangunan, dan investasi. Kemudahan bagi perusahaan dalam memperluas ceruk bisnis itu memicu hilangnya tutupan hutan dan menghadirkan ragam peristiwa bencana, termasuk banjir bandang dan kebakaran hutan.

Di atas sengkarut pengelolaan dan penguasaan hutan itulah perluasan PLTP berdiri. Belum lagi, PLTP juga sarat kepentingan para pebisnis nasional maupun multinasional.

Wajar kalau pada akhirnya proyek pengembangan PLTP kerap mendapat penolakan masyarakat. Perisitiwa kebocoran gas beracun dalam aktivitas PLTP Sorik Marapi, Sumatera Utara, berulang menyebabkan ratusan warga di Desa Sibanggor Julu dan Desa Sibanggor Tonga alami keracunan.[10] Nahasnya, peristiwa yang banyak memakan korban jiwa itu bukan pertama kali terjadi.

Dua tahun lalu, pada 2022, kebocoran gas juga pernah terjadi di lokasi operasi PLTP Dieng, Jawa Tengah, yang memicu 10 pekerja mengalami keracunan, dan menewaskan satu orang. Tidak berhenti di situ, di Mataloko, Nusa Tenggara Timur, muncul sejumlah lumpur panas di atas lahan pertanian warga yang beririsan dengan aktivitas pengeboran panas bumi. Pada 2021, eksplorasi panas bumi Sokoria, Ende, Nusa Tenggara Timur, disinyalir memicu muka air Danau Tiwu Atabupu surut sedalam lima meter.[11]

Lapisan-lapisan persoalan yang mencekik warga itu menjadi pengungkit meluasnya protes dan penolakan warga di lokasi operasi panas bumi.

Transisi energi bukan cuma soal memperbanyak bauran energi bersih. Ia juga mewakili mandat mendorong transformasi secara adil dan berkelanjutan tanpa mengorbankan kepentingan warga tapak dan keberlanjutan lingkungan. Sayangnya, napsu pengembangan PLTP masih abai terhadap mandat masyarakat ini.

*Penulis Bayu Maulana merupakan peneliti bioenergi di Trend Asia. Tulisan ini adalah opini penulis.

Korban keracunan dari PLTN Sorik Marapi sedang dirawat di RS. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

*******

[1] Lihat, https://ebtke.esdm.go.id/lintas/id/investasi-ebtke/sektor-panas-bumi/potensi

[2] Kementerian ESDM, 2022, Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia.

[3] KLHK, 2022, The State of Indonesia’s Forests 2022: Toward FOLU Net Sink 2022.

[4] JATAM, dkk. Laporan Kepada Rakyat dan Peringatan Kepada Pelaku Industri dan Penguasa Pertambangan Energi dan Mineral Indonesia: Sorik Marapi di Tengah Medan Perburuan Panas-Bumi dari Gunung Gereudong, Gunung Talang, Padarincang, Danau Sano Nggoang sampai Kepala Burung Papua, (Jakarta: JATAM, 2022).

[5] Dachlan, Endes Nurfilmarasa, Vella Putiksari, dan Lilik Budi Prasetyo, 2015, Geothermal Energy Utilization in the Kamojang Nature Reserve, West Java, Indonesia, Forum Geografi, Vol. 29(2).

[6] Lihat,  ​​https://forestation.fkt.ugm.ac.id/2019/04/22/akhir-status-kawasan-kamojang-dan-papandayan/

[7] Geo Dipa Energi, ADENDUM ANDAL DAN RKL-RPL: Rencana Pengembangan Lapangan Uap dan PLTP Dieng Unit 2, 3 dan 4 Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah, (Jakarta: Geo Dipa Energi, 2021).

[8] Lihat, https://sebijak.fkt.ugm.ac.id/2020/10/06/empat-potensi-dampak-kebijakan-omnibus-law-di-sektor-kehutanan-dan-lingkungan/

[9] Nugroho, Ardiyanto Wahyu. (2021). Membaca Arah Perubahan Tata Kelola Kehutanan Pasca-terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, 7(2), 275–296. https://doi.org/10.38011/jhli.v7i2.278

[10] Lihat, https://betahita.id/news/detail/9940/h2s-bocor-lagi-ngo-setop-operasi-geothermal-pt-smgp.html?v=1708729442

[11] “Siapa Sangka, Tindakan Manusia Jadi Penyebab Gempa Besar di Korsel Pada 2017”, dalam https://www.vice.com/id/article/3kgm8n/siapa-sangka-tindakan-manusia-jadi-penyebab-gempa-besar-di-korsel-pada-2017 (diakses 5 Maret 2023).

Kala Proyek Panas Bumi Ancam Ruang Hidup Masyarakat Adat di Pulau Buru

Artikel yang diterbitkan oleh

0
mutlu
Happy
0
_zg_n
Sad
0
sinirli
Annoyed
0
_a_rm_
Surprised
0
vir_sl_
Infected
Panas Bumi dan Ancaman Hutan Indonesia

Tamamen Ücretsiz Olarak Bültenimize Abone Olabilirsin

Yeni haberlerden haberdar olmak için fırsatı kaçırma ve ücretsiz e-posta aboneliğini hemen başlat.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Login

To enjoy Foxiz.my.id privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Bizi Takip Edin