Hiu, Pari dan Hiu Hantu di Indonesia Hadapi Kepunahan yang Terus Meningkat

hiu,-pari-dan-hiu-hantu-di-indonesia-hadapi-kepunahan-yang-terus-meningkat
Hiu, Pari dan Hiu Hantu di Indonesia Hadapi Kepunahan yang Terus Meningkat
service
Share

Share This Post

or copy the link
  • Area Penting untuk Hiu dan Pari atau ISRA menjadi harapan baru untuk perlindungan spesies elasmobranch yang mencakup hiu dan pari. Inisiasi itu dipimpin Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) Species Survival Commission (SSC) Shark Specialist Group (SSG)
  • Selama penilaian yang sudah dilakukan IUCN, spesies elasmobranch bersama hiu hantu (chimeras) yang masuk kelompok kelas Chondrichthyes dinyatakan terus memburuk karena menghadapi ancaman kepunahan yang terus meningkat
  • Penyebab utama ancaman tidak bisa dihentikan, adalah karena aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan nelayan dan pelaku usaha terus berlangsung dengan masif dan eksploitatif. Akibatnya, kegiatan tersebut menjadi berlebihan dan mengancam ekosistem dan spesies laut di dalamnya
  • Setelah dilakukan pemetaan, ditemukan 122 ISRA, empat calon ISRA, dan 45 Area of Interest (AoI). Hasil identifikasi itu juga menegaskan bahwa Indonesia menjadi pemilik 43 ISRA, termasuk 2 ISRA yang berada di perairan luar wilayah yurisdiksi nasional

Aktivitas penangkapan ikan berlebih kembali menjadi faktor pemicu ancaman kepunahan pada spesies laut dengan jumlah terbatas. Spesies itu adalah kelas Chondrichthyes yang mencakup hiu, pari, dan hiu hantu (chimeras) dan sedang menghadapi ancaman kepunahan dengan persentase terus meningkat.

Belum lama ini, Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) Species Survival Commission (SSC) Shark Specialist Group (SSG) mengumumkan bahwa spesies kelas tersebut sedang mengalami tren kehilangan keanekaragaman hayati.

Berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh IUCN, resiko kepunahan kelompok spesies itu semakin memburuk sejak penilaian dilakukan pada 2014. Pada 20 tahun lalu, jumlah spesies terancam punah di seluruh dunia tercatat 24 persen dan meningkat menjadi 32,6 persen pada 2021.

Data dan fakta yang dipublikasikan Konservasi Indonesia (KI) itu, akan semakin memburuk jika mempertimbangkan spesies kekurangan data (data deficient). Menurut organisasi yang berpusat di Swiss itu, saat ini persentase resiko kepunahan sudah mendekati 37,5 persen.

Ancaman yang terus meningkat pada hiu, pari, dan hiu hantu kini menjadi perhatian para pemerhati keanekaragaman hayati laut. Terutama, karena penyebab utamanya adalah aktivitas penangkapan ikan yang semakin tinggi dan berdampak pada semua spesies yang terancam, khususnya dua pertiga dari kelompok spesies ini.

Aktivitas yang dilakukan dengan cara eksploitasi itu, juga sudah mengancam hiu dan pari yang masuk spesies elasmobranch dan itu sudah dialami oleh pari jawa (Java Stingaree). Spesies pari jawa menjadi penanda awal dari kepunahan ikan laut secara global yang diakibatkan penangkapan ikan berlebihan.

Baca : Konservasi Hiu dan Pari: Melawan Penangkapan Ikan Berlebihan dan Menjaga Habitat

Seekor hiu belimbing (Stegostoma tigrinum) di perairan Raja Ampat. Foto : Konservasi Indonesia

Area Penting Konservasi

Agar ancaman bisa dikendalikan dan tidak semakin memburuk, SSG meluncurkan upaya baru untuk penyelamantan melalui program Important Shark and Ray Area (ISRA). Upaya itu dibuat setelah SSG yang dianggap sebagai Otoritas Daftar Merah mengevaluasi status konservasi hiu di IUC.

Ketua IUCN SSC SSG Rima Jabado menjelaskan kalau ISRA bisa menjadi alat untuk mengidentifikasi habitat kritis bagi hiu dan pari. Habitat tersebut adalah kawasan yang menjadi kunci siklus hidup hiu dan pari, memiliki potensi untuk dipetakan dan dikelola untuk konservasi.

Perempuan yang juga menjabat Wakil Ketua IUCN SSC itu mengatakan bahwa untuk bisa mendapatkan identifikasi ISRA, pihaknya melalui proses yang jelas dan transparan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para pakar regional dan didukung oleh tim inti untuk menyusun proposal ISRA.

Tetapi, walau ISRA sudah berhasil dilakukan identifikasi, dia menjelaskan kalau status itu tidak berarti menjadikan kawasan perairan tersebut akan otomatis mendapatkan pengelolaan atau perlindungan. Melainkan, akan ada pertimbangan yang dilakukan oleh pemerintah lokal.

Pertimbangan itu, dilakukan dengan menyoroti wilayah-wilayah yang penting bagi pemerintah lokal dan akan menjadi pertimbangan untuk tindakan konservasi dan pengelolaan di masa mendatang. Adapun, proses identifikasi ISRA sudah dimulai dari kawasan Asia sejak Januari 2024.

Baca juga : Produk Turunan Hiu-Pari Marak Diperjualbelikan

Seekor hiu belimbing (Stegostoma tigrinum). Foto : Conservation International/ Mark Erdmann

Pada workshop yang digelar di Bali tersebut, Rima Jabado menerangkan bahwa proses identifikasi menghasilkan total 122 ISRAs, empat calon ISRAs, dan 45 Area of Interest (AoI). Hasil tersebut melibatkan kontribusi dari para peneliti regional.

Total 122 ISRAs yang berhasil dilakukan identifikasi, sebanyak 43 atau 35 persen diketahui berada di Indonesia. Hal itu diungkapkan oleh Focal Species Conservationa Senior Manager Konservasi Indonesia Iqbal Herwata yang ikut dalam workshop di Bali.

Menurut dia, 43 ISRA yang terdeteksi ada di Indonesia, berada di wilayah yurisdiksi dan luar yurisdiksi. Sebanyak 41 ISRA diketahui berada di perairan yang masuk wilayah yurisdiksi, dan sisanya ada di luar yurisdiksi Indonesia (Area Beyond National Jurisdiction) yang berbatasan dengan negara tetangga Federasi Mikronesia.

“Area-area itu merupakan koridor dari pergerakan populasi hiu paus yang berada dari Teluk Saleh dan Teluk Cendrawasih,” jelas dia menyebut perairan yang berlokasi di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Papua Barat.

Keberhasilan IUCN mengidentifikasi ISRA, diakuinya karena ada kontribusi riset yang dilakukan oleh KI bersama Pemerintah Indonesia. Setidaknya, ada 28 dari 43 ISRA dan 4 AoI yang merupakan sumbangsih dari data, informasi, dan kepakaran KI.

Setelah pemetaan ISRA berhasil dilakukan, Manajer Konservasi Spesies KI Iqbal Herwata mengharapkan data tersebut bisa menjadi salah satu rujukan untuk mengurangi ancaman kepunahan spesies hiu dan pari. Namun, harus dibuat langkah-langkah lain yang sifatnya mendesak agar mendukung upaya penurunan ancaman.

Adapun langkah yang dimaksud, di antaranya adalah pembatasan penangkapan ikan, kawasan perlindungan laut, dan penurunan angka kematian terkait penangkapan ikan. Semua itu diperlukan untuk mencegah kepuahan lebih lanjut dan menjamin keberlanjutan ekosistem laut.

Baca juga : Ini yang Dilakukan Pemerintah Lindungi Hiu dan Pari Terancam Punah

Hiu macan tangkapan nelayan Pulau Ambo, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

Kawasan Konservasi Perairan

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Firdaus Agung mengatakan kalau keberhasilan melakukan identifikasi ISRA, sudah sesuai dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk melestarikan minimal 30 persen luasan wilayah darat dan laut.

Komitmen tersebut akan berkontribusi pada target 3 Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (GBF). Melalui target GBF, diharapkan luas kawasan konservasi laut pada 2045 nanti sudah bisa mencapai 30 persen atau disebut Marine Protected Area (MPA) Vision 30×45.

“Ke depannya akan dikembangkan kawasan-kawasan konservasi berdasarkan kekhasannya. Salah satunya, keberadaan hiu dan pari ini yang bisa dijadikan sebagai pusat unggulan (center of excellence) bagi siapa pun yang ingin belajar dalam pengelolaan berbasis kawasan konservasi,” paparnya

Dia menambahkan, saat ini Indonesia sudah memiliki 57 kawasan konservasi yang melindungi habitat kritis hiu dan/atau pari, dengan luas kawasan mencapai 14,4 juta hektare (ha) atau sekitar 49 persen dari total luas kawasan konservasi yang telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan.

Dari 57 kawasan tersebut, 28 kawasan dengan luas mencapai 5,75 juta ha menjadikan hiu dan pari sebagai jenis target konservasinya. Penetapan luasan tersebut dilakukan, karena hiu dan pari penting untuk dilindungi agar keseimbangan ekosistem laut bisa tetap terjaga.

“Hiu tak hanya berfungsi sebagai pemuncak rantai makanan, namun juga penyeimbang ekologi. Melindungi hiu, berarti kita menjaga Kesehatan laut,” katanya.

Baca juga : Populasinya Semakin Susut, Ancaman Kelestarian Hiu-Pari di Perairan Aru

Sekelompok pari di perairan Raja Ampat. Foto : Konservasi Indonesia

Momentum Pelestarian

Di antara hiu yang masuk dalam 20 jenis ikan prioritas konservasi KKP periode 2020-2024, adalah hiu berjalan. Ikan tersebut mendapatkan keistimewaan, karena penurunan populasi, ancaman kerentanan, dan kelangkaan.

Firdaus Agung menerangkan, sifat umum biologi hiu berjalan cenderung hidup menetap di dasar perairan yang dangkal, tidak aktif bergerak, dan hidup di habitat yang spesifik seperti daerah terumbu karang dan padang lamun.

“Kondisi itu menyebabkan tidak adanya percampuran populasi antar tiap anggota spesiesnya di wilayah tersebut,” jelasnya.

Melalui studi analisa molekuler yang sudah dirilis, sifat biologi hiu berjalan memiliki keunikan dan itu memicu terjadinya proses spesiasi secara alami dengan mengikuti pergerakan lempeng tektonik dan proses hidrologi dalam waktu kurun puluhan juta tahun yang silam.

Menurutnya, setiap jenis ikan dengan genus Hemiscyllium memiliki kekhasan genetik yang ditunjukkan secara morfologis melalui pola dan corak warna yang berbeda-beda. Keragaman genetis tersebut harus dipertahankan untuk terjaga kemurniannya.

Dia menyebut kalau hiu berjalan bukanlah target untuk ikan konsumsi, namun dimanfaatkan untuk pasar ikan. Fakta tersebut sangat ironis, karena hiu berjalan berpotensi besar untuk berkontribusi pada sektor pariwisata sebagai daya Tarik kegiatan menyelam.

Regional Vice-Chair ASIA untuk IUCN SSC Shark Specialist Group Fahmi menyatakan kalau 43 ISRA yang sudah ditetapkan oleh IUCN menjadi momentum bagus untuk melestarikan hiu dan pari di Indonesia. Tetapi, jumlah tersebut dinilai masih belum cukup karena baru mewakili sebagian kecil spesies yang terancam punah di Indonesia.

Pria yang juga Peneliti Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRO BRIN) itu mengatakan bahwa masih banyak jenis hiu dan pari di Indonesia yang statusnya masih endemik atau sangat terancam punah, namun belum teridentifikasi dan terpetakan habitat pentingnya.

Baca juga : Penting dalam Ekosistem Laut, Hiu dan Pari di Indonesia Justru Terancam

Ikan pari manta di perairan Wayag, Raja Ampat, Papua Barat, sedang mendari makanan. Foto : Shawn Heinrichs/Conservation International Indonesia

Untuk itu, dia menyebut kalau peran dari semua pihak sangat penting untuk sama-sama mempelajari dan mengidentifikasi habitat penting bagi jenis-jenis tersebut melalui kajian-kajian yang dilakukan di seluruh wilayah perairan Indonesia.

“Ini merupakan langkah yang sangat maju untuk meningkatkan upaya area-based management yang secara khusus menyasar habitat-habitat penting spesies ini,” ucapnya.

Fahmi berharap, di masa mendatang ISRA bisa menjadi pertimbangan untuk mengoptimalkan peran kawasan konservasi yang sudah ada, dengan fokus pada habitat penting spesies, atau pencanangan pengembangan konservasi baru.

Kawasan Raja Ampat

Anggota IUCN SSC Shark Specialist Group untuk Wilayah Oseania Mark Erdmann menjelaskan bahwa salah satu ISRA yang paling menarik di Indonesia adalah perairan Raja Ampat. Dibandingkan dengan titik ISRA lain di Indonesia, Raja Ampat memiliki beberapa kawasan penting bagi seperti hiu dan pari.

Kawasan-kawasan tersebut biasa menjadi tempat reproduksi untuk kawin dan berkembang biak, kawasan mencari makan, koridor pergerakan, dan agregasi. Selain itu, Raja Ampat juga menjadi salah satu dari sedikit kawasan di Asia (3 dari 5 ISRA) dengan keanekaragaman jenis hiu dan pari yang tinggi.

Pria yang juga menjabat Vice President Marine Program Conservation International untuk Wilayah Asia-Pasifik itu kemudian menyebutkan ISRA Raja Ampat di Selat Dampier memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi dan melebihi ambang batas tingkat keanekaragaman hayati di regional Asia, yaitu 31 spesies.

Selain itu, tercatat juga 32 spesies yang ditemukan secara rutin di ISRA Selat Dampier. Penyebutan kata rutin, menjelaskan bahwa itu bukan kemunculan historis atau sesekali terlihat. Pun demikian dengan ISRA di Waigeo Barat Laut, tercatat ada 33 spesies, dan ISRA Misool Tenggara dengan 32 spesies.

Baca juga : Penampakan Bayi Hiu Hantu Langka di Lepas Pantai Selandia Baru

Laguna Wayag, Raja Ampat, Papua Barat. Foto : Konservasi Indonesia

Lebih rinci, 41 ISRA di wilayah yurisdiksi Indonesia adalah Kepulauan Balabalagan (Sulawesi Barat), Kepulauan Banda (Maluku), Pulau Bangka (Bangka Belitung), Blongas (Nusa Tenggara Barat/NTB), Desa Botubarani (Gorontalo), dan Teluk Cendrawasih (Papua Barat).

Kemudian, Selat Dampier (Papua Barat Daya), Kepulauan Derawan (Kalimantan Timur), Flores Timur-Lembata (Nusa Tenggara Timur/NTT), Fakfak (Papua Barat), Gilimanuk (Bali), Halmahera (Maluku Utara), Pulau Heliana (NTT), Kaimana (Papua Barat), dan Kepulauan Komodo (NTT).

Selanjutnya, ada Teluk Lampung (Sumatera Selatan), Selat Lombok, bawah Sungai Musi (Sumatera Selatan), kepulauan Matasiri (Kalimantan Selatan), Merauke (Papua Selatan), Gunung Bawah Laut Mommon (Papua Barat), dan Nila-Serua (Maluku Tengah).

Lalu, ada juga Raja Ampat Utara (Papua Barat Daya), Waigeo Barat Laut (Papua Barat Daya), Nusa Penida (Bali), Selat Pantar (NTT), Probolinggo (Jawa Timur), Pulau Sailus (NTT), Teluk Saleh (NTB), Perairan Sarmi-Jayapura, Laut Seram, Sesayap (Kalimantan Utara), dan Pulau Seulako (Aceh).

Terakhir, area penting bagi hiu dan pari yang ada di Indonesia adalah Rinca Selatan (NTT), Misool Tenggara (Papua Barat Daya), Selatan Flores, Selatan Sumbawa, Lereng Sumbawa, Pulau Tinabo (Sulawesi Selatan), dan Aceh Barat.

Ahli Ekologi Kelautan Edy Setyawan mengatakan, beragam persoalan yang muncul saat ini memang membuat pari ada dalam ancaman kepunahan. Untuk itu diperlukan langkah bersama yang diinisiasi oleh Pemerintah Indonesia bersama dengan pihak lain terkait, terutama penelitian.

Mencakup di dalamnya adalah penelitian tentang monitoring populasi jangka panjang, genetika populasi, identifikasi area pembesaran, fokus pada manta oseanik, daya jelajah dan rentang habitat, kecerdasan buatan (AI) untuk identifikasi fotografis dan fotogrametri drone.

Akhir 2022 lalu, IUCN mengungkap fakta bahwa ada 1.550 dari total 17.903 tanaman dan hewan laut yang statusnya terancam punah. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Kepala Red List IUCN saat itu Craig Hilton Taylor di sela Konferensi Keanekaragaman Hayati Perserikat Bangsa-Bangsa ke-15 di Montreal, Kanada.

Dia menyebut kalau jumlah spesies laut yang menghadapi kepunahan berpotensi lebih tinggi dibandingkan data yang sebenarnya ada sekarang. Analisis itu muncul, karena data sekarang cenderung merujuk pada spesies ikan yang tersebar luas dan belum menunjukkan indikasi terancam. (***)

Perburuan Hiu-Pari yang Tak Pernah Mati

Artikel yang diterbitkan oleh

, , , , , , , , , ,

0
mutlu
Happy
0
_zg_n
Sad
0
sinirli
Annoyed
0
_a_rm_
Surprised
0
vir_sl_
Infected
Hiu, Pari dan Hiu Hantu di Indonesia Hadapi Kepunahan yang Terus Meningkat

Tamamen Ücretsiz Olarak Bültenimize Abone Olabilirsin

Yeni haberlerden haberdar olmak için fırsatı kaçırma ve ücretsiz e-posta aboneliğini hemen başlat.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Login

To enjoy Foxiz.my.id privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Bizi Takip Edin