Menimbang Penyelesaian Konflik Agraria di Proyek Rempang

menimbang-penyelesaian-konflik-agraria-di-proyek-rempang
Menimbang Penyelesaian Konflik Agraria di Proyek Rempang
service
Share

Share This Post

or copy the link
  • Konflik agraria di Rempang Eco City terus bergulir hingga kini. Masyarakat yang menolak lahan mereka jadi proyek strategis nasional itu terus bertahan. Sedangkan Badan Pengusahaan (BP) Batam meminta warga mau relokasi.
  • Harlas Buana, perwakilan BP Batam mengatakan, sampai saat ini, data detail warga yang menerima relokasi tidak bisa mereka bagikan ke publik karena kondisi lapangan masih pro dan kontra.
  • Ombudsman merekomendasi BP Batam menunda proses relokasi warga terdampak sampai semua duduk musyawarah.
  • Boy Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau sekaligus Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang mengatakan, mengatakan, penyelesaian konflik Rempang bisa menggunakan TAP MPR Nomor 9/2021 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. 

Konflik agraria di Rempang Eco City terus bergulir hingga kini. Masyarakat yang menolak lahan mereka jadi proyek strategis nasional itu terus bertahan. Sedangkan Badan Pengusahaan (BP) Batam meminta warga mau relokasi.

Sahat Sianturi,  dari DPRD Kepri menawarkan solusi pembangunan Rempang Eco City dilakukan secara bertahap dan perlahan, tak serta merta 8.000 hektar sekaligus. “Supaya masyarakat bisa melihat perubahan yang ada,” katanya dalam diskusi daring belum lama ini.

Harlas Buana, perwakilan BP Batam yang menangani Rempang Eco City mengatakan, proses pembangunan versi pemerintah. Selama ini, katanya,  konflik Rempang Eco City karena banyak informasi tidak benar beredar di tengah masyarakat.

Kondisi itu yang kemudian, menjadi catatan Presiden Joko Widodo. Saat ini, katanya, BP Batam sudah menggunakan cara lebih humanis.

“Akhirnya,  kita sosialisasi lagi, namun namanya dinamika, tetap saja ada penolakan, tetapi kita terus lakukan pendekatan,” kata Harlas.

Hasilnya, 961 keluarga terdampak tahap pertama sudah mendaftar untuk relokasi sekitar 386 keluarga. Harlas tidak menyebutkan rinci asal kampung warga yang menerima relokasi itu.

“Artinya,  di tengah masyarakat ada yang mendukung investasi, saya kira berimbang. Sampai sekarang pun sudah ada masyarakat bergeser yaitu 121 keluarga sementara ke Batam (rumah relokasi sementara). Kenapa bergeser sementara ke Batam,  tentu untuk menunggu nanti relokasi pembangunan rumah jadi di Tanjung Banun,” katanya.

Saat ini BP Batam terus berupaya pendekatan kepada warga agar mau relokasi.

Warga melintas di spanduk tolak relokasi di Rempang. Foto Yogi Eka Sahptura/ Mongabay Indonesia

Siti Uswatun Hasanah,  Kepala Keasistenan Utama II sekaligus Ketua tim investigasi Rempang Eco City menyampaikan Ombudsman RI telah melakukan pemeriksaan panjang dalam konflik Rempang. Hasil investigasi menjadi dasar koreksi kepada institusi terkait dalam konflik ini, mulai dari BP Batam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, BPN hingga Polri.

Dari laporan hasil pemeriksaan (LHP),  Ombudsman merekomendasi BP Batam menunda proses relokasi warga terdampak sampai semua duduk musyawarah. “Jika rekomendasi juga tetap tidak dilaksanakan, lapor ke presiden atau DPR dan publikasi,” kata Siti.

Boy Even Sembiring,  Direktur Eksekutif Walhi Riau sekaligus Tim Solidaritas Nasional untuk Rempang mengatakan, apa yang pemerintah lakukan selama ini kepada masyarakat Renpang adalah kejahatan terstruktur.

Boy mengatakan, penyelesaian konflik Rempang dengan menggunakan TAP MPR Nomor 9/2021 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

“Tap MPR itu, isi pertama meminta pemerintah evaluasi seluruh aturan yang bertentangan dengan semangat pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam,” kata Boy.

Kemudian, evaluasi kebijakan, dan memastikan proses pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam itu berlangsung. DPR dan presiden diperintahkan melaporkan setiap tahun di sidang MPR.

“Itu pernah nggak dilakukan? Nah bagi kami tawaran utama penyelesaian konflik Rempang ini ya menuju TAP MPR Nomor 9/2021, aturan itu masih berlaku sekarang,” katanya.

BP Batam tak terbuka data relokasi

Hingga kini, BP Batam tak kunjung terbuka soal data rinci warga yang setuju relokasi. Dalam diskusi itupun warga, Walhi, Ombudsman hingga awak media meminta BP Batam menunjukkan data warga yang menerima relokasi.

Mereka khawatir, klaim BP Batam terkait jumlah orang yang menerima relokasi itu sebenarnya bukanlah warga terdampak utama PSN.

“Kami minta data lengkap, baik itu alamat, KTP, KK, RT-nya, warga yang sudah relokasi, jangan sampai 118 keluarga yang sudah menerima relokasi itu bukan warga terdampak,” kata Wadi, warga Rempang.

Pertanyaan sama juga disampaikan dua warga Rempang lain. Mereka juga menegaskan menolak relokasi apapun yang ditawarkan pemerintah.

Harlas menanggapi. Dia memastikan memiliki data detail terkait warga yang relokasi namun tidak bisa membagikannya. “Ada semua datanya, jadi tidak sembarang juga kita menggeser warga, keluarkan biaya hidup dan sewa rumah dengan data yang tidak jelas,” katanya.

Sampai saat ini, katanya,  data detail warga yang menerima relokasi tidak bisa mereka bagikan ke publik karena kondisi lapangan masih pro dan kontra.

“Jujur saja, kondisi lapangan masih ada pro kontra, bahkan saya dengar pun masih ada (warga) yang terintimidasi, kita tidak mau terjadi konflik horizontal.”

Boy menanyakan juga soal kabar warga yang sudah relokasi ke rumah sementara tetapi pulang ke kampung dan dugaan upaya menekan ASN di Rempang agar mau relokasi. Harlas membantah tuduhan itu.

Diskusi lain juga digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) secara online Juni lalu.

Andri Alatas, Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru menyoroti kurangnya ketegasan pemerintah dalam menangani konflik agraria di Indonesia. Ada perbedaan mencolok antara pernyataan Presiden Jokowi yang meminta agar masyarakat didahulukan dibandingkan pemegang konsesi.

Berdasarkan hasil pendataan YLBHI-LBH Pekanbaru di Pulau Rempang, ditemukan sekitar 90 keluarga setuju relokasi bukan warga asli Pulau Rempang.

“Warga yang setuju untuk relokasi mayoritas pendatang baru di Pulau Rempang. Mereka menerima relokasi karena tidak memiliki ikatan emosional atau rasa sayang terhadap lahan dan kampung adat yang telah dijaga selama ratusan tahun,” kata Andri.

Rina Mardiana, perwakilan dari KIKA menyayangkan situasi konflik berlarut-larut tanpa penyelesaian memadai di Pulau Rempang.

Sedangkan perwakilan AJI Indonesia mengkritik sejumlah pemberitaan terkait konflik agraria di Pulau Rempang tanpa verifikasi. “Ini kritik terhadap teman-teman media yang tidak verifikasi rilis yang jadi berita dalam konflik Rempang,” kata Sasmito Madrim dari AJI Indonesia.

Perempuan Rempang menyuarakan penolakan relokasi Rempang Eco City. Foto: Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

*******

Cerita Suku Darat Pulau Rempang Dulu, Kini Makin Terancam

0
mutlu
Happy
0
_zg_n
Sad
0
sinirli
Annoyed
0
_a_rm_
Surprised
0
vir_sl_
Infected
Menimbang Penyelesaian Konflik Agraria di Proyek Rempang

Tamamen Ücretsiz Olarak Bültenimize Abone Olabilirsin

Yeni haberlerden haberdar olmak için fırsatı kaçırma ve ücretsiz e-posta aboneliğini hemen başlat.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Login

To enjoy Foxiz.my.id privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Bizi Takip Edin