- Kayu Panda, Desa Binanga Sombaiya, Kecamatan Bontosikuyu, dikenal sebagai salah satu pemukiman orang Bajo di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulsel. Generasi yang paham tradisi dan bahasa Bajo di dusun ini kini tersisa sedikit.
- Orang Bajo yang paham ilmu perbintangan dan membaca tanda-tanda alam ketika melaut semakin sedikit jumlahnya. Mereka lebih banyak mengandalkan teknologi karena dinilai lebih praktis. Perahu yang digunakan juga banyak dari bahan fiber, khususnya perahu yang diperoleh dari bantuan pemerintah.
- Orang Bajo di Kayu Panda seperti hidup dalam dua alam. Di situ sisi masyarakatnya masih meyakini adanya kekuatan di luar daya manusia yang mampu membuat mereka sakit atau bahkan meninggal, namun di sisi lain banyak pantangan-pantangan yang dilanggar. Ritual pun tak banyak yang tersisa.
- Orang Bajo di Kayu Panda sendiri dulunya berasal dari Pulau Guang dan Malimpu yang jaraknya tak begitu jauh dari pemukiman yang sekarang. Mereka direlokasi pada tahun 1982 melalui program transmigrasi lokal dan ada kejadian kebakaran di Pulau Malimpu.
Condo (84) dengan malu-malu menyebutkan sebuah bacaan dalam bahasa Bajo. Tak terdengar jelas apa yang diucapkan, namun dilantunkan seperti doa yang diucapkan secara cepat. Bustan, sang cucu, lalu mengartikan bahwa itu adalah doa agar diberi kekuatan seperti Ali bin Abu Talib atas kuasa Allah SWT.
“Ini adalah doa agar fisik tetap kuat. Di desa ini mungkin yang paling tua dan masih bisa jalan ke masjid dan melaut,” cerita Condo dengan sedikit bangga. Saya bertemu di dalam rumahnya berdinding dan beratap daun kelapa, awal Juli 2024.
Condo adalah nelayan dari Dusun Bajo, Desa Binanga Sombaiya, Kecamatan Bontosikuyu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Dusun yang berjarak sekitar 35 km dari ibukota kabupaten ini dulunya bernama Dusun Kayu Panda yang kemudian berubah nama menjadi Dusun Bajo. Meski demikian, dusun ini masih dikenal luas dengan nama Kayu Panda. Populasi Kayu Panda saat ini adalah 389 jiwa dengan 110 KK. Orang Bajo berjumlah 250 jiwa dari 90 KK. Sisanya berasal dari suku Bugis dan Selayar.
Condo dulunya sering melakukan pengembaraan ke tempat-tempat yang jauh. Orang Bajo menyebutnya bangi-bangi atau bebangi yang berarti ‘bermalam-malam’. Ia bebangi ke Bogor lalu Jakarta, sempat menetap beberapa tahun di era 1970-an. Suatu hari ia ditangkap oleh AL karena ketahuan menggunakan bom ikan. Ia ditahan 4 bulan. Selepas sel, sekitar tahun 1980, ia balik kampung dan menjadi kepala dusun hingga tahun 2005.
Condo mungkin generasi terakhir orang Bajo di Kayu Panda yang masih mengetahui tradisi dan kapalli atau pantangan-pantangan dalam melaut. Dalam perjalanan menuju perahu mereka tidak boleh mengatakan tide atau ‘tidak ada’. Jika ada bawaan terjatuh dalam perjalanan ke perahu maka mereka harus balik ke rumah sebelum berjalan kembali ke arah tujuan semula, karena barang jatuh dianggap petanda sial. Bisa saja kapal akan rusak atau bahkan orangnya yang akan celaka.
Namun banyak orang Bajo di Kayu Panda tak mengenal atau meyakini lagi kapalli ini. Banyak adat istiadat yang tak lagi diketahui generasi kekinian. Termasuk oleh Bustan, sang cucu, yang bahkan tidak lagi bisa berbicara bahasa Bajo. Ia tahu namun tak bisa mengucapkannya. Bustan tamatan SMA, termasuk pendidikan tertinggi di dusun itu. Hanya satu orang yang sarjana dan satunya lagi D3, namun keduanya bekerja di perantauan.
Baca : Nasib Suku Bajo, Pengembara Laut yang Dicap Pelaku Bom Ikan [Bagian 1]
Menurut Bustan, orang Bajo yang paham ilmu perbintangan dan membaca tanda-tanda alam ketika melaut semakin sedikit jumlahnya. Mereka lebih banyak mengandalkan teknologi karena dinilai lebih praktis. Perahu yang digunakan juga banyak dari bahan fiber, khususnya perahu yang diperoleh dari bantuan pemerintah.
Orang Bajo di Kayu Panda sendiri dulunya berasal dari Pulau Guang dan Malimpu yang jaraknya tak begitu jauh dari pemukiman yang sekarang. Mereka direlokasi pada tahun 1982 melalui program transmigrasi lokal dan ada kejadian kebakaran di Pulau Malimpu. Pemerintah memberikan mereka lahan dan bangunan rumah.
“Ada sekitar 50 kepala keluarga yang dipindahkan, dikasih tanah sepanjang 200 x 200 meter, bangunan rumah dan sembako selama setahun. Semuanya pindah ke sini, namun ada juga kemudian yang pindah ke desa sebelah, Appatanah,” jelas Condo.
Pulau Guang sendiri pernah menjadi perbincangan di tahun 2015 ketika seorang bangsawan lokal mengklaim kepemilikan atas pulau itu dan hendak menjualnya ke seorang warga negara Perancis, seharga Rp3,5 miliar. Namun warga menolak, kepala desa setempat juga tak mau mengesahkan tanpa persetujuan Condo dan warga lain.
Condo digugat ke pengadilan. Gugatan ada dua. Pertama, ia dituding menahan kepala desa agar tak tanda tangan pengesahan. Kedua, Condo dinilai sebagai pemukim ilegal di pulau yang menetap tanpa izin. Ia memang punya gubuk tempat istirahat dan pengeringan ikan di pulau itu.
“Mungkin dua tahun saya harus bolak-balik pengadilan, namun jaksa pun mendukung karena pulau tak bisa dijual.”
Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, Susi Pudjiastuti bahkan sempat datang meninjau lokasi, yang memberi dukungan kepada Condo. Selain pulau tak bisa dijual karena milik negara, masyarakat juga bisa membuktikan kehadiran mereka di pulau itu sudah sejak lama, yang ditandai dengan adanya kuburan tua dan reklamasi oleh warga menggunakan timbunan kima di masa lalu. Warga pun protes dengan aksi besar-besaran di depan kantor desa. Meski tak ada putusan yang jelas, namun kasus ini tak pernah lagi diungkit-ungkit.
Baca juga : Kearifan Lokal Bajo Wakatobi Selamatkan Dugong dari Perburuan
Di Dusun Bajo, yang juga dikenal dengan nama Kayu Panda, kehidupan begitu tenang di pagi hari, khususnya di lorong-lorong kampung. Hanya beberapa perempuan yang sibuk berbincang atau sekedar menunggu aliran air keran, berasal dari sebuah sumur bor yang ditampung di sebuah bak besar, di tengah kampung.
Laki-laki dewasa mungkin masih hanyut dalam mimpi. Para nelayan biasanya melaut dari sore hingga subuh. Habis subuh mereka akan terlelap hingga siang.
Bustan bercerita bahwa kebiasaan nelayan melaut malam dan menyelam berjam-jam punya konsekuensi tersendiri bagi kesehatan.
“Banyak nelayan yang terkena penyakit paru-paru basah karena melaut malam tanpa jaket. Belum lagi menyelam sampai subuh. Dalam satu perahu bisa ada 4-5 nelayan bergantian menyelam, apalagi kalau pakai kompresor bisa sampai 30 menit atau lebih di bawah air,” katanya.
Berada terlalu lama di dasar laut bisa hingga kedalaman 30 meter membuat nelayan rentan terkena dekompresi, yang kemudian menyebabkan kelumpuhan atau bahkan kematian.
Sebagian nelayan yang lumpuh telah meninggal, sementara ada pula yang sudah sembuh, meski tidak sembuh lokal. Tak semua warga memahami kelumpuhan itu sebagai kecelakaan kerja. Ada juga yang melihatnya disebabkan oleh adanya pantangan yang dilanggar ketika menyelam.
“Dulu memang di sini ada yang bisa mengobati ketika ada yang keram ketika menyelam, namun ia sudah meninggal. Tak tahu apakah ada penerusnya yang bisa melanjutkan,” ujar Bustan.
Baca juga : Suku Bajo Torosiaje Panen Hasil saat Punya Area Lindung Gurita
Orang Bajo di Kayu Panda seperti hidup dalam dua alam. Di situ sisi masyarakatnya masih meyakini adanya kekuatan di luar daya manusia yang mampu membuat mereka sakit atau bahkan meninggal, namun di sisi lain banyak pantangan-pantangan yang dilanggar. Ritual pun tak banyak yang tersisa.
Pada kasus masih adanya orang Bajo yang melakukan bom ikan, yang merupakan tindakan pengrusakan pada terumbu karang, bertentangan pada nilai-nilai orang Bajo yang memuliakan laut. Namun di sisi lain aktivitas bom ikan masih juga dilakukan.
“Ada sebuah tuntutan bagi nelayan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang banyak dalam waktu singkat. Misalnya mereka harus mengutang pada juragan, yang harus lunas dan memaksa nelayan untuk terus berproduksi banyak, dan jika tidak dilakukan maka utang-utang itu harus dibayar. Akhirnya mereka menjadi pragmatis, apa pun dilakukan agar bisa dapat ikan banyak,” ungkap Lamardin, salah seorang tokoh setempat.
Menurutnya, untuk memutus mata rantai kemiskinan, kebiasaan nelayan utang ke juragan harus diputus. Namun itu bukan hal yang mudah karena sebagian nelayan bersikap masa bodoh. Baik Lamardin ataupun Bustan menilai karena hasil laut yang melimpah nelayan merasa tak pusing dengan hari esok. (***)
Suku Bajo, Simbol Eksistensi Warga Pesisir yang Semakin Terpuruk