Kekeringan akibat El Nino 2023 sempat membuat sektor pangan Indonesia, khususnya Pulau Jawa, kelimpungan. Panen padi di Indonesia tahun lalu turun sebesar 3,95 juta ton atau 17,54% lebih rendah dibandingkan 2022. Situasi ini mengerek inflasi sektor pangan Indonesia ke angka yang tertinggi se-Asia Tenggara.
Situasi kekeringan bisa menjadi lebih parah di masa depan. Studi terbaru saya bersama tim memprediksi Jawa berisiko mengalami penurunan hujan tahunan secara signifikan dibandingkan kondisi saat ini. Penurunan ini berkisar rata-rata 10% hingga tahun 2060, dan 16,2% hingga akhir abad ini. Perubahan tersebut dapat berdampak pada 73% dari total penduduk Jawa atau lebih dari 100 juta jiwa.
Kami membuat prediksi ini berdasarkan asumsi bahwa dunia membiarkan pelepasan emisi sangat banyak dan terus meningkat tanpa dibarengi upaya pengurangan. Situasi ini sepatutnya menjadi catatan pemerintah Indonesia dan dunia untuk terus meningkatkan upaya mengatasi perubahan iklim semaksimal mungkin.
Risiko besar kekeringan
Pada akhir abad 21, riset kami menaksir hari tanpa hujan di Pulau Jawa secara berturut-turut akan meningkat sebesar 18,6-34,6% dibandingkan saat ini.
Ancaman kekeringan lebih besar terjadi di dataran rendah. Kabupaten-kabupaten di sepanjang pesisir utara Jawa, mulai dari Serang hingga Madura, dapat mengalami penurunan curah hujan hingga 37%.
Sementara, di rata-rata daerah di Jawa, curah hujan berkurang sekitar 8-18%. Kekeringan akan meningkat hingga dua kali lipat sepanjang musim kemarau.
Potensi kekeringan bakal kian parah karena naiknya temperatur maksimum harian. Pada saat itu, temperatur di Pulau Jawa berpotensi meningkat 1,7°C hingga 3,1°C.
Suhu tertinggi yang mencapai 40°C mungkin akan dialami beberapa kabupaten antara lain Indramayu, Cirebon, Subang, Karawang, dan Kota Yogyakarta. Di daerah tersebut, jumlah hari dengan suhu sangat ekstrem akan naik delapan kali lipat dibandingkan saat ini.
Pada akhir abad ke-21, rata-rata wilayah Jawa akan mengalami 209 hari berturut-turut dengan suhu maksimum harian yang sangat ekstrem (rerata di atas 36°C). Padahal, secara historis, suhu ekstrem rata-rata tersebut hanya terjadi selama empat hari berturut-turut.
Dampak kekeringan terhadap pertanian
Penumpukan emisi di atmosfer pada 2100 juga akan membuat 10% daerah Pulau Jawa (sekitar 13 ribu km2) berisiko mengalami kekeringan. Daerah terdampak ini merupakan lembah-lembah lahan pertanian dataran rendah yang subur sekaligus penyangga kebutuhan beras di Indonesia.
Di kawasan pantai utara Jawa, daerah yang terdampak adalah Pandeglang, Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon, Brebes, Pati, Grobogan, Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan.
Sementara itu, daerah di kawasan selatan seperti Gunungkidul, Jember, Cianjur, Sukabumi, dan Cilacap juga turut terkena imbasnya.
Kekeringan dapat mengurangi tampungan air untuk irigasi. Ini pada akhirnya akan mengancam ketersediaan air untuk pertanian.
Jika emisi tidak dikurangi secara maksimal, krisis pengairan akan mengancam produksi pertanian. Hal tersebut dapat menaikkan harga bahan pangan akibat kelangkaan di dalam negeri, hingga mengancam ketahanan pangan negara.
Fenomena cuaca El Nino juga akan membuat risiko kekeringan lebih tinggi di masa depan. Studi lainnya meramalkan bahwa El Nino akan terjadi lebih sering dan parah.
Pasokan listrik dari pembangkit yang mengandalkan stabilitas debit air bendungan juga dapat terganggu. Ini sudah terbukti di Sulawesi Selatan yang mengalami banyak kejadian byar-pet alias pemadaman bergilir pada musim kering tahun lalu.
Panas menyengat di perkotaan
Penelitian kami juga mencatat, pada 2100, seluruh penduduk Jawa akan merasakan kenaikan suhu setidaknya 1,5°C-2,5°C. Bahkan, mayoritas penduduk (63%) yang bermukim di kota-kota padat penduduk seperti Jabodetabek, Surabaya, Bandung, dan Semarang dapat terdampak kenaikan suhu 3°C bahkan lebih.
Kenaikan suhu, apabila terjadi saat musim kemarau, berisiko memicu intensifikasi suhu panas di perkotaan (urban heat).
Meskipun ancamannya tidak akan seserius di negara subtropis, suhu panas ekstrem di kota dapat meningkatkan kebutuhan pendinginan dalam ruangan. Walhasil, pada saat tersebut konsumsi energi juga akan meningkat.
Sementara itu, bagi puluhan juta penduduk kota-kota besar di Jawa yang tidak memiliki akses pendinginan memadai, panas ekstrem dapat menurunkan kebugaran, gangguan kecemasan, bahkan kematian.
Tak hanya kekeringan
Tak hanya kekeringan, studi kami juga meramalkan kenaikan hujan deras ekstrem di sepanjang dataran tinggi pulau Jawa. Kenaikannya rata-rata 5,6% di dataran tinggi—apabila dihitung berdasarkan total hujan selama 5 hari berturut-turut.
Hujan yang semakin deras dan sering di wilayah hulu sungai berisiko memicu banjir bandang dan banjir kiriman ke kawasan bantaran sungai di daerah hilir. Fenomena ini juga menaikkan ancaman tanah longsor di lereng-lereng curam.
Ada sekitar 10 jutaan penduduk di kawasan yang membentang sepanjang pegunungan Jawa, mulai dari hulu sungai Cidanau di Banten hingga sungai Bajulmati Banyuwangi, yang berisiko menjadi korban.
Ini belum termasuk kerugian materi apabila bangunan dan hewan ternak tersapu air bah dan longsor. Pasokan komoditas tanaman hortikultura yang acap ditanam di dataran tinggi seperti kentang, tomat, dan sebagainya juga dapat terganggu.
Jika meluas, banjir dari hulu juga dapat merusak pertanian padi juga akan terdampak. Ini terjadi di bantaran sawah Bengawan Solo pada tahun 2007 dan 2013.
Antisipasi sejak dini
Pembuat kebijakan, akademisi, dan masyarakat harus bekerja sama untuk mengembangkan dan menerapkan strategi guna mengurangi dampak peningkatan kejadian ekstrem di masa depan. Proses pengambilan keputusan juga perlu disertai kesadaran akan potensi perubahan di masa depan.
Sektor pertanian Indonesia perlu berbenah. Kita bisa melakukan upaya seperti memperbaiki sistem pengelolaan irigasi, penerapan praktik pertanian yang tahan terhadap kekeringan dan panas ekstrem, dan sebagainya. Petani dan masyarakat juga perlu kita libatkan dalam upaya beradaptasi dengan peningkatan suhu.
Kita pun perlu memerhatikan ancaman banjir dan longsor, khususnya di hulu sungai-sungai besar di Jawa. Pemerintah perlu meredam alih fungsi lahan, mencegah sedimentasi, memulihkan ekosistem alami di sepanjang daerah aliran sungai (DAS), begitu juga daerah tangkapan air di kawasan hulu.
Perancangan infrastruktur mitigasi banjir juga harus mulai mempertimbangkan perubahan pola hujan ekstrem dan banjir di masa depan. Sebagai contoh, dimensi infrastruktur pengendali banjir seperti tanggul tidak bisa lagi kita desain berdasarkan data-data empiris masa lalu.
Sebaliknya, Indonesia harus mendesain dimensi bangunan-bangunan infrastruktur mitigasi bencana dengan mempertimbangkan perubahan pola hujan ekstrem masa depan.
Indonesia juga perlu berinvestasi dalam sistem peringatan dini dan perbaikan infrastruktur pencegah bencana untuk mengurangi risiko bencana terkait cuaca ekstrem. Mitigasi bencana terbukti sangat efektif dan efisien dalam mengurangi kerusakan, korban jiwa, dan kerugian materi ketika bencana terjadi.
Selain itu, saat melakukannya, pemerintah harus memastikan partisipasi masyarakat secara aktif dalam sistem kesiapsiagaan dan respons terhadap bencana. Ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman warga seputar risiko bencana agar mereka bisa meredam dampaknya.