- Industri ekstraktif yang memakai lahan skala besar dan tanaman monokultur tampaknya terus jadi andalan Indonesia. Belum lama ini, muncul lagi rencana pengembangan perkebunan dan industri sawit di Pulau Sulawesi, yang akan membentang dari Sulawesi Selatan hingga Manado, Sulawesi Utara. Mega proyek bernama Sulawesi Palm Oil Belt ini kabarnya akan gunakan lahan seluas satu juta hektar.
- Data Global Forest Watch (GFW), setidaknya di Sulawesi ada 906.100 hektar hutan primer basah hilang pada 2002-2023. Juga ada 2,2 juta hektar tutupan pohon hilang di Sulawesi dalam periode sama.
- Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, mega proyek sejuta hektar kebun sawit ini merupakan ide buruk yang akan memperburuk kondisi ekologis Pulau Sulawesi. Saat ini saja, pulau ini dalam eksploitasi besar-besaran industri ekstraktif.
- Riszki Is Hardianto, peneliti spesies Yayasan Auriga Nusantara menilai, proyek sejuta hektar kebun sawit ini bisa mengancam keanekaragaman hayati Wallacea di Sulawesi. Mega proyek itu kemungkinan buka hutan alam tersisa yang merupakan rumah berbagai spesies endemik.
Industri ekstraktif yang memakai lahan skala besar dan tanaman monokultur tampaknya terus jadi andalan Indonesia. Baru-baru ini, muncul lagi rencana pengembangan perkebunan dan industri sawit di Pulau Sulawesi, yang akan membentang dari Sulawesi Selatan hingga Manado, Sulawesi Utara. Mega proyek bernama Sulawesi Palm Oil Belt ini kabarnya akan gunakan lahan seluas satu juta hektar.
“Pertumbuhan ini tidak hanya meningkatkan pendapatan bagi perusahaan-perusahaan, juga bagi petani kecil, yang bergantung pada budidaya sawit untuk mata pencaharian mereka,” kata Machmud Achmad, Plt Direktur Utama PT Sulsel Citra Indonesia (SCI), seperti dikutip dalam website Gapki Sulawesi.
SCI, yang merupakan Perusahaan Perseroan Daerah (Perseroda) Sulsel dengan Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia (GPPI) menjadi penggagas dalam proyek Sulawesi Palm Oil Belt ini.
Pada 21 Mei lalu, SCI dan GPPI menandatangani memorandum of understanding (MoU) untuk kerjasama mega proyek ini.
Selain kebun-kebun sawit yang sudah ada, dia sebutkan lahan-lahan potensial yang tersebar di Sulawesi. Di Sulawesi Selatan (Sulsel) seluas 100.000 hektar, Sulawesi Tenggara 290.000 hektar, Sulawesi Barat 120.000 hektar, dan Sulawesi Tengah 300.000 hektar. Lalu, Gorontalo 95.000 hektar, dan Sulawesi Utara 70.000 hektar. Sisanya, masih dalam proses identifikasi.
Kedua pihak juga akan bekerjasama dengan perseroda provinsi lain, dan beberapa perusahaan nasional dari BUMN sampai perusahaan Malaysia. Mereka akan membangun hilirisasi sawit dari kawasan industri sampai pabrik-pabrik pendukung, dengan investasi US$80 juta atau sekitar Rp1,3 triliun.
Mega proyek ini akan membangun pabrik sawit berkapasitas 45 ton perjam yang bisa menghasilkan 30 juta liter minyak goreng per tahun. Kemudian, limbah industri akan diolah jadi pupuk organik yang akan dipasarkan ke lahan perkebunan sawit agar industri ini dinilai bersih dan rendah emisi karbon.
Machmud mengklaim, mega proyek ini potensial mengubah perekonomian daerah dan menciptakan lapangan kerja di seluruh provinsi di Sulawesi. Dia bilang, proyek ini akan membantu petani-petani kecil di Sulawesi yang bergantung budidaya sawit.
Proyek ini, katanya, bukan hanya memperoleh dari hasil minyak, juga dari karbon kredit. Kebun sawit akan gunakan pupuk organik yang dapat mereduksi karbon. Sampah sawit, katanya, juga menghasilkan uang.
Ancaman bagi lingkungan
Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai, proyek sejuta hektar kebun sawit ini akan mengancam lingkungan, hutan, keanekaragaman hayati, hingga memperburuk krisis iklim. Pasalnya, perkebunan monokultur berisiko menggerus hutan alam tersisa dan merusak rumah spesies endemik Sulawesi.
Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, mega proyek sejuta hektar kebun sawit ini merupakan ide buruk yang akan memperburuk kondisi ekologis Pulau Sulawesi. Saat ini saja, pulau ini dalam eksploitasi besar-besaran industri ekstraktif.
Selaras dengan data Global Forest Watch (GFW), platform online untuk memantau hutan di seluruh dunia. Dari memperlihatkan, Sulsel kehilangan 104.000 hektar hutan primer basah pada 2002-2023. Periode sama, sekitar 371.000 hektar tutupan pohon di Sulsel hilang, setara menyumbang 229 Mt emisi CO₂e.
Sulbar juga mengalami hal serupa. Dalam 2002-2023, provinsi ini kehilangan 89.300 hektar hutan primer basah, dan kehilangan tutupan pohon 267.000 hektar dalam periode sama. Angka itu setara dengan menyumbang emisi karbon 180 Mt CO₂e.
Adapun Sultra dalam periode sama juga kehilangan 216.000 hektar hutan primer basah, serta kehilangan 552.000 hektar tutupan pohon, atau setara emisi karbon 367 Mt CO₂e. Sulteng juga kehilangan 396.000 hutan primer basah, dan 813.000 hektar tutupan pohon, setara menyumbag emisi karbon 563 Mt CO₂e.
Begitu juga Gorontalo, kehilangan 56.300 hutan primer basah, dan 140.000 hektar tutupan pohon dalam 2002-2023. Kehilangan hutan dan tutupan pohon itu setara emisi karbon 96.5 Mt emisi CO₂e.
Untuk Sulut, dalam 23 tahun kehilangan 44.500 hektar hutan primer basah. Ada sekitar 121.000 hektar tutupan pohon hilang di provinsi itu dalam periode sama atau emisi karbon sebanyak 85.7 Mt CO₂e.
Dari enam provinsi di Sulawesi itu, setidaknya ada 906.100 hektar hutan primer basah hilang pada 2002-2023. Juga ada 2,2 juta hektar tutupan pohon hilang di Sulawesi dalam periode sama.
Data Auriga Nusantara juga menunjukkan, deforestasi Indonesia 2023 mencapai 257.384 hektar, atau mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Angka itu melampaui luas Ibu Kota Nusantara (IKN) 256.100 hektar. Ironisnya, deforestasi itu dominan terjadi dalam kawasan hutan negara.
Deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia, katanya, jadi faktor utama pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer. Laporan Global Carbon Project terbaru menyebut, Indonesia menyumbang 55% dari total emisi sektor lahan di dunia, dan menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar dunia.
Lucunya, kata Uli, proyek sejuta hektar kebun sawit ini justru menggunakan praktik tipuan pemasaran melalui pencitraan palsu dari pemasaran hijau (greenwashing) dengan gunakan pupuk organik agar dapat insentif karbon. Padahal, katanya, aktivitas di hulu industri sawit sudah terbukti kotor karena masih membabat hutan.
“Bagaimana mungkin bisnis di hilirnya bisa mendapatkan insentif karbon, sementara industri hulu hasilkan karbon dengan membabat hutan,” kata Uli kepada Mongabay, Juni lalu.
Proyek ini jadi ironi kalau tetap jalan dengan melihat kondisi dampak krisis iklim yang makin nyata. Apalagi, katanya, saat ini Sulawesi sudah tereksploitasi besar-besaran dari hulu ke hilir oleh pertambangan nikel dan perusahaan perkebunan sawit yang rakus lahan.
Seharusnya, kata Uli, pemerintah mulai setop membuka lahan baru untuk perkebunan sawit, kemudian penataan kembali kelola kebun yang ada. Juga menyelesaikan konflik agraria, sekaligus menagih pertanggungjawaban lingkungan kepada perusahaan sawit yang jadi perusak.
Kalau pemerintah mampu meletakkan keselamatan rakyat dan lingkungan menjadi basis utama, maka kebutuhan domestik Indonesia pasti terpenuhi. Sayangnya, kata Uli, itu tidak terjadi karena sampai hari ini banyak petani sawit justru terasingkan dari rantai bisnis industri sawit.
“Proyek sejuta hektar sawit ini eksploitatif, akan menambah beban baru dan menghilangkan kemampuan ekologis Sulawesi untuk melindungi kehidupan masyarakat sekitar.”
Arie Rompas, Kepala Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menyatakan hal serupa. Dia bilang, proyek sejuta hektar kebun sawit di Sulawesi ini justru akan merugikan Indonesia. Terlebih lagi, sudah ada kebijakan baru Uni Eropa dengan memberlakukan Undang-undang (UU) Anti Deforestasi atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) sejak Mei 2023.
Apalagi, katanya, perusahaan multinasional yang jadi pemasok langsung maupun tak langsung sawit Indonesia mayoritas sudah mengadopsi kebijakan tanpa deforestasi, tanpa gambut, dan tanpa eksploitasi (NDPE) dalam rantai pasok mereka. Belum lagi, katanya, sudah ada komitmen iklim Indonesia melalui dokumen kontribusi nasional penurunan emisi (nationally determined contributions/(NDC).
“Harusnya kebijakan hijau negara-negara maju dan perusahaan multinasional jadi perhatian dalam perencanaan proyek sejuta hektar ini. Proyek ini berpotensi menciptakan deforestasi. Ini akan membatasi bahan baku dan turunannya diterima pasar global,” katanya kepada Mongabay.
Menurut dia, proyek sejuta hektar kebun sawit di Sulawesi ini akan jadi bom waktu dan menambah masalah baru serta bertentangan dengan komitmen iklim Indonesia.
Hutan Sulawesi, katanya, sudah makin tergerus karena ada hilirisasi nikel malah mau ditambah dengan proyek sawit.
Proyek yang dimotori perusahaan daerah di Sulsel ini akan menambah karut marut tata kelola pemerintah. Belum lagi, katanya, kemampuan perusahaan daerah dalam menjalankan bisnis industri sawit masih dipertanyakan.
Perusahaan-perusahaan besar saja, melakukan kesalahan, apalagi perusahaan daerah yang tak punya pengalaman cukup mengelola sawit.
Kalau ingin sejalan dengan komitmen iklim, kata Arie, pemerintah seharusnya membangun pertanian berkelanjutan berbasis ekonomi rakyat. Juga, upaya meningkatkan produktivitas kebun-kebun sawit yang sudah ada, bukan ekspansi atau buka lahan baru.
“Dengan luas 19 juta hektar kebun sawit Indonesia yang sudah ada sebenarnya banyak peluang untuk meningkatkan produktivitas dengan strategi intensifikasi.”
Spesies endemik Wallacea terancam
Sulawesi, salah satu pulau yang masuk di kawasan Wallacea, sebuah zona transisi biogeografis yang kaya keanekaragaman hayati. Wallacea adalah wilayah yang menjadi pertemuan dua benua besar, Asia dan Australia, dan dinamai berdasarkan nama Alfred Russel Wallace, seorang naturalis terkenal yang mengidentifikasi keunikan fauna dan flora di wilayah ini pada abad ke-19.
Kawasan Wallacea terdiri dari Pulau Lombok dan Sulawesi di sebelah barat hingga kepulauan Maluku di sebelah timur. Di utara, Wallacea membentang dari Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara hingga Kabupaten Rote Ndao di sebelah selatan. Garis Wallacea (Wallacea Line) adalah garis imajiner yang menggambarkan batas-batas ini.
Riset Balai Penelitian Kehutanan Makassar menyebut, ada 127 jenis mamalia di Sulawesi, 79 jenis (62%) merupakan endemik. Antara lain, anoa (Bubalus quarlesi dan Bubalus depressicornis), tarsius (Tarsius tarsier), babi rusa (Babyrousa celebensis), dan kuskus beruang Sulawesi (Ailurops ursinus).
Terdapat pula 328 spesies burung, 230 tidak bermigrasi dan 97 spesies endemik Sulawesi. Beberapa burung endemik yang menonjol antara lain, maleo (Macrocephalon maleo), rangkong Sulawesi (Aceros cassidix), dan kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea).
Di Sulawesi juga ada sekitar 104 spesies reptil dan 29 amfibi endemik, seperti, viper Sulawesi (Tropidolaemus subannulatus) dan katak pohon Sulawesi (Rhacophorus edentulus).
Kemudian ada sekitar 92 spesies ikan air tawar, kebanyakan endemik karena sungai dan danau di Sulawesi terisolasi dari sistem perairan lain.
Adapun keanekaragaman flora juga sangat signifikan, dengan banyak spesies tumbuhan hanya ditemukan di pulau ini. Terlebih lagi, vegetasi di Sulawesi mencakup hutan hujan tropis, hutan pegunungan, dan ekosistem savana. Keanekaragaman serangga dan invertebrata lain pun banyak ditemukan di pulau ini.
Riszki Is Hardianto, peneliti spesies Yayasan Auriga Nusantara menilai, proyek sejuta hektar kebun sawit ini bisa mengancam keanekaragaman hayati Wallacea di Sulawesi. Mega proyek itu kemungkinan buka hutan alam tersisa yang merupakan rumah berbagai spesies endemik.
“Dengan luasan begitu besar, akan berisiko besar merambah habitat spesies endemik di Sulawesi,” katanya melalui tulisan yang dikirim ke Mongabay.
Selain itu, kata Riszki, mayoritas spesies endemik di Sulawesi sudah berstatus rentan dan terancam punah karena perburuan dan penurunan kualitas habitat. Dia contohkan, babirusa, endemik mamalia Sulawesi ini, data 2018 terlihat penurunan populasi 30%.
Saat ini, katanya, tinggal sekitar 10.000 babirusa di Sulawesi dengan perkiraan alami penurunan lebih 10% dalam 18 tahun ke depan.
Penurunan populasi babirusa ini, katanya, karena perburuan dan alih fungsi lahan.
Babirusa ditetapkan sebagai satwa dilindungi sejak 1931, dan Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) memasukkan spesies ini ke dalam kategori Appendix 1 sejak 1982. Pemerintah Indonesia pun memasukkan babirusa sebagai spesies dilindungi pada 1999.
Sebenarnya, kata Riszki, ada empat subspesies babirusa di Sulawesi. Satu jenis, Babyrousa babyrussa bolabatuensis sudah dinyatakan punah sejak 1980. Kini tiga jenis babirusa yang ada, babirusa Sulawesi (Babyrousa celebensis), babirusa Togean (Babyrousa togeanensis) dan babirusa Maluku (Babyrousa babyrussa).
Riszki bilang, habitat babirusa lebih 15 juta hektar, tetapi hanya 1,6 juta hektar dalam kawasan konservasi. Sisanya, 13,4 juta hektar di luar kawasan konservasi.
“Itupun 2,2 juta hektar dari 13,4 juta hektar berada di konsesi perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH), perkebunan sawit, tambang, dan area lain.”
Babirusa, katanya, berada di jurang kepunahan karena penebangan komersial dan konversi lahan maupun degradasi hutan.
“Jika penentuan lokasi proyek tidak mempertimbangkan keberadaan satwa endemik tentu akan membahayakan mereka.”
Padangan tak jauh beda dari Gifvents Lasimpo, Direktur Yayasan Kompas Peduli Hutan (Komiu). Proyek ini, katanya, merupakan kebijakan keliru dan hanya menambah catatan buruk kebun sawit Indonesia. Pasalnya, banyak sawit kotor di Sulawesi karena bahan baku dari lahan-lahan terlarang.
Pada 2021, misal, kajian Yayasan Komiu terhadap perusahaan sawit merambah kawasan hutan, termasuk kawasan konservasi di Sulteng. Dari 16 perusahaan sawit di Sulteng, ada tiga perusahaan terindetifikasi merambah kawasan hutan selama dua dekade.
Tiga perusahaan itu, PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) di Banggai, PT Sinergi Perkebunan Nusantara (SPN) di Morowali Utara dan PT Pasangkayu di Donggala. Dari tiga perusahaan itu, KLS terbanyak masuk Suaka Margasatwa Bakiriang.
Setidaknya, ada 3.532 hektar dari 12.309 hektar luas SM Bakiriang jadi kebun sawit yang diduga berelasi dengan KLS. Sekitar 1.077 hektar dari luas itu merupakan kebun sawit yang dibangun pada 2019-2021, atau saat ada Inpres Moratorium Sawit. Sekitar 931 hektar sawit eksisting, dan 1.524 hektar diduga sawit muda.
Dampaknya, kata Gifvents, burung maleo yang mendiami kawasan itu terganggu karena habitat tergerus. Burung endemik Sulawesi ini masuk kategori genting (Endangered-EN) berdasar kriteria The International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Pada 2021, diperkirakan ada 8.000-14.000 maleo dewasa, dengan tren populasi menurun sangat cepat. Sejumlah penelitian menyebutkan, perambahan kawasan hutan termasuk konservasi jadi penyebab utama penurunan populasi.
Praktik serupa, katanya, bisa dilakukan perusahaan-perusahaan yang akan menjalankan proyek ini.
“Dengan luas kebun sawit begitu besar, habitat endemik Sulawesi, termasuk maleo berisiko jadi sasaran empuk.”
******