- Rantau Baru, begitu nama desa yang terletak di Kecamatan Pangkalan Kerinci, Pelalawan, Riau ini. Andai saja tak ada gapura, orang tak akan tahu ada perkampungan yang ditinggali Masyarakat Adat Pebatinan Rantau Baru di sini.
- Masyarakat Pebatinan Rantau Baru punya kearifan lokal dalam mengelola sungai. Ketika mencari ikan, mereka masih menerapkan sistem lelang suak, sungai hingga danau.
- Selain di perairan, Masyarakat Adat Rantau Baru juga bergantung dengan hutan. Mereka punya konsep ruang di darat, seperti, Kepungan Sialang. Ini penamaan buat tegakan pohon yang mengelilingi satu pohon tempat lebah membangun sarang untuk hasilkan madu. Tak boleh ada yang menebang pohon kepungan sialang. Bagi pelanggar, bakal kena denda adat sangat berat.
- Rantau Baru terbilang minim sarana dan prasarana dasar. Akses ke pemukiman belum diaspal hingga jadi terisolir ketika banjir datang dan menggenangi pemukiman selama berbulan-bulan. Sarana kesehatan maupun pendidikan juga minim. Bahkan, sumber air bersih untuk konsumsi warga bergantung air galon. Karena Sungai Kampar tak layak konsumsi lagi.
Rantau Baru, begitu nama desa yang terletak di Kecamatan Pangkalan Kerinci, Pelalawan, Riau. Andai saja tak ada gapura, orang tak akan tahu ada perkampungan yang ditinggali Masyarakat Adat Pebatinan Rantau Baru di sini.
Dari perempatan jalan Kompleks Pemerintah Pelalawan, ada dua gapura. Masing-masing di kilometer lima dan sembilan.
Gapura pertama merupakan gerbang menuju pemerintahan desa dengan sedikit pemukiman penduduk. Lalu, ada satu pintu menuju perkampungan yang berderet di tepian Sungai Kampar.
Desa ini dihuni 217 keluarga. Secara adminsitrasi terbagi dalam tiga dusun, yakni, Sepunjung Indah dan Melako Kocik. Terbaru Sei Pebadaran—lokasi pemerintah desa beroperasi—tempat relokasi masyarakat terdampak banjir. Meski kini, juga terkena limpahan air Sungai Kampar, tiap tahun.
Rantau Baru punya sejarah panjang. Sudah tercatat di peta dalam buku Dwars Doors karangan J.W. Ijzerman (1895) dan peta (1915) yang tersimpan dalam arsip nasional Belanda.
Griven H Putra, Datuk Sati Diraja, pucuk pimpanan Pebatinan Rantau Baru, cerita, sebelum menetap di kampung yang sekarang, masyarakat adat beberapa kali pindah tempat tinggal.
Berdasarkan identifikasi Ara Sati Hakiki bersama masyarakat adat, pemukiman pertama berada di Dusun Terap (Tuo) dekat dengan perbatasan wilayah adat Pebatinan Langgam.
Dari situ, Masyarakat Adat Pebatinan Rantau Baru bergeser sedikit ke hilir, bernama Melako Kocik atau Boko-boko, merujuk nama sungai di seberangnya.
Sungai ini terhubung dengan Sungai Kiyap—juga disebut anak Sungai Boko-boko—yang kemudian jadi wilayah relokasi sebagian masyarakat terdampak banjir pada 1980-an.
Sebelum ke Kiyap, kini Desa Kiyap Jaya, Pebatinan Rantau Baru terlebih dahulu menetap di Rantau Baru yang masih bertahan sampai sekarang. Walau daerah ini langganan banjir tahunan dan makin turun ke hilir.
Griven bilang, karena sering banjir, Datuk Sati Diraja Muhammad Taib, waktu itu, sempat mencari pemukiman baru lagi di Teluk Merbau, hendak kembali ke hulu. Namun rencana urung karena Muhammad Taib meninggal dalam perjalanan pulang usai survei lokasi.
Perahu mereka tenggelam setelah dihantam gelombang besar disertai hujan dan angin kencang. Di Pebatinan Rantau Baru ada tiga suku: persukuan Melayu Tuk Mudo, Melayu Tuk Tuo dan Meliling.
Satu dari sekian banyak tempat yang pernah jadi pemukiman Masyarakat Adat Pebatinan Rantau Baru, hanya Melako Kocik masih berjejak. Sekarang, kawasan ini jadi pemakaman umum bersama para leluhur. Untuk mengantar jenazah, masyarakat membawa dengan perahu menyusuri Sungai Kampar.
Akhwan Binawan, Ketua Badan Pengurus Perkumpulan Ara Sati Hakiki, menyimpulkan, perpindahan Masyarakat Adat Pebatinan Rantau Baru dari satu tempat ke lokasi lain menandakan mereka sudah memiliki ruang hidup dalam wilayah adat sendiri.
“Itu jadi satu informasi memperkuat klaim wilayah adat. Terlepas dari alasan perpindahan itu karena faktor alam atau mitos. Berpindah dalam artian masih di dalam ruang atau wilayah adat sendiri,” kata Wewen, panggilan akrab Akhwan Binawan, 25 Juli lalu.
Sungai, sumber pencarian utama
Sebagian Rantau Baru, merupakan rawa air tawar dengan karakteristik tergenang sepanjang tahun. Berada di dataran rendah dengan ketinggian 7-13 meter di atas permukaan laut (mdpl). Wilayah ini dipengaruhi pasang surut air laut hingga kerap banjir.
Kini, kapasitas dan durasi banjir makin meningkat.
Masyarakat Adat Pebatinan Rantau Baru ini, satu dari 29 pebatinan dalam Orang Petalangan. Kelembagaan adat ini masih aktif dengan struktur yang jelas. Datu Sati Diraja sebagai pucuk pimpinan adat dijabat seseorang dari persukuan Melayu Tuk Tuo.
“Kelembagaan adat faktor kunci upaya pengakuan masyarakat adat. Saat ini, belum ada pengakuan pemerintah daerah,” kata Desti Zarli Mandari, peneliti Ara Sati Hakiki, orang fokus pengakuan masyarakat adat di Riau.
Masyarakat Pebatinan Rantau Baru punya kearifan lokal dalam mengelola sungai. Ketika mencari ikan, mereka masih menerapkan sistem lelang suak, sungai hingga danau.
Setidaknya, ada 28 wilayah tangkap ikan yang dilelang. Antara lain, Danau Sepunjung, Toghok, Teluk Badoghe, Badagu Guntung, Badagu Godang, Malukuik, Suak Timbul Tenggelam, Malipaghi, Soluk Ukam dan Suak Moncik. Lalu, Batang Sadeo, Suak Sadeo, Suak Sekai, Soluk Punggu dan Soluk Kughe. Ada juga Perbaungan, Tuntungan Angin, Suak Potai, Kayu Agho, Kiyap Ketek, Ulung-ulung, Sungai Pudu, Suak Sorik, Sungai Tore dan banyak lagi.
Ada juga danau tak masuk lelang, seperti Danau Sepunjung karena khusus perempuan kepala rumah tangga atau para janda Rantau Baru. Letaknya juga tak jauh, hanya di seberang pemukiman.
Danau Karang juga dapat perlakuan khusus. Uang hasil pelelangan hanya untuk anak yatim. Pemenang lelang di wilayah tangkap ikan ini tidak tunggal, alias diberikan pada siapapun yang memiliki sarana terutama sampan.
Lelang wilayah tangkap ikan dikendalikan tokoh adat dan tiap tahun. Peserta lelang terbatas hanya masyarakat setempat, bisa pribadi namun kebanyakan berkelompok. Model ini sekaligus mengindari kesenjangan sosial antara yang tidak mampu dengan punya modal lebih.
Lagi pula, lelang wilayah tangkap ikan tidak sekadar mengucurkan uang, harus ada kesungguhan setelah mendapatkan dan memanfaatkannya. Perlu kerja keras menyiapkan sarana prasarana penangkapan ikan, seperti cari bambu dan kayu buat bubu—alat tangkap ikan tradisional. Terkadang tidak semua bisa melakukan hingga perlu tenaga orang lain.
“Pelelangan itu sudah berlaku sejak nenek moyang. Supaya anak kemenakan tidak ribut mencari ikan. Tidak ada kesenjangan sosial. Sebelum itu muncul, sudah kami (tokoh adat) pikirkan. Bahwa pemenang lelang dalam satu wilayah tangkap tidak hanya satu orang. Bedagu Guntung ada tujuh keluarga di dalamnya,” kata Marjohan, Datuk Majosindo, Ninik Mamak Persukuan Melayu Tuk Tuo.
Masyarakat yang belum punya kesempatan, dalam lelang masih bisa mencari ikan di sepanjang Sungai Kampar.
Mengingat wilayah tangkap ikan yang dilelang itu hanya percabangan atau anak sungai, bahkan wilayah genangan yang tersembunyi di dalam wilayah adat Rantau Baru.
“Intinya, untuk pelelangan sungai ini dananya buat kemajuan kampung. Meningkatkan nilai-nilai bermasyarakat,” terang Kepala Desa Rantau Baru, Nurzikri Anton.
Hak penguasaan wilayah tangkap ikan berlangsung satu tahun. Mereka dilarang menggunakan racun sekalipun tuba dari akar kayu. Juga dilarang pakai alat tangkap tak ramah lingkungan, termasuk tak boleh merusak ekosistem di sekitar areal tangkap. “Misal, mengambil atau menebang kayu. Bentuk pelestarian hutan.”
Tahun ini, dari hasil lelang terkumpul Rp66 juta lebih, tertinggi yang pernah ada. Hasil sepenuhnya dikelola tokoh adat buat kegiatan sosial, keagamaan dan pelestarian tradisi. Termasuk membangun sarana prasarana pendukung aktivitas masyarakat adat, pemuda maupun memuliakan anak yatim.
“Itulah hebatnya masyarakat dulu. Punya APBDes (anggaran pendapatan dan belanja desa) untuk mengelola masyarakatnya. Bahkan para datuk kami dulu menyerahkan pajak pada Belanda,” ucap Griven yang dinobatkan sebagai Datu Sati Diraja, setahun lalu.
Lelang wilayah tangkap ikan di Rantau Baru bertujuan mengantisipasi perebutan lokasi oleh masyarakat sekaligus mengendalikan penangkapan ikan berlebih. “Pemangku adat berhasil mengatur wilayah kelola yang adil bagi seluruh masyarakat,” kata Desti, pada diskusi budaya dan lingkungan, 17 Juli lalu.
Bagi peneliti, lelang ini juga bermanfaat buat tersedianya data produksi ikan dari tiap wilayah tangkap. Penelitian Ara Sati Hakiki bersama Universitas Kyoto, Jepang pada 2019, mengidentifikasi 28 jenis ikan berdasarkan hasil tangkapan masyarakat.
Kalau diteliti lebih detail dengan metode dan teknologi, Desti meyakini jenis ikan di Sungai Kampar sampai sudut dan cabang sungai sekitar lebih dari itu.
Dia pernah meneliti jenis ikan khusus di Danau Sepunjung pada 2023, tempat khusus perempuan kepala rumah tangga. Ada 17 jenis ikan, antara lain masih ditemukan belida yang dilindungi.
Kelimpahan ikan di Sungai Kampar termasuk di wilayah pelelangan biasa terjadi pada dua kondisi, saat musim hujan dan pasca banjir surut. Masyarakat adat biasa ramai ikut lelang setelah terjadi dua kondisi ini.
Hasil lelang membludak tahun ini, setelah banjir pada penghujung 2023 sampai awal tahun.
Konsep ruang di darat
Selain di perairan, Masyarakat Adat Rantau Baru juga bergantung dengan hutan. Mereka punya konsep ruang di darat, seperti, Kepungan Sialang. Ini penamaan buat tegakan pohon yang mengelilingi satu pohon tempat lebah membangun sarang untuk hasilkan madu.
Luas satu Kepungan Sialang mengikuti tinggi pohon utama yang jadi rumah lebah. Misal, tinggi pohon 30 meter maka luas kepungan sialang juga mengikuti ukuran itu.
Masyarakat Pebatinan Rantau Baru mengukur tinggi pohon berpatokan dengan tali bintik, satu dari banyak peralatan untuk memanjat pohon dan mengambil madu.
Tiap persukuan di Rantau Baru memiliki Kepungan Sialang. Sialang paling sering ditemui jenis rengas (Gluta renghas L) dan cubadak air (Artocarpus maingiayi).
Satu sialang tidak bisa berdiri sendiri, mesti di kelilingi tegakan pohon lain yang menjadi sumber makanan bagi lebah. Bahkan, lebah akan pindah ke pohon sekitar kalau tempat sebelumnya penuh sarang madu.
Hasil pendataan Ara Sati Hakiki berdasarkan informasi masyarakat adat, setidaknya terdapat sembilan jenis pohon pendukung di sekitar pohon sialang tempat lebah menghasilkan madu. Antara lain, pohon balanti (Sterculia gilva mig), gadabu (Pentace triptera mast), cemeram (Palaquium spp), putat (Barringtonia spicata bl), dan gonggo (Cratoxylum arborescens). Juga ukam (Flacourtia rukam), kapayang (Pangium edule), simpu (Dillenia indica) dan kiling koro (Dysoxylum alliaceum).
Pohon sialang maupun sejumlah pohon yang mengelilinginya tidak boleh ditebang. Merusak satu batang pohon kepungan sialang saja akan kena denda adat. Perbuatan itu disamakan dengan membunuh manusia. Bila terjadi, pohon yang ditebang dengan sengaja biasa akan diselimuti kain putih dari pangkal hingga pucuk pohon. Lalu dikuburkan layaknya manusia.
“Simbol kematian manusia,” kata Griven.
Pelaku juga kena uang pengganti Rp250 juta per batang pohon yang ditebang. Selanjutnya, menyelenggara kenduri adat dengan menyembelih satu kerbau plus 30 gantang beras, lengkap dengan rempah-rempah buat bumbu masakan untuk makan bersama anak kemenakan dan seluruh masyarakat.
Dari pemetaan Ara Sati, setidaknya masih tersisa enam kepungan sialang Suku Melayu Tuk Tuo, Meliling dan Melayu Tuk Mudo dengan luas 741,5 hektar. Selain milik persukuan, kepungan sialang juga punya keluarga dengan syarat ditunjuk atau diberi pimpinan suku, setelah melalui prosesi adat.
Menjaga kepungan sialang juga menjaga keanekaragaman jenis pohon. Sekaligus menjaga tradisi menumbai atau memanen madu yang jadi warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak 2015.
“Kepungan sialang adalah bentuk pengetahuan masyarakat jaga alam. Hingga alam juga menjaga mereka. Juga praktik konservasi. Bukti masyarakat adat sudah punya konsep pengelolaan hutan lestari,” kata Wewen.
Upaya, peluang dan tantangan
Saat ini, Masyarakat Adat Pebatinan Rantau Baru tengah mengajukan hutan adat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hanya saja, pemerintah daerah perlu mengeluarkan kebijakan pengakuan masyarakat hukum adat.
“Harapan kami, terjamin kelangsungan ruang hidup masyarakat adat, perlindungan ekosistem air tawar, berkontribusi dalam pengelolaan wilayah adat berkelanjutan,” kata Desti.
Rantau Baru terbilang minim sarana dan prasarana dasar. Akses ke pemukiman belum diaspal hingga jadi terisolir ketika banjir datang dan menggenangi pemukiman selama berbulan-bulan.
Sebagian bertahan karena tempat tinggal mereka umumnya bangunan panggung. Beberapa pilih mengungsi ke luar kampung. Banjir turut melumpuhkan ekonomi nelayan. Hanya mereka yang punya persediaan cukup yang bertahan. Repotnya ketika ada musibah atau kepentingan mendesak, masyarakat sulit berbuat banyak.
Saat ini, katanya, hanya ada satu fasilitas kesehatan berupa posyandu dan rumah bidan. Hanya bidan tidak tinggal di kampung itu. Prasarana pendidikan ada satu taman kanak-kanak tetapi tidak berfungsi. Ada satu sekolah dasar. Tidak ada sekolah menengah pertama apalagi menengah atas.
Griven berniat menyediakan rumah baca dengan program satu jam bersama buku bagian kegiatan masyarakat adat untuk meningkatkan sumber daya manusia anak kemenakan. Ayah Griven, dulu kepala sekolah. Di rumahnya ada warisan satu lemari buku.
Rumah orangtua Griven masih berdiri kokoh sampai saat ini. Ia paling antik dan unik bahkan paling kuno diantara rumah penduduk lain. Sebagian materialnya masih dipertahankan. Dinding rumah masih ditutupi dengan kulit kayu. Hanya lantai berganti papan. Sebelumnya disusun dari batang pinang.
“Buku-buku itu akan dipindahkan ke rumah baca, nantinya. Mendirikan perpustakaan sangat penting bagi kemajuan masyarakat adat.”
Rantau Baru juga tak ada pasar. Padahal ikan hasil tangkapan nelayan sangat melimpah. Masyarakat hanya menjual ke tengkulak atau membawa langsung ke ibu kota kabupaten lewat orang utusan. Ikan dari Sungai Kampar ini juga menyuplai kebutuhan gizi masyarakat Sumatera Barat.
Masyarakat Adat Pebatinan Rantau Baru juga perlu air bersih buat mandi dan konsumsi. Saat ini, mereka pakai air galon dari Pangkalan Kerinci. Air Sungai Kampar kini tak lagi layak konsumsi.
*******
Kala Proyek Panas Bumi Ancam Ruang Hidup Masyarakat Adat di Pulau Buru