Teknologi.id – Saat ini teknologi AI tengah ramai dijual di pasaran untuk menarik minat konsumen. Hal ini karena AI diklaim mampu memudahkan pekerjaan kita.
Sayangnya, ketertarikan konsumen ini malah memunculkan praktik AI-Washing di antara pebisnis teknologi. Sama seperti greenwashing, AI-Washing merupakan pemasaran produk yang diklaim menggunakan teknologi AI padahal sebenarnya bukan.
Fenomena AI-Washing ini dinilai dapat mengganggu kelangsungan bisnis teknologi. AI-Washing dikhawatirkan dapat menghambat perkembangan teknologi AI, menganggu kepercayaan konsumen, dan menyulitkan untuk mencari inovasi terbaru terkait teknologi AI.
Menurut pakar dari Institut Etika Kecerdasan Buatan Mnchen, Christoph Ltge menyebutkan istilah AI digunakan dengan cara yang beragam. Salah satunya adalah pembuatan klaim yang tak berdasar mengenai AI dari perusahaan teknologi.
Baca Juga: Revolusi Pendidikan Tinggi: Kemendikbudristek Siapkan Panduan AI Hadapi Era Digital
“Tantangannya adalah sulit untuk menangani AI-Washing dari sudut pandang hukum karena istilahnya terlalu samar. Situasinya juga berbeda jika dilihat dari sudut pandang etika. Sebaiknya ada pakar yang dapat membimbing badan regulasi dan masyarakat,” tuturnya.
Banyaknya praktik AI Washing dalam industri teknologi menciptakan masalah yang dapat mengacaukan orientasi pasar karena konsumen merasa tertipu. Hal ini menjadi problem tersendiri bagi investor. Tak berhenti di situ, pperusahaan pun dapat membuat tujuan yang mustahil karena adanya distorsi dari teknologi AI.
Di awal 2024, Komisi Sekuritas dan Bursa AS, SEC, mengumumkan penyelesaian tuntutan kepada Delphia dan Global Predictions sebagai perusahaan investasi. Hal ini karena kedua perusahaan tersebut membuat pernyataan palsu dan menyesatkan tentang dugaan penggunaan AI. Berdasarkan putusan, kedua perusahaan sepakat menyanggupi tuntutan yang di ajukan SEC di luar siding dan membayar denda sebesar 400.000 dollar AS.
SEC Mengatakan, Delphia membuat pernyataan palsu terkait AI. Delphia mengklaim memiliki data kolektif yang digunakan untuk membuat teknologi AI miliknya dapat memprediksi perusahaan dan tren yang akan menjadi besar dan mengajak orang berinvestasi di dalamnya sebelum orang lain. Pasalnya, sebenarnya Delphia tidak memiliki kemampuan AI seperti yang dikatakan dalam klaim.
Sedangkan Global Predictions membuat pernyataan yang keliru dengan mengklaim di situs dan media sosial resminya bahwa perusahaannya merupakan penasihat keuangan AI teregulasi pertama. Kemudian, Global Predictions juga mengklaim bahwa platformnya menyediakan perkiraan yang didorong oleh ahli.
Baca Juga: Canva Akuisisi Leonardo AI, Wujudkan Misi Pimpin AI Desain dan Visual
“Kami telah melihat berkali-kali bahwa ketika teknologi baru muncul, teknologi tersebut dapat menciptakan kehebohan dari investor serta klaim palsu oleh mereka yang mengaku menggunakan teknologi baru tersebut,” sebut Ketua SEC Gary Gensler dalam pernyataan pers.
Menurutnya, penasihat investasi tidak boleh menyesatkan publik dengan klaim menggunakan teknologi AI. Praktik-praktik itu dinilai dapat merugikan investor. Sebelumnya perusahaan Coca-Cola mendapatkan reaksi keras karena diduga melakukan praktik AI-Washing. Pada September 2023, Coca-Cola merilis produk Coca-Cola Y3000 yang dinyatakan dibuat menggunakan teknologi AI.
Perusahaan modal ventura, MMC Ventures pada 2019 melaporkan terdapat lebih dari 2.830 perusahaan startup Eropa yang digolongkan sebagai perusahaan AI. Tetapi, sekitar 40 persen di antaranya tidak mempunyai kapasitas teknologi AI.
Pada 1 Agustus 2024, Undang-Undang AI Uni Eropa mulai diberlakukan. Ketentuan-ketentuan yang tertulis dalam undang-undang tersebut akan berlaku secara bertahap mulai 6 bulan hingga 36 bulan mendatang. Undang-Undang AI Uni Eropa ini mengatur berbagai macam hal mengenai AI salah satunya risiko terbatas yang bertujuan untuk memastikan pengguna bahwa mereka sedang berkomunikasi dengan AI sehingga mereka dapat membuat keputusan yang tepat.
Baca Berita dan Artikel lain di Google News.
(sap)