Cemari Lingkungan, Pemerintah Setop Operasi Tambang Tembaga di Pacitan

cemari-lingkungan,-pemerintah-setop-operasi-tambang-tembaga-di-pacitan
Cemari Lingkungan, Pemerintah Setop Operasi Tambang Tembaga di Pacitan
service
Share

Share This Post

or copy the link
  • Setelah mendapat keluhan sejak lama dari masyarakat, akhirnya Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menghentikan sementara operasi perusahaan tambang tembaga, PT Gemilang Limpah Internusa (GLI) di Pacitan, Jawa Timur. Penghentian operasi perusahaan asal Tiongkok ini atas dugaan pencemaran lingkungan dari perairan sampai ke lahan pertanian masyarakat.
  • Dalam tulisan-tulisan Mongabay, sebelum ini memperlihatkan aktivitas GLI menjadi sorotan lantaran dinilai sebagai sumber pencemar hingga menyebabkan lingkungan sekitar rusak. Terlebih, lokasi pertambangan berada di dataran tinggi, tepatnya di Desa Kluwih, Kecamatan Tulakan,  yang berdampak pada area di bawahnya.  Masyarakat sejak lama mendesak penyetopan operasi tambang ini.
  • Purnawan D Negoro,  Ahli Hukum Lingkungan Universitas Widyagama, Malang, mengatakan, pencemaran di Pacitan ini sebagai bukti lemahnya kontrol pemerintah. Pemerintah, tidak menjalankan fungsi pengawasan dengan baik atas praktik dan dampak pertambangan perusahaan.
  • Wahyu Eka Setiawan,  Direktur Walhi  Jatim, menyayangkan sikap pemerintah yang dinilai kurang tegas. Penutupan sementara, hanya akan membuka ruang bagi perusahaan kembali mencemari ketika beroperasi lagi.

Setelah mendapat keluhan sejak lama dari masyarakat, akhirnya Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menghentikan sementara operasi perusahaan tambang tembaga, PT Gemilang Limpah Internusa (GLI) di Pacitan, Jawa Timur. Penghentian operasi perusahaan asal Tiongkok ini atas dugaan pencemaran lingkungan dari perairan sampai ke lahan pertanian masyarakat.

Cici Roudlotul Jannah,  Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pacitan, membenarkan penghentikan kegiatan GLI itu. Langkah itu, katanya, tindak lanjut atas hasil pemeriksaan tim terpadu terkait dugaan pencemaran perusahaan terhadap lahan-lahan pertanian warga.

“Kami tidak mendapat tembusan (surat). Tapi, kami mendapat informasi dari Gakkum jika GLI dihentikan untuk sementara waktu oleh Kementerian ESDM berdasarkan rekomendasi dari Gakkum atas hasil pemeriksaan tim terpadu,” katanya melalui aplikasi percakapan kepada Mongabay, Sabtu (3/8/24).

Dalam tulisan-tulisan Mongabay, sebelum ini memperlihatkan aktivitas GLI menjadi sorotan lantaran dinilai sebagai sumber pencemar hingga menyebabkan lingkungan sekitar rusak. Terlebih, lokasi pertambangan berada di dataran tinggi, tepatnya di Desa Kluwih, Kecamatan Tulakan,  yang berdampak pada area di bawahnya.  Masyarakat sejak lama mendesak penyetopan operasi tambang ini.

Salah satu wilayah terdampak adalah Dusun Kwangen, Desa Cokrokembang, Kecamatan Ngadirojo, Lokasi tepat berada di bawah Desa Kluwih. Ratusan petani dari desa ini alami gagal panen dan tak bisa menggunakan lahan.  Penyebabnya, sungai yang menjadi sumber irigasi diduga tercemar. Ikan-ikan yang tadinya ada di sungai, pun tak lagi ditemui.

Warga pun senang penyetopan operasi tambang ini. Gunadi, Kepala Desa Cokrokembang, mengatakan, selama ini, kegiatan GLI tidak banyak memberi manfaat kepada warga sekitar. Banyak petani merugi karena lahan mereka tak lagi bisa ditanami.

“Maka begitu tahu sekarang ditutup, kami senang, karena itu yang ditunggu-tunggu warga selama ini toh. Kalau bisa ya tutup permanen, tidak hanya dihentikan sementara seperti sekarang,” katanya melalui sambungan seluler.

Terlepas dari penghentian sementara GLI, Gunadi berharap pemerintah segera menuntaskan penyelesaikan ganti rugi kepada para petani terdampak. Para petani, katanya,  sudah terlalu lama bersabar menanggung beban atas berbagai dampak perusahaan.

“Kapan hari itu surat dari kelompok tani sudah kami kirimkan. Tapi belum tahu kabarnya sampai sekarang belum ada perkembangan.“

Dia berharap,  kompensasi segera terealisasi karena berkaitan dengan hajat para petani.

Gunadi bilang, ada sekitar 200 lebih petani terdampak karena limbah GLI. Mereka sudah keluar modal untuk bertanam, tetapi gagal.

Menuju terowongan penggalian tambang tembaga. Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

Siap patuhi

Badrul Amali,  Penasihat Hukum GLI membenarkan penghentian sementara aktivtas Perusahaan itu. “Betul, sebagaimana surat yang kami terima dari KESDM. Perlu saya tegaskan,  bahwa ini hanya penghentian sementara ya, bukan penutupan,” katanya melalui sambungan telepon, Jumat (3/8/24).

Badrul merasa perlu mengklarifikasi karena informasi yang beredar di masyarakat adalah ‘penutupan’, bukan ‘penghentian sementara’. Padahal,  katanya, dua istilah itu memiliki arti dan konsekuensi berbeda.

Penutupan, kata Bardul, berarti perusahaan tutup dalam jangka waktu panjang, bahkan selamanya. Sementara ‘penghentian’, kendati pun tidak ditentukan durasi waktunya, dia meyakini sekitar 3-4 bulan, bergantung kemampuan perusahaan lakukan perbaikan.

“(Penghentian sementara) ini kan untuk memberi waktu ke kami untuk perbaikan-perbaikan itu, sesuai arahan dari Gakkum. Seperti IPAL dan sebagainya. Kalau itu selesai ya berarti kami sudah bisa beroperasi lagi. Meski tidak tahu sampai kapan, pastinya lebih cepat lebih baik.”

Barul memastikan komitmen Perusahaan mematuhi apapun keputusan pemerintah. Dia berharap, penghentian sementara ini tidak berlangsung lama karena pasti berdampak pada kondisi para pekerja.

Dia bilang, ada sekitar 50 orang didominasi warga sekitar menggantung hidup sehari-hari bekerja di GLI.

Sementara waktu, katanya, agar mereka tetap bisa mendapatkan pendapatan, para pekerja ini dialihkan membantu pengerjaan perbaikan. “Kami tentu juga akan kerepotan juga kalau perusahaan tidak segera jalan. Bagaimana kami bisa membiayai operasinal kami. Seperti listrik dan membayar pekerja ini.”

Tambang GLI, kata Badrul,  tak seperti yang ada di pikiran banyak orang. Dia mengklaim, tambang dilakukan secara manual oleh manusia, tidak menggunakan peledak. Karena itu, material tambang pun kecil, hanya Rp15 juta per hari (kotor).

“Dengan operasional listrik dan para pekerja, itu tidak menguntungkan. Jadi, ini seperti hidup segan mati pun tak mau. Yang penting jalan itu saja,” katanya.

Lahan pertanian warga di Pacitan, terdampak limbah tambang tembaga hingga tak tumbuh subur. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

Pelanggaran HAM

Purnawan D Negoro,  Ahli Hukum Lingkungan Universitas Widyagama, Malang, memberikan sejumlah catatan terkait kasus di Pacitan ini. Pertama, penghentian sementara tidak berarti aktivitas GLI tutup selamanya. Selama izin operasi produksi tidak dicabut, peluang perusahaan kembali beroperasi masih sangat terbuka.

“Jadi, penghentian sementara ini semata memberi kesempatan perusahaan melakukan pembenahan. Terutama di sistem pengolahan limbah atau yang lain,” kata akademisi yang akrab disapa Pupung ini.

Terlepas aktivitas GLI kini setop sementara, pencemaran di Pacitan ini sebagai bukti lemahnya kontrol pemerintah. Pemerintah, kata Pupung, tidak menjalankan fungsi pengawasan dengan baik atas praktik dan dampak pertambangan perusahaan.

“Pemerintah hanya mengeluarkan izin, tetapi bagaimana pengawasan, tidak kuat. Inilah salah satu bentuk tidak bertanggung jawabnya pemerintah itu.”

Buntut sikap abai itu kemudian menjadikan pencemaran terus berlangsung hingga menghancurkan ruang hidup masyarakat.

Pupung mengatakan, ruang hidup merupakan bagian dari hak asasi manusia. Karena ruang hidup sehat akan mencipatkan kenyamanan dan ketentraman. Sebaliknya, tak satu pun manusia bisa hidup tenang dalam kondisi lingkungan atau ruang hidup rusak dan tercemar. “Itu jelas, tidak bisa dibantah. Membiarkan kerusakan ruang hidup adalah bagian dari pelanggaran HAM.”

Perusahaan pun wajib memberi kompensasi kepada masyarakat terdampak.

Industri ekstraktif, kata Pupung,  merupakan investasi rentan merusak lingkungan. Dalam konteks di Pacitan, kerusakan itu tidak hanya terjadi pada lahan-lahan pertanian warga juga sungai yang sebelumnya banyak menyimpan keanekaragamanhayati. Ikan sidat,  misal, sebelumya jadikan sungai di Cokrokembang sebagai tempat pemijahan, kini tak lagi ada.

“Dampak hilang kekayaaan alam itu yang seringkali tidak pernah dihitung. Padahal, sangat mungkin kekayaan hayati di sungai di Pacitan ini, tidak bisa ditemui di tempat lain.”

Melihat berbagai dampak yang ditimbulkan, peluang masyarakat mengajukan gugatan secara hukum (class action) pun sangat terbuka.

Juli Agus Setiawan,  Koordinator Kelompok Swadaya Masyarakat (Pokmaswas) Peduli Pacitan, mengamini pernyataan Pupung. Menurut dia, seyogyanya pemberian ganti rugi tak hanya terbatas pada para petani pemilik lahan. Sebab, dampak dari tercemarnya sungai tidak hanya dirasakan para petani, juga masyarakat umum.

“Kalau hanya petani pemilik lahan yang mendapt ganti rugi, lalu rusaknya kualitas sungai karena tercemar siapa yang akan mengganti rugi? Padahal, sungai itu juga banyak dimanfaatkan warga untuk kebutuhan lain. Dan itu juga harus dapat kompensasi.”

Pemerintah setop sementara operasi tambang Pacitan. Foto: A. Asnwi/Mongabay Indonesia

Seharusnya tutup permanen

Wahyu Eka Setiawan,  Direktur Walhi  Jatim, menyayangkan sikap pemerintah yang dinilai kurang tegas. Penutupan sementara, katanya, hanya akan membuka ruang bagi perusahaan kembali mencemari ketika beroperasi lagi.

“Harusnya ditutup permanen, sudah banyak bukti aktivitas perusahaan ini menimbulkan dampak dan merusak ruang ruang hidup masyarakat sekitar. Seharusnya, pemerintah tidak perlu berkompromi dengan pencemar lingkungan seperti ini,” katanya.

Menurut Wahyu, dugaan pencemaran GLI sudah begitu terang benderang. Karena itu, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk bersikap kompromistis. Sebaliknya, kesempatan itu harus jadi sebagai momentum demi memunculkan efek jera bagi para pelaku usaha yang aktivitasnya berpotensi mencemari lingkungan.

Wahyu bilang, Undang-undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup detil mengatur pemberian sanksi bagi para pelaku. “Gakkum KLHK harus konsisten memberikan sanksi itu, karena Undang-undangnya sudah ada.”

Pemerintah,  katanya, harus meminta perusahaan membayar ganti rugi kepada masyarakat terdampak. Sekaligus pemulihan lingkungan yang seluruh pembiayaan ditanggung perusahaan, bukan dana negara.

Dusun Kwangen, Desa Cokrokembang, Kecamatan Ngadirojo. Foto: A.Asnawi/Mongabay Indonesia

*******

Terus Cemari Lahan, Desak Tambang Tembaga Pacitan Setop Operasi

0
mutlu
Happy
0
_zg_n
Sad
0
sinirli
Annoyed
0
_a_rm_
Surprised
0
vir_sl_
Infected
Cemari Lingkungan, Pemerintah Setop Operasi Tambang Tembaga di Pacitan

Tamamen Ücretsiz Olarak Bültenimize Abone Olabilirsin

Yeni haberlerden haberdar olmak için fırsatı kaçırma ve ücretsiz e-posta aboneliğini hemen başlat.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Login

To enjoy Foxiz.my.id privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Bizi Takip Edin