- Ekosistem mangrove sangat penting bagi lingkungan dan kehidupan manusia. Mangrove menjaga pesisir dari abrasi dan juga dari terjangan ombak.
- Menjaga dan merehabilitasi mangrove dapat mengurangi dampak perubahan iklim yang saat ini terjadi dan memberi manfaat bagi masyarakat yang hidup di kawasan pesisir.
- Luas mangrove di Sumatera Utara sekitar 490 hektar, terdiri atas mangrove lebat [42.500 hektar], mangrove sedang [6.112 hektar], dan mangrove jarang [8.878 hektar].
- Kerusakan mangrove dapat disebabkan karena konversi lahan menjadi area penggunaan lain, perambahan, hama dan penyakit, pencemaran dan perluasan tambak, serta praktik budidaya tidak berkelanjutan.
Bagaimana kondisi mangrove di Sumatera saat ini?
Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara Arief Sudarto Trinugroho mengatakan, luas mangrove di Sumatera Utara sekitar 57.490 hektar. Kondisinya, mangrove lebat [42.500 hektar], mangrove sedang [6.112 hektar], dan mangrove jarang [8.878 hektar].
“Ini data hingga Maret 2024. Jika dilihat data 2022, luas mangrove di Sumatera Utara diperkirakan sekitar 67.586,” jelasnya, Selasa [4/6/2024].
Arief mengatakan, didukung BRGM sejak 2022, pihaknya sudah merestorasi mangrove di lima wilayah prioritas. Areal itu adalah Kabupaten Asahan [109 hektar], Kabupaten Deli Serdang [90 hektar], Kota Medan [14 hektar], Kabupaten Labuhan Batu Utara [89 hektar], dan Kabupaten Langkat [71 hektar].
Restorasi mangrove juga, tambah Arief, diperluas di 12 kabupaten dan kota, yaitu Asahan, Batu Bara, Deli Serdang, Kota Medan, Labuhan Batu, Labuhan Batu Utara, Langkat, Mandailing Natal, Nias Selatan, Nias Utara, Serdang Bedagai, dan Tapanuli Tengah.
“Restorasi terus dilakukan hingga sekarang. Ada 93 desa dan 34 kecamatan yang dilibatkan dalam percepatan restorasi,” terangnya.
Badan Restorasi Gambut dan Mangrove [BRGM] pada 2021, merehabilitasi mangrove di Sumatera Utara dengan luasan 21,37 ribu ha senilai Rp320 miliar, melibatkan 152 desa di 52 kecamatan dan 16 Kabupaten.
Berdasarkan Peta Mangrove Nasional yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2021, ada tiga klasifikasi mangrove sesuai persentase tutupan tajuk yaitu mangrove lebat, mangrove sedang, dan mangrove jarang. Merujuk pada SNI 7717-2020, mangrove lebat adalah mangrove dengan tutupan tajuk >70%, mangrove sedang dengan tutupan tajuk 30-70%, sementara mangrove jarang tutupan tajuknya <30%.
Baca: Jaga Hutan Mangrove Tak jadi Sawit, Ilham Ditangkap Polisi
Penjabat [Pj] Gubernur Sumatera Utara, Agus Fatoni, mengatakan penanaman satu juta pohon di wilayah kritis, termasuk pohon bakau di sejumlah lokasi terus dilakukan. Selain itu, restorasi mangrove di Sumatera Utara juga terus dijalankan.
Sepanjang 2023, Pemerintah Sumatera Utara telah menanam 41 juta pohon di lahan kritis seluas 74 ribu hektar dan 41 juta pohon di kawasan hutan seluas 72 ribu hektar.
“Penanaman harus cepat dilakukan, karena sangat bermanfaat untuk alam, lingkungan, dan masyarakat,” jelasnya, Rabu [31/7/2024].
Baca juga: Ketangguhan Mangrove Menjaga Pesisir Bumi
Perambahan Hutan Batang Toru
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Eksekutif Daerah Sumatera Utara [Walhi Sumut], dalam laporannya ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabupaten Tapanuli Selatan, menjelaskan pada 10 Mei 2024, ditemukan aktivitas pembalakan liar di hutan Ekosistem Batang Toru atau Harangan Tapanuli. Kegiatan tersebut berada di Desa Bulu Mario, Desa Aek Batang Paya, Desa Batu Satail, dan Dusun Huraba.
Rianda Purba, Direktur Eksekutif Walhi Sumut menyatakan, wilayah tersebut merupakan kawasan dengan skema areal penggunaan lain-pemegang hak atas tanah [APL-PHAT] di kawasan Ekosistem Batang Toru yang telah dibebani perizinan non-kehutanan, berdasarkan Ayat 3 Pasal 175 Permen LHK No. 8 Tahun 2021 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan.
“Hal ini mengindikasikan adanya pelanggaran dilakukan sebuah perusahaan beraktivitas di sana yang berujung pada berkurangnya tutupan lahan dan rusaknya habitat satwa,” jelasnya, Minggu [4/8/2024].
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabupaten Tapanuli Selatan, Ongku Medan Atas, menyatakan bahwa pemanfaatan kayu di APL-PHAT yang dilakukan UD Anggara, belum mengantongi izin pembukaan lahan dan perizinan berusaha. Juga, belum memiliki izin/persetujuan lingkungan.
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tapanuli Selatan telah meminta Balai Pengelolaan Hutan Lestari Wilayah II Medan untuk membatalkan persetujuan pemanfaatan kayu tersebut.
“Diharapkan kesediaan Bapak Kepala Balai Pengelolaan Hutan Lestari Wilayah II agar membatalkan persetujuan pemanfaatan kayu yang diberikan terhadap UD Anggara,” sebagaimana keterangan tertulisnya.
Kawasan Ekosistem Batang Toru berada di Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Ekosistem ini memiliki satwa kunci yang dapat dijadikan indikator kelestarian suatu kawasan hutan yaitu tapir sumatera, harimau sumatera, dan orangutan tapanuli.