Prabowo – Gibran yang pencalonannya sebagai presiden dan wakil presiden memantik kontoversi akan bekerja mulai 20 Oktober 2024.
Untuk mengawal pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauPrabowo yang memuat isu-isu penting hasil pemetaan kami bersama TCID Author Network. Edisi ini turut mengevaluasi 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, sekaligus menjadi bekal Prabowo – Gibran menjalankan tugas.
Tahun 2024 adalah tahun transisi kepemimpinan bagi Indonesia, baik dalam bidang energi maupun kepemimpinan. Dengan terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden, rencana transisi energi di Indonesia adalah salah satu yang paling dinantikan.
Namun, sangat mungkin rencana ini akan tetap mengikuti jalur yang sama dengan yang ditetapkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sejauh ini, pengembangan energi terbarukan seperti angin, matahari, dan bioenergi, masuk dalam visi pertama Astacita Prabowo.
Indonesia memang memiliki kekayaan energi terbarukan yang melimpah. Ada sekitar 419 gigawatt potensi energi terbarukan yang masih belum dimanfaatkan. Kekayaan tersebut semestinya dapat membantu target bebas emisi atau Net Zero Indonesia pada 2060.
Namun, transisi ke energi terbarukan dan fokus pada kapasitasnya saja tidaklah cukup. Indonesia berada dalam posisi yang memprihatinkan sebagai penghasil emisi terbesar kesembilan di dunia. Untuk mengatasi hal ini, Perusahaan Listrik Negara (PLN) menargetkan 24% dari pembagian listrik berasal dari energi terbarukan pada tahun 2030.
Pembahasan target tersebut tidaklah cukup untuk memastikan transisi energi benar-benar bersih dan berkeadilan. Kita juga harus memahami bahan baku yang dibutuhkan untuk teknologi energi bersih tersebut, terutama urusan pertambangannya yang menjadi salah satu biang keladi kerusakan lingkungan Indonesia.
Dilema: mineral kritis dan energi terbarukan
Hubungan antara pertambangan dan transisi energi memunculkan dilema unik dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Meskipun pertambangan membawa tantangan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang tak terbantahkan, mineral kritis merupakan kunci bagi dekarbonisasi, terutama dalam menyediakan bahan mentah yang dibutuhkan untuk teknologi energi bersih.
Badan Energi Internasional (IEA) menyoroti ketergantungan energi terbarukan pada berbagai mineral dan logam, seperti tembaga, kobalt, nikel, litium, dan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada 2040, porsi total kebutuhan mineral dalam teknologi energi bersih akan melampaui 40% untuk tembaga dan logam tanah jarang, 60-70% untuk nikel dan kobalt, serta hampir 90% untuk litium.
Sebagai contoh, infrastruktur energi angin darat memerlukan 10 ton mineral kritis per megawatt (t/MW). Sementara itu, energi surya fotovaltaik (PV) membutuhkan 7 t/MW yang lebih rendah dalam penggunaan mineral.
Namun, penting diingat bahwa jumlah tonase yang disebutkan hanya merujuk pada mineral atau logam yang sudah dimurnikan. Proses penambangan membutuhkan tanah dan material di bawahnya jauh lebih besar dalam tahap ekstraksi hingga pengolahan bijih.
Contohnya, energi angin di Indonesia, dengan kapasitas terpasang sebesar 154 MW pada tahun 2022 dari potensi 9,5 GW, sebanyak 1.540 ton mineral atau logam murni telah diekstraksi dan diolah untuk mendukung kurang dari 0,15% produksi listrik negara. Dalam skenario terbaik, jika potensi energi angin di Indonesia sepenuhnya dimanfaatkan, kita akan memerlukan sekitar 95.000 ton mineral kritis.
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam penyediaan sumber daya mineral kritis, terutama sebagai salah satu produsen nikel terbesar di dunia. Indonesia menguasai 42% cadangan nikel dunia, dan juga memiliki cadangan tembaga, emas, dan timah yang signifikan.
Ini menempatkan Indonesia dalam posisi yang unik. Pasalnya, potensi tersebut menghadirkan peluang dan tantangan dalam mencapai tujuan transisi energi sembari memastikan produksi mineral kritisnya berlangsung secara berkelanjutan.
Ke mana perhatian harus kita berikan?
Dekarbonisasi telah menjadi fokus dunia saat ini. Tuntutan akan kemajuan isu tersebut telah mendapatkan pengawasan khusus dari penduduk di seluruh dunia, khususnya saat pemerintah membuat janji dan target untuk pengurangan emisi yang ambisius.
Dengan jelasnya hubungan antara energi terbarukan dan aktivitas pertambangan, upaya kita memerhatikan bagaimana mineral diekstraksi dan diproses memiliki urgensi yang sama dengan transisi energi.
Penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, termasuk penggunaan pendekatan teknis yang ramah lingkungan dalam ekstraksi dan pengolahan mineral, adalah tanggung jawab utama industri pertambangan. Namun, komitmen ini masih bersifat sukarela. Pemerintah berperan penting dalam mengonversi komitmen tersebut menjadi standar regulasi.
Praktik pertambangan yang berkelanjutan harus mendapatkan perhatian di semua siklus pertambangan: eksplorasi, perencanaan, konstruksi, produksi, dan penutupan tambang. Terutama karena operasi pertambangan seringkali menyebabkan masalah signifikan seperti perubahan penggunaan lahan, deforestasi, erosi, kontaminasi tanah dan air, peningkatan emisi dan tingkat kebisingan, serta dampak terhadap kesehatan yang mungkin muncul.
Untuk mengatasi masalah ini, sangat penting bagi Indonesia—khususnya pemerintahan Prabowo—untuk mengevaluasi atau membandingkan kondisi area sebelum dan sesudah adanya pertambangan. Evaluasi amat krusial untuk memantau dampak lingkungan yang terkait dengan penutupan tambang, penghentian operasional, dan perubahan fungsi—tahapan yang sering kali kurang diawasi.
Indonesia juga perlu mengintegrasikan teknis pertambangan dan ekstraksi bahan mentah yang ramah lingkungan ke dalam rencana pencapaian target rendah karbonnya. Tanpa langkah tersebut, “just energy transition” atau transisi energi berkeadilan hanyalah istilah glamor untuk sebuah upaya yang tidak efektif.