ERA.id – Anggota DPR Fraksi NasDem Muslim Ayub mengusulkan agar pemilihan umum (pemilu) digelar 10 tahun sekali. Tujuannya supaya bisa mengembalikan modal yang dipakai untuk mengikuti kontestasi pemilu, terlebih para calon legislatif.
Pernyataannya itu disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan Komnas HAM dan Perludem di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu (30/10).
Awalnya, dia menyinggung soal sistem pemilu. Menurutnya, bagaimanapun sistem yang ada tidak akan menghilangkan praktik politik uang.
“Kalau bicara pemilu, saya rasa apapun aturan yang kita lakukan ke depan, apapun RUU yang sudah kita sahkan nanti, kapan pun tidak akan terhindar dari money politic, itu sudah pasti,” kata Ayub.
Menurutnya, yang terpenting justru bagaimana mengembalikan modal untuk pemilu. Oleh karenanya, dia mengusulkan agar pemilu digelar 10 tahun sekali.
“Malah yang sangat kritis sekali yang disampaikan Darori, bagaimana mengembalikan uang kita ini,” kata Ayub.
“Saya berharap apa salahnya barangkali pemilu ini 10 tahun sekali ya kan? Karena untuk 5 tahun ini, pimpinan, kita ini 2025, 2026 itu sudah dekat, 2027 sudah mulai pemilu lagi, jadi enggak mungkin ada ini akan kita kembalikan dengan sistem begini,” kata Ayub.
Dia mengatakan, rata-rata para calon anggota legislatif mengeluarkan modal sekitar Rp20 miliar. Tak jarang modal itu menyebakan para calon meninggalkan banyak utang.
“Engak ada yang Rp10 miliar… dampaknya bagaimana jika masing-masimg masih meninggalkan utang semua. Jujur saya sampaikan. Tidak salah kan kalau 10 tahub sekali, ini usulan pribadi, bukan NasDem,” katanya.
Selain itu, dia mengusulkan sistem E-Voting. Dengan sistem pemilu yang sekarang, kata dia, sangat mendukung terciptanya pratik politik uang.
“Ini nyata dan terjadi di kita semua. Kalau ini enggak kita lakukan, jangan harap kita melakukan pemilu, tanpa money politic kalau aturan ini tetap kita lakukan, dengan sistem ini,” kata Ayub.
“Sistemnya tadi saya katakan, yang pertama memang kita berharap sistemnya tadi e voting. Saya kebetulan di Muhammadiyah. Kami jam 8 memilih ketua, jam 2 sudah tahu hadilnya. Ini perantara banyak sekali, dari C1, dari kecamatan, kabupaten, dari KPU. Satu pun penyelenggara ini tidak akan jujur. Pasti ada kepentingan semuanya. Saya rasa itu saja pimpinan,” pungkasnya.