Prabowo-Gibran yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden memantik kontroversi telah bekerja sejak 20 Oktober 2024.
Untuk mengawal pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauPrabowo yang memuat isu-isu penting hasil pemetaan kami bersama TCID Author Network. Edisi ini turut mengevaluasi 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, sekaligus menjadi bekal Prabowo-Gibran menjalankan tugasnya.
Selama ini, pemerintah sering kali memfokuskan pembangunan infrastruktur digital hanya pada aspek fisik. Sementara aspek “publik” dalam infrastruktur digital kerap terabaikan. Akibatnya, infrastruktur digital tidak merata atau hanya bisa diakses oleh kelompok tertentu saja.
Oleh karena itu, pemerintahan saat ini di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto perlu memahami kembali arti penting dari ‘publik’ agar pembangunan infrastruktur digital tidak hanya sebatas penyediaan teknologi, tetapi juga mampu menghadirkan layanan publik digital yang inklusif, aman, dan sesuai kebutuhan masyarakat luas.
Apa itu aspek ‘publik’ dalam digital public infrastructure
Dalam digital public infrastructure (DPI), kata ‘publik’ merujuk pada aspek kepentingan umum dan akses yang bisa dinikmati oleh semua.
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami makna ‘publik’ dalam DPI ini, yaitu melalui atribusi dan fungsi dari infrastruktur digital tersebut.
Pendekatan atribusi atau kepemilikan membantu kita melihat apakah infrastruktur tersebut dapat dimiliki atau dikendalikan oleh publik. DPI yang berbasis publik berarti dikelola demi kepentingan umum, bukan semata-mata untuk keuntungan komersial.
Sementara itu, dari sisi fungsi, infrastruktur digital harus benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat, baik dari segi nilai sosial, nilai ekonomi, pemenuhan kebutuhan, maupun pemenuhan hak asasi.
DPI menggabungkan perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware) dengan layanan publik dalam sebuah sistem yang efisien dan dapat diukur keberhasilannya.
Di antara ketiga elemen ini, ada lapisan penting yang disebut “infrastruktur bersama,” yaitu komponen dasar yang memungkinkan interaksi di ruang digital, seperti identitas pribadi, sistem pembayaran, dan pertukaran data.
Infrastruktur bersama ini memungkinkan terciptanya fondasi digital yang dapat digunakan lintas sektor, membuat layanan publik saling terhubung, bekerja sama, dan beroperasi secara efisien di ruang digital. Komponen-komponen ini juga mendukung penyediaan layanan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat dengan cara yang lebih inklusif dan mudah diakses.
Digital public infrastructure di Indonesia
Penerapan infrastruktur publik digital di Indonesia sudah dimulai sejak 2011 dengan penggunaan autentikasi biometrik untuk mengidentifikasi identitas pribadi.
Pemerintah kemudian memperkenalkan e-KTP pada 2013 sebagai bagian dari sistem pendataan kependudukan. Pada 2019, ada penambahan berupa tanda tangan elektronik, dan di 2023, diluncurkan Identitas Kependudukan Digital (IKD).
Semua inisiatif ini bertujuan untuk mempermudah akses masyarakat terhadap layanan publik, tanpa perlu autentikasi ulang saat mengakses layanan yang berbeda.
Dampak positif dari integrasi ini terlihat dari meningkatnya pertukaran data antara BPJS Kesehatan dan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri. Kerja sama ini membantu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjangkau hampir 280 juta pengguna, atau sekitar 98% dari populasi Indonesia. Data dari Dukcapil memungkinkan BPJS Kesehatan untuk melakukan verifikasi data hampir 2 miliar kali, sehingga sangat membantu peningkatan efisiensi layanan.
Namun, masalah seperti pendataan yang kurang baik, duplikasi data, dan perbedaan standar data masih menyebabkan layanan digital tidak selalu tepat sasaran. Misalnya, sekitar 46% penerima bantuan sosial salah sasaran. Akibatnya, negara merugi hingga Rp140 miliar per bulan.
Memperbaiki tata kelola infrastruktur digital publik
Untuk memaksimalkan aspek publik dalam infrastruktur digital, lisensi open source dan interoperabilitas data perlu diperkuat. Interoperabilitas di sini berarti bahwa sistem dapat berkomunikasi dan bertukar informasi dengan lancar.
Sistem yang interoperabel memungkinkan desentralisasi pengetahuan dan informasi, serta mendorong terciptanya ekosistem inovasi yang dinamis. Hal ini sekaligus mencegah terjadinya fenomena ‘lock-in’, yaitu ketika suatu sistem digital menjadi begitu dominan sehingga masyarakat atau pemerintah menjadi sangat bergantung kepadanya dan terperangkap dalam satu sistem. Fenomena ini menyulitkan kita untuk beralih meskipun ada opsi yang lebih baik atau lebih sesuai.
Di samping interoperabilitas, Indonesia memerlukan tata kelola yang baik dan pelibatan publik dalam pengembangan infrastruktur digital. Sebab, interoperabilitas hanya efektif jika tata kelolanya mendukung perpindahan data yang aman dan transparan.
Langkah pertama menuju interoperabilitas adalah memastikan standardisasi data, mencakup penyelarasan format, cara transfer, dan keamanan data.
Pemerintah melalui Satu Data Indonesia sedang merintis hal ini dengan mengelompokkan data berdasarkan sektor kebijakan. Meski demikian, ada tantangan standardisasi antara kementerian dan pemerintah daerah yang perlu segera mereka selesaikan.
Apabila interoperabilitas data berjalan lancar dan sistem yang menaunginya mampu menangani penambahan data dalam jumlah besar, maka Indonesia dapat mengurangi duplikasi data sekaligus meredam risiko layanan publik yang salah sasaran seperti contoh program bantuan sosial tadi.
Contoh sukses sistem layanan publik digital dapat kita lihat dalam pembangunan platform open source data “X-Road” dan identitas digital “e-ID” milik Pemerintah Estonia. X-Road adalah platform perpindahan data yang memungkinkan sektor publik, swasta, dan masyarakat untuk mendapatkan dan mendistribusikan data, dengan sistem keamanan yang terdesentralisasi ke masing-masing lembaga.
Data yang masuk ke dalam X-Road juga berupa open source yang sudah terintegrasi secara fleksibel berdasarkan standar tertentu. Alhasil, jika pemerintah menginisiasi layanan publik baru, masyarakat dapat menerima layanan tersebut sesuai profil mereka tanpa harus registrasi ulang.
Kondisi ini ditopang dengan e-ID warga Estonia untuk mengakses beberapa layanan publik daring secara bersamaan.
Jadi, X-Road adalah ‘jalan raya digital’ bagi data, sedangkan e-ID adalah ‘kunci’ yang menghubungkan pemerintah dan warga dalam akses layanan publik. Dengan begitu, layanan publik seperti pemeriksaan kesehatan, mencoblos saat pemilu, dan akses bantuan sosial, semuanya terintegrasi sesuai kebutuhan dan profil masing-masing warga.
Menciptakan tata kelola digital yang inklusif
Penggunaan cara pandang DPI dalam pengelolaan data dapat memperkuat usaha pemerintah dalam menciptakan tata kelola digital yang inklusif dan berkelanjutan.
Tata kelola yang baik harus berlandaskan nilai-nilai kepublikan seperti pemenuhan kebutuhan dasar dan peningkatan kualitas hidup. Hal ini didukung oleh fungsi teknis DPI seperti interoperabilitas data.
Nilai-nilai kepublikan idealnya dibentuk melalui diskusi yang dipimpin pemerintah bersama publik dan sektor swasta. Tujuannya untuk menentukan peran masing-masing dalam mendukung sasaran bersama.
Sementara itu, agar tata kelola DPI dan inovasi digital dapat berkelanjutan, Indonesia memerlukan prinsip-prinsip yang mendukung: penetapan tujuan dan arah, mengedepankan prinsip co-creation dengan penerima manfaat, berbagi pengetahuan, akses yang luas bagi semua, serta transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses pengelolaan data.