Revolusi teknologi kuantum 2.0: Apakah Indonesia hanya akan jadi penonton?

revolusi-teknologi-kuantum-2.0:-apakah-indonesia-hanya-akan-jadi-penonton?
Revolusi teknologi kuantum 2.0: Apakah Indonesia hanya akan jadi penonton?
service
Share

Share This Post

or copy the link

Dalam dua dekade terakhir, teknologi kuantum generasi baru, atau yang disebut teknologi kuantum 2.0, telah berkembang pesat. Teknologi ini bertumpu pada penelitian dasar di bidang fisika kuantum serta aplikasinya di dunia teknologi informasi. Tiga pilar utamanya adalah komputasi, komunikasi, dan penginderaan kuantum.

Kehadiran teknologi kuantum 2.0 kemungkinan akan menjadi game changer yang mendisrupsi berbagai sektor, mulai dari teknologi informasi, industri manufaktur, kesehatan, hingga keamanan dan pertahanan. Potensi besar ini mendorong banyak negara dan perusahaan teknologi untuk berinvestasi besar-besaran dalam bidang teknologi kuantum.

Artikel ini akan membahas bagaimana revolusi teknologi kuantum 2.0 yang tengah berlangsung dapat berdampak luas. Kami juga akan mengulas aspek ekonomi dan geopolitik, serta kesiapan Indonesia menghadapi tantangan dan peluang dari gelombang revolusi teknologi kuantum 2.0.

Perkembangan revolusi teknologi kuantum 2.0

Teknologi kuantum 2.0 memanfaatkan prinsip-prinsip dasar fisika kuantum—bidang ilmu yang menjelaskan perilaku dunia mikroskopis pada skala atom. Tiga prinsip utama yang membentuk teknologi ini adalah superposisi, entanglement (keterbelitan), dan pengukuran kuantum.

  • Superposisi: Prinsip ini memungkinkan sistem kuantum berada dalam beberapa keadaan sekaligus.

  • Entanglement: Keterbelitan yang menyebabkan dua partikel kuantum berbagi suatu keadaan global bersama atau saling terkait, sehingga keadaan satu partikel tidak dapat dijelaskan secara terpisah dari keadaan partikel lainnya.

  • Pengukuran kuantum: Hasil pengukuran kuantum bersifat acak secara fundamental dan tidak dapat sepenuhnya diprediksi. Ketidakpastian ini bukan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan kita tentang parameter tersembunyi atau variabel yang belum diketahui, melainkan merupakan sifat dasar dari sistem kuantum itu sendiri.

Ketiga prinsip fisika kuantum ini membuka jalan bagi lahirnya beberapa bidang utama teknologi kuantum 2.0, yaitu: komputasi kuantum, komunikasi kuantum, dan penginderaan kuantum, yang kemampuannya jauh lebih unggul dibandingkan teknologi konvensional.

Komputer kuantum tidak menggunakan bit “0” atau “1” seperti komputer biasa, melainkan qubit (quantum bit), yang bisa berada dalam posisi “0” dan “1” sekaligus (superposisi). Dua qubit atau lebih juga bisa saling terhubung melalui fenomena entanglement.

Ilustrasi konsep komputasi kuantum/shutterstock.

Dengan memanfaatkan prinsip-prinsip fisika kuantum, komputer kuantum mampu menyelesaikan permasalahan kompleks jauh lebih cepat dibanding dengan komputer digital biasa. Pada akhir 2023, IBM mengumumkan bahwa mereka berhasil menciptakan chip kuantum bernama Condor yang memiliki 1.121 qubit.

Sementara teknologi komunikasi kuantum menggunakan prinsip fisika kuantum untuk menciptakan skema kriptografi yang jauh lebih aman. Dengan metode yang disebut quantum key distribution atau QKD, bit kunci rahasia disimpan dalam qubit dan dibagikan ke dua pihak yang akan berkomunikasi. Fisika kuantum menjamin bahwa setiap usaha penyadapan oleh pihak ketiga pasti dapat terdeteksi.

Adapun teknologi penginderaan kuantum memanfaatkan kepekaan sistem kuantum terhadap lingkungan untuk mendeteksi sinyal yang sangat lemah, misalnya, medan magnet atau suhu, yang tidak terdeteksi oleh sensor konvensional.

Teknologi ini telah diaplikasikan dalam perangkat SQUID magnetometer yang dapat mendeteksi medan magnet sangat kecil, bahkan hingga 100 atto tesla atau seribu triliun kali lebih lemah daripada kekuatan magnet tempelan kulkas. Penginderaan kuantum juga telah digunakan di dunia medis untuk mendeteksi aktivitas otak melalui magnetoensefalografi.

Aspek ekonomi dan geopolitik

Revolusi teknologi kuantum 2.0 berpeluang membawa dampak besar seperti penemuan transistor dan mikrochip pada tahun 1950-an, yang melahirkan komputer, ponsel pintar, dan internet. Menyadari potensi ini, banyak negara dan perusahaan teknologi global berlomba-lomba mengembangkan teknologi kuantum.

Ilustrasi konsep transformasi digital dan disrupsi teknologi yang mengubah tren global di era informasi baru/ shutterstock.

Menurut laporan dari konsultan manajemen global McKinsey & Company pada April 2023, lebih dari 20 negara telah memiliki strategi nasional untuk pengembangan teknologi kuantum, dengan komitmen investasi mencapai US$42 miliar (sekitar Rp651 triliun). Sementara itu, total investasi untuk startup berbasis teknologi kuantum mencapai US$8,5 miliar. Angka ini bisa terus meningkat, dengan ukuran pasar yang mencapai US$70 miliar pada 2040.

Sayangnya, investasi dalam teknologi kuantum ini masih belum merata. Sejumlah pakar mengkhawatirkan ketidakmerataan ini akan menciptakan quantum divide atau kesenjangan kuantum. Artinya, negara-negara maju akan menikmati manfaat teknologi kuantum lebih awal, sedangkan negara berkembang hanya menjadi konsumen teknologi ini. Kesenjangan ini bukan hanya berdampak secara ekonomi, tapi juga menguatkan ketimpangan geopolitik.

Quantum Readiness: Dimana posisi Indonesia?

Dengan peluang besar di depan mata, penguasaan teknologi kuantum bisa menjadi kunci bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan lepas dari middle income trap atau jebakan penghasilan menengah.

Studi menunjukkan bahwa kecepatan adopsi teknologi merupakan salah satu penentu kekuatan ekonomi sebuah negara di masa depan. Namun, sumber daya manusia maupun infrastruktur Indonesia untuk mengembangkan teknologi ini masih jauh dari siap.

Di bidang pendidikan, misalnya, negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika telah mengajarkan fisika kuantum di sekolah menengah. Sementara di Indonesia, pendidikan fisika kuantum masih terbatas pada tingkat universitas, itu pun dengan kurikulum yang tertinggal dan fasilitas yang tidak memadai.

IBM menunjukkan sebuah model komputer kuantum di paviliun mereka di CeBIT Jerman pada 2018. CeBIT merupakan pameran dagang terbesar di dunia untuk teknologi informasi. Shutterstock/Flowgraph.

Di sisi infrastruktur, Indonesia belum memiliki laboratorium fisika kuantum yang cukup untuk mendukung penelitian lanjutan, bahkan di universitas besar atau Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sekalipun. Tanpa fasilitas dasar ini, kita berisiko tertinggal di tengah kemajuan negara tetangga seperti Singapura, Thailand, dan Filipina yang sudah memiliki komitmen investasi besar dalam bidang kuantum.

Bahkan, data Intellectual Property Office atau IPO Inggris 2014, menunjukkan bahwa Malaysia merupakan salah satu pelamar paten di bidang komunikasi kuantum yang cukup aktif.

Apakah Indonesia akan kembali melewatkan revolusi teknologi kuantum 2.0, seperti ketika kita tertinggal dalam pengembangan teknologi semikonduktor? Ataukah kali ini kita bisa bangkit dan ikut menjadi pemain dalam pengembangan serta industri teknologi kuantum?

Inilah saatnya menebus ketertinggalan masa lalu dengan mulai mempersiapkan sumber daya manusia, infrastruktur penelitian dan pendidikan, serta ekosistem industri kuantum.

Kesiapan dan ketahanan kuantum di masa depan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Kita harus mulai dari sekarang atau selamanya hanya akan menjadi penonton.

0
mutlu
Happy
0
_zg_n
Sad
0
sinirli
Annoyed
0
_a_rm_
Surprised
0
vir_sl_
Infected
Revolusi teknologi kuantum 2.0: Apakah Indonesia hanya akan jadi penonton?

Tamamen Ücretsiz Olarak Bültenimize Abone Olabilirsin

Yeni haberlerden haberdar olmak için fırsatı kaçırma ve ücretsiz e-posta aboneliğini hemen başlat.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Login

To enjoy Foxiz.my.id privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Bizi Takip Edin