- Hidup di ketinggian 1.000-1.500 m dpl, air menjadi unsur penting bagi kehidupan masyarakat Suku Semende, di Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan.
- Suku Semende merupakan penjaga lanskap air yang disebut Tumutan Tujuh. Jika lanskap ini rusak mereka meyakini akan terjadi bencana besar.
- Selain menjaga hutan di bagian hulu, Suku Semende juga menjaga kawasan hutan di sempadan sungai yang juga penting sebagai safe passage atau jalur perintasan aman bagi spesies kucing kecil.
- Masyarakat Semende saat ini khawatir dengan dampak aktvitas pembangkit listrik tenaga panas bumi yang dapat mengancam kelestarian air, yang telah menghidupi mereka dan satwa selama ratusan tahun.
Air menjadi unsur penting bagi masyarakat Suku Semende di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Mereka menetap di lembah bagian timur Bukit Barisan dengan ketinggian 1.000-1.500 m dpl.
Selama ratusan tahun, Suku Semende memanfaatkan hutan [obat-obatan] dan mengelola kebun maupun sawah [padi], dengan mengandalkan sejumlah mata air di bukit-bukit atau hutan larangan.
“Merusak air sama dengan menghancurkan kehidupan masyarakat Semende,” kata Buyung, tokoh masyarakat Desa Segamit, Kecamatan Semende Darat Ulu, Rabu [16/10/2024].
Terbentuknya Desa Segamit yang berada di ketinggian 1.500 m dpl, bermula dari masyarakat Desa Aremantai dan Desa Pajar Bulan [1.200 m dpl] membuka kebun dan persawahan. Nama “segamit” berasal dari sebuah tanaman jenis rumput-rumputan, yang dulunya mendominasi wilayah seluas 2.600 hektar tersebut.
Di sekitar Segamit, terdapat hutan larangan Jurai Bancung yang mengalirkan air ke sejumlah desa, yakni Siring Agung, Are mantai, Pajar bulan, Tenam Bungkuk, dan Muara Tenang.
Sekitar tahun 2000-an, pemerintah berencana membangun sebuah bendungan, namun mendapat penolakan masyarakat yang memanfaatkan air tersebut.
“Melalui kesepakatan, pembangunan bendungan dibatalkan. Sejak dulu, kami orang Semende selalu menjaga air,” lanjutnya.
Baca: Bakal Agung, Kearifan Suku Besemah Berbagi Ruang dengan Satwa
Suku Semende yang menjadi bagian Suku Basemah, memiliki ikatan kuat dengan hutan dan air. Kebudayaan mereka mengenal sebuah lanskap air bernama “Tumutan Tujuh”, di sekitar Gunung Patah.
Tumutan Tujuh merupakan sumber mata air yang mengalirkan air ke tujuh sungai di wilayah Sumatera Selatan bagian timur dan Bengkulu bagian barat. Sungai-sungai itu adalah Padang Guci, Air Kinal, Air Bengkenang, Air Kendurang di Bengkulu serta Air Endikat, Air Lematang dan Air Enim di Sumatera Selatan.
Suku Basemah bertugas menjaga air Sungai Lematang. Sementara Suku Semende menjaga Sungai Enim, orang Lahat menjaga Sungai Endikat, dan Orang Manna di Bengkulu menjaga empat sungai lainnya.
“Kalau air ini rusak, kami percaya akan ada bencana besar yang menerpa Sumatera Selatan dan Bengkulu,” kata Malai Ibrahim, tokoh adat Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim.
Baca: Terancamnya Kearifan Suku Besemah Terhadap Alam
Saat kami berkunjung ke hutan Gunung Patah yang masuk kawasan Hutan Lindung Bukit Jambul Gunung Patah, Selasa [15/10/2024], terlihat dua aliran air yang membelah kawasan seluas 23.784 hektar tersebut.
Air Enim yang memiliki lebar sekitar lima meter dan aliran kedua lebih kecil [sekitar satu meter], yang diperuntukkan mengairi sejumlah pondok kebun [kebutuhan minum dan lainnya].
“Air Enim khusus mengairi sawah-sawah warga. Keduanya kami jaga, masyarakat dilarang mengotori dan merusak hutan atau air di hulu,” kata Syarifudin, warga Desa Cahaya Alam.
Terjaganya kawasan hutan di hulu dan sepanjang aliran Air Enim, sekaligus memastikan pasokan air ribuan hektar sawah di Semende.
“Alhamdulillah, belum ada kasus kekeringan yang menyebabkan gagal tanam padi. Hanya debit berkurang, tapi cukup,” lanjut Syarifudin.
Baca juga: Mata Air Panas Bangka Belitung: Sumber Kehidupan Masyarakat Saat Kemarau Panjang
Lintasan Aman Bagi Kucing
Tidak hanya menjaga kawasan hutan di bagian hulu, masyarakat Suku Semende juga menjaga hutan di sepanjang aliran sungai, yang didominasi pohon bambu betung [Dendrocalamus asper], seru [S. wallichii], dan medang-medangan [Lauraceae].
“Kami dilarang menebang pohon di sekitar aliran sungai, karena akan berujung bencana seperti kekeringan atau longsor,” lanjut Malai Ibrahim.
Selain itu, kawasan hutan tersisa di sepanjang aliran sungai merupakan jalur perlintasan sejumlah spesies kucing liar atau kecil, seperti macan akar atau kucing kuwuk [Felis bengalensis] dan kucing emas [Catopuma temminckii].
“Jenis tersebut menghindar manusia,” lanjutnya.
Erwin Wilianto, pendiri Yayasan SINTAS Indonesia dan anggota IUCN-SSC Cat Specialist Group mengatakan, kebanyakan daerah urban dan atau sekitaran desa, tutupan hutan tersisa biasanya di sepanjang sempadan sungai [riparian]. Itu memberikan naungan bagi kucing kecil agar tidak mudah terdeteksi, terutama manusia.
“Wilayah hutan ini harus dijaga kelestariannya karena multi fungsi, baik sebagai area tangkapan air, pencegah erosi, juga safe passage atau jalur perlintasan aman bagi banyak satwa liar, khususnya kucing liar,” kata Erwin, Selasa [5/11/2024].
Di sisi lain, keberadaan kucing kecil di sekitar sumber air mungkin terkait mangsa yang lebih membutuhkan air. Menurut Erwin, sebagai hypercarnivore, kucing-kucingan umumnya dapat memenuhi kebutuhan cairan dari daging [meat juice] dan darah yang termakan.
“Jika level dehidrasi tinggi, mereka membutuhkan air untuk minum,” lanjutnya.
Untuk minum, mereka [kucing kecil] tidak bergantung pada air yang betul-betul bersih atau mengalir. Air genangan juga bisa dipakai atau bahkan menjilati embun di daun atau lumut.
“Hal ini dikecualikan untuk harimau sumatera yang memang kadang suka berada di sekitar sumber air untuk berendam, mendinginkan tubuhnya,” kata Erwin.
Hal ini juga berlaku pada kucing bakau [prionailurus viverrinus] dan kucing tandang [prionailurus planiceps] yang memang berasosiasi tinggi dengan badan air dan lahan basah. Ini dikarenakan, sumber pakannya dominan dari ikan dan crustaceae.
Sebagai informasi, berdasarkan Peraturan Menteri LHK No. P106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, terdapat jenis-jenis kucing liar yang dilindungi di Indonesia.
Dari semua jenis tersebut, harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae], dikategorikan sebagai kucing besar. Sedangkan jenis kucing kecil adalah kucing emas [Catopuma temminckii], macan dahan [Neofelis diardi], kucing kuwuk atau kucing hutan [Prionailurus bengalensis], kucing tandang [Prionailurus planiceps], dan kucing batu [Pardofelis marmorata]. Semuanya masih ditemukan di Pulau Sumatera.
Sementara jenis kucing kecil lain; kucing merah [Catopuma badia] ada di Kalimantan, macan tutul [Panthera pardus melas] di Jawa, dan kucing bakau [Prionailurus viverrinus] juga di Pulau Jawa, setelah jenis ini belum pernah terlihat sejak 10 tahun terakhir di Pulau Sumatera.
Air Sumber Kehidupan
Hingga saat ini, terdapat dua perusahaan pembangkit listrik tenaga panas bumi [PLTP] yang beroperasi di Sumatera Selatan. Ada PT Pertamina Geothermal Energy [PGE] Lumut Balai yang menghasilkan listrik 55 MW, di Kecamatan Semendo Darat Laut dan PT Supreme Energy Rantau Dedap [SERD] yang memproduksi listrik 86 MW di Semendo Darat Tengah. Keduanya berada di Semende, Kabupaten Muaraenim, di ketinggian sekitar 2.000 m dpl.
Adios Syafri dari Hutan Kita Institute [HaKI], menjelaskan SERD dan PGE memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan [IPPKH]] di Hutan Lindung Bukit Jambul Gunung Patah dan Bukit Jambul Asahan seluas 248 hektar. Terbagi dalam SERD [115 hektar] dan PGE Lumut Balai [133 hektar].
Keduanya aktif membangun dan mengoperasikan geothermal, seperti pembangunan akses jalan, infrastruktur PLTP, fasilitas pendukung, serta pengeboran sumur sejak 2019.
“Kegiatan tersebut menyebabkan deforestasi areal tapak, berdampak pada penurunan kualitas air sungai, dan timbul getaran dari pengeboran sumur. Ini bisa berdampak pada produksi kopi dan padi masyarakat, serta menggangu habitat satwa liar, terutama harimau dan jenis kucing kecil,” katanya, Senin [4/11/2024].
Dikutip dari rmolsumsel.id, pada akhir Maret lalu, limbah PGE diduga mencemari air Sungai Sepanas, Desa Penindaian, Kecamatan Semende Darat Laut [SDL].
Air sungai yang sebelumnya jernih, menjadi keruh dan berbau. “Kalau begini kan repot, mau mancing juga takut,” kata Jauhar, warga Desa Penindaian.
Jupardi, petani di Desa Tanjung Tiga, Kecamatan Semende Darat Ulu, yang wilayahnya diapit dua perusahaan itu, ikut khawatir. “Meskipun tidak membuat air keruh, namun sejak perusahaan dibangun dan beroperasi, debit air yang mengairi sawah kami berkurang,” katanya, Rabu [16/10/2024].
Erwin Wilianto mengatakan, kerusakan sumber air dan hutan, akan ikut mengancam keberadaan sejumlah spesies kucing yang punya peran penting dalam ekosistem dan kehidupan masyarakat.
“Setiap ancaman harus menjadi perhatian. Setiap potensi habitat, sekecil apapun harus dipertahankan dan dilestarikan bersama,” tegasnya.
Kearifan Suku Semende: Menjaga Alam dan Bersahabat dengan Kucing Liar