Akhir Oktober lalu, raksasa produsen otomotif Jerman Volkswagen (VW) mengumumkan rencana penutupan tiga pabrik di negaranya. Langkah ini berpotensi menghilangkan puluhan ribu pekerjaan. Dengan utang lebih dari 200 miliar euro atau setara Rp3.357,4 triliun, Volkswagen tercatat sebagai perusahaan dengan jumlah utang terbanyak dunia. Situasi ini diperparah oleh penjualan yang anjlok hingga separuhnya serta meningkatnya beban biaya energi, tenaga kerja, serta ongkos penelitian dan pengembangan.
Pada tanggal 30 Oktober, grup ini mengonfirmasi kekhawatiran tersebut dengan mengumumkan penurunan laba bersih sebesar 63,7% pada kuartal ketiga.
Bagaimana mungkin produsen mobil terkemuka Eropa, yang pernah menjadi raja otomotif dunia dan dikenal sebagai pembuat kendaraan perang terbaik di perang dunia kedua, bisa terperosok ke dalam krisis ini? Jawabannya terletak pada serangkaian kesalahan strategis, tata kelola yang buruk, dan budaya manajemen yang tidak sehat.
Kebanggaan Jerman
Volkswagen didirikan oleh insinyur Austria Ferdinand Porsche pada Mei 1937 sebagai tanggapan atas permintaan Adolf Hitler untuk menciptakan “mobil rakyat” (arti secara harfiah Volkswagen dalam Bahasa Jerman). VW segera menghadirkan sebuah kendaraan yang kuat, praktis, dan ekonomis terjual lebih dari 15 juta kopi, menggantikan Ford Model T sebagai mobil terlaris dalam sejarah.
Namun, pada akhir tahun 1960-an, desain Beetle yang menggunakan mesin berpendingin udara dan berpenggerak roda belakang mulai ketinggalan zaman. Titik balik perusahaan terjadi setelah mengakuisisi pesaingnya Auto Union dan NSU, yang bergabung ke dalam merek Audi.
Berkat akuisisi tersebut, VW mendapatkan talenta yang ahli dalam desain kendaraan berpenggerak roda depan. Volkswagen kemudian menjadi kian besar dan meluncurkan Golf pada 1974, sebuah mobil yang memiliki mesin depan berpendingin air dan berpenggerak roda depan yang menjadi simbol kejayaan VW.
Pada medio 1980-1990-an, Grup VW berkembang pesat melalui berbagai akuisisi strategis seperti pembelian Seat Spanyol (1988), Škoda Republik Ceko (1991), Bentley Inggris, dan Lamborghini Italia pada tahun 1998. VW juga mengakuisisi truk MAN dan Scania, sepeda motor Ducati dan hypercar Bugatti.
Langkah ini meningkatkan pangsa pasar VW di Eropa dari 12% pada tahun 1980 menjadi 25% pada 2020. Pada 2017, grup ini bisa menyalip Toyota sebagai produsen mobil terkemuka dunia untuk pertama kalinya. Volkswagen saat itu berada di puncak kejayaannya.
Skandal mesin diesel
Angin ribut dari Amerika Serikat mulai menerpa perusahaan tersebut pada tahun 2015. Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat menuding mesin diesel Volkswagen TDI tipe EA 189 melepaskan emisi nitrogen oksida (NOx) hingga 22 kali lebih tinggi dari batas yang diizinkan.
Perusahaan mencoba mengakali pengujian emisi dengan perangkat lunak khusus, tetapi hal ini justru memperburuk situasi.
Perangkat lunak tersebut kerap mengalami malfungsi yang membuat kendaraan VW menghasilkan polusi jauh lebih banyak daripada yang diiklankan. Hal ini menjadi skandal penipuan terhadap regulator dan pelanggan global. Mesin EA 189 dijual di lebih dari 11 juta kendaraan grup tersebut, yang tersebar dalam 32 model.
Skandal ini menghantam VW sangat keras. Selain menghadapi rentetan tuntutan hukum berlapis di Amerika Serikat dan di Eropa, harga saham Volkswagen anjlok hingga 40% di bursa saham Frankfurt. Bos perusahaan tersebut akhirnya dipaksa mengundurkan diri. Pada 2024, sebelum semua putusan divoniskan, kasus ini telah merugikan Volkswagen lebih dari 32 miliar euro yang setara Rp537,1 triliun.
Untuk memperbaiki reputasi, Volkswagen memiliki rencana besar terhadap transisi kendaraan listrik dengan alokasi investasi sebesar 122 miliar Euro (Rp2.048 triliun) pada tahun 2023. Sayangnya, model listrik generasi pertama VW tidak cukup kompetitif melawan Tesla atau produsen Cina. Kondisi ini diperburuk oleh dampak pandemi COVID-19.
Model bisnis yang tidak adaptif
Pada periode 2000-an, Grup VW mengambil langkah strategi ekspansi dengan pola khas industri Jerman, yakni: memproduksi barang berkualitas dengan energi murah dari gas Rusia. Namun, langkah yang mendapat dukungan dari mantan kanselir Gerhard Schröder dan Angela Merkel itu justru menjadi momen meluncurnya VW ke jurang kehancuran. Langkah ini berujung pada embargo Eropa terhadap gas Rusia akibat invasi Moskow ke Ukraina, yang menyebabkan biaya energi melonjak.
Dan, yang terpenting, keinginan Cina yang mulai memprioritaskan produk otomotif lokal, mengikis dominasi merek Jerman ini di negara tersebut.
Selama lebih dari 25 tahun, Volkswagen telah menikmati dominasi pasar di Cina. Puncaknya terjadi pada medio 2000-an, ketika hampir semua taksi Shanghai adalah merek Volkswagen. Semua pejabat tinggi Partai Komunis Cina mengendarai Audi A6 (sedan premium) hitam yang didesain khusus sesuai dengan keinginan petinggi partai dan para ekspatriat di Beijing. Saat itu, Volkswagen merasa di atas awan karena mereka tahu tidak akan ada polisi yang berani mengambil risiko mengganggu. Sebab, polisi pasti enggan jika harus berurusan dengan tokoh politik yang berpengaruh.
Ketika Cina mengamuk
Instruksi terbaru Partai Komunis Cina yang mendorong penggunaan mobil lokal-termasuk bagi para pejabat tinggi partai komunis-jian menggerus profitabilitas VW di pasar ini. Audi yang berporsi cukup besar terhadap keuntungan Grup VW di Cina terdampak signifikan karena produk BYD sudah cukup diterima di pasar lokal Cina.
Padahal selama beberapa dekade terakhir label “Made in Germany” telah menghantarkan pada kejayaan industri Jerman di seluruh dunia. Label tersebut berguna sebagai legitimasi dari tiruan produk Jerman yang berkualitas buruk dan berharga murah. Namun, roda saat ini sudah berputar dan sekarang produk-produk Cina mendapat pengakuan yang baik.
Manajemen yang mengekang
Selain strategi buruk yang dilakukan oleh VW, tata kelola grup ini juga bermasalah. Pendiri Volkswagen, Ferdinand Porsche, memiliki dua orang anak: Louise (anak perempuan) dan Ferdinand. Pada tahun 1928, Louise menikah dengan pengacara Anton Piëch, yang kemudian mengelola pabrik utama Volkswagen dari tahun 1941 hingga 1945. Sementara Ferry, sapaan Ferninand, fokus pada ekspansi merek mobil sport Porsche, yang didirikan oleh ayahnya sejak tahun 1931.
Selama beberapa dekade, Piëch dan Porsche terlibat dalam persaingan sengit memperebutkan kekuasaan. Konflik ini memuncak pada tahun 2007 ketika Porsche mencoba mengambil alih Grup Volkswagen, yang ukurannya 15 kali lipat lebih besar. Ironisnya, upaya yang dipimpin oleh keluarga Porsche justru berakhir dengan VW mengambil alih Porsche.
Tokoh sentral dalam pembalikan keadaan ini adalah Ferdinand Piëch, putra Louise. Ferdinand memulai karirnya bersama pamannya Ferry, sebelum bergabung dengan Audi dan kemudian menjadi bos besar Volkswagen pada tahun 1993. Selain pengetahuannya yang sempurna tentang perseroan (dan khususnya tentang Porsche, di mana ia memiliki saham 13,2%), Ferdinand Piëch juga mampu menarik dukungan berbagai pihak eksternal seperti eksekutif hingga bekas kanselir Gerhard Schroder.
Perseteruan keluarga yang berkepanjangan, ditambah campur tangan politik, menciptakan atmosfer yang jauh dari kondusif bagi manajemen VW. Jadi, wajar saja jika praktik manajemen VW sering bermasalah.
Budaya manajerial yang toksik
Dampak dari persaingan keluarga dan kesombongan karena menjadi merek otomotif nomor satu dunia membuat budaya manajerial Volkswagen menjadi toksik, terutama pada era kepemimpinan Ferdinand Piëch. Suksesi VW sebagai merek terbesar di dunia justru memperburuk situasi.
Dikenal sebagai orang yang keras kepala, ambisius, dan otoritarian, Ferdinand Piëch sering memecat pejabat yang dianggap kurang efisien. Gaya kepemimpinannya yang penuh ancaman membuat banyak eksekutif akhirnya mengambil keputusan sembrono, seperti yang terjadi selama skandal Dieselgate. Terlepas dari itu, situasi mencekam ini tentu saja menghambat laju pengembangan perusahaan.
Setelah kasus Dieselgate, beberapa eksekutif grup menyerukan perubahan budaya perusahaan yang lebih terbuka, desentralisasi dalam pengambilan keputusan, hingga pembenahan sistem pemantauan internal. Namun, tentu saja gagasan mengubah budaya merupakan salah satu tugas tersulit yang pernah ada bagi manajemen saat itu.
Jadi, bagaimana masa depan Volkswagen akibat rentetan masalah yang menerpa? Penurunan pangsa pasar di Cina, kurangnya keberhasilan di sektor kendaraan listrik, dampak Dieselgate yang belum tuntas, utang besar, hingga budaya perusahaan yang toksik, semua ini menempatkan masa depan VW dalam kondisi kritis.
Namun, seperti apa yang pernah dikatakan mantan eksekutif General Motors pada tahun 1950-an: “Apa yang baik bagi GM juga baik bagi Amerika”. Begitu pula dengan VW. Mengingat Volkswagen merupakan merek ikonik Jerman, kita dapat berasumsi bahwa Jerman tidak akan pernah meninggalkan Volkswagen, baik karena keberhasilannya maupun kontradiksinya.